Di tengah kesibukan berbagai pihak menghadapi ancaman pandemi virus corona, tersiar kabar tentang penampikan warga terhadap pemakaman jenazah pasien covid-19. Terinformasi, penolakan tersebut terjadi di Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kota Bandar Lampung, Kabupaten Sidoarjo.
Padahal dalam proses pemakaman, petugas medis telah melakukannya sesuai protap yang ditentukan agar virus tidak berpindah, diantaranya: pembungkusan jenazah dengan plastik; hanya petugas saja yang boleh melakukan prosedur pemakaman.
Di sisi lain, masih terdapat sikap yang meremehkan, kemudian pengabaian atas himbauan physical distancing, dari sebagian warga dengan jutaan dalih pembenaran. Di berbagai tempat terjadi pembubaran  kerumunan oleh aparat. Pun di tempat lain, orang masih berkumpul di warung-warung kopi. Resepsi dan perayaan dengan keramaian massal juga masih saja diadakan. Serta sederet pengabaian atas himbauan menjaga jarak lainnya.
Menurut Devie Rahmawati, pengamat sosial dari Universitas Indonesia, ada tiga penyebabnya, yakni:
- Faktor sosial yang mengutamakan kesempatan  komunal atau kumpul-kumpul;
- Faktor kultural yang ditandai dengan kurangnya langkah-langkah antisipatif menghadapi masa depan; dan
- Faktor spiritual berupa fatalisme yang menyerah kepada takdir tanpa ikhtiar ketika menemui persoalan pelik.
Mungkin, dualisme sikap masyarakat dalam menyikapi penyebaran corona bukanlah perbedaan-perbedaan yang akan menyalakan bara api konflik, namun resistensi itu telah memunculkan sebuah ironi yang saling berlawanan dengan sikap pengabaian di tengah perjuangan menghadapi wabah.
Satu kelompok masyarakat menunjukkan sikap resisten, bersikukuh menyatakan ketidak-setujuan terhadap penguburan --dan penghormatan-- terhadap jenazah pasien covid-19.Â
Kelompok-kelompok lainnya melakukan pengabaian, dengan menyepelekan himbauan-himbauan dari pemerintah dan otoritas kesehatan agar secara bersama-sama mengurangi penyebaran pandemi.
Bangkitnya resistensi dan pengabaian tersebut merupakan perwujudan bentuk kegagapan budaya, sebagai keluaran dari rasa keterasingan dan mental ketertinggalan (inferiority) menghadapi fenomena baru yang teramat menggentarkan.
Dikhawatirkan kegagapan itu secara terus menerus akan menyebabkan struktur sosial menjadi rigid, masyarakat tidak mampu lagi menyesuaikan diri dengan situasi wabah covid-19 yang kian meluas.
Perlawanan terhadap keadaan yang tidak menentu jalan keluarnya tersebut, berpotensi menimbulkan disparitas atau konflik sosial baru. Hal ini selanjutnya boleh ditafsirkan, bahwa tekanan sosial akan tiba.
Arnold J. Toynbee, dalam bukunya: A Study of History, menyampaikan tentang hilangnya kelenturan di dalam masyarakat multikultural dan macetnya daya menyikapi (respond) yang kreatif dari para pemimpinnya sebagai tanda-tanda awal keruntuhan sebuah peradaban.