Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kalut

1 April 2020   07:21 Diperbarui: 1 April 2020   07:37 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh kalhh dari pixabay.com

"Krompyaaaang....!!!", lontaran batu sekepalan tangan membuyarkan kaca pertokoan menjadi serpihan-serpihan berserakan di tepian. Massa yang putus harapan dan kelaparan telah menjelma menjadi beringas, ganas serupa singa-singa lepas.

Orang bergelombang-lombang menghancurkan pusat perbelanjaan, menggusur pintu toko penimbun sembako, meruntuhkan dinding bangunan penyimpan makanan dan merampas kedamaian warga di rumah-rumah mewah.

Warga perumahan elite yang rata-rata dihuni pendatang dikabuti kengerian tak terperikan menyongsong badai tsunami gerakan manusia  yang menghampiri. Tanpa belas kasih, massa mendobrak pagar tinggi, melemparkan batu, menghantamkan kayu dan pipa besi pada pintu, pada jendela, kepada kepala-kepala pucat pasi sia-sia memohon ampunan.

Para pria gemetaran dibabat kilatnya parang, dadanya terbelah merah, selainnya kepalanya bergelimpangan. Para wanitanya disingkap, busananya koyak-moyak lalu beramai-ramai dirampok kehormatannya hingga lemah tiada daya menahan arwah melayang dari raga rapuh.

Berita kengerian yang baru saja terjadi di kotaku itu aku baca dari pesan-pesan yang banyak bersimpang-siuran di linimasa.

Aku menelpon istriku, menanyakan situasi di kota asalku. Syukurlah, ia dan anak-anak di rumah baik-baik saja, kendati banyak aparat di sekitar berjaga-jaga demi mengantisipasi kerusuhan lebih lanjut.

"Berhati-hatilah sayang!", kekhawatirannya beralasan.

Menurutnya, di jalanan para pengemudi kendaraan diperiksa, bila terdapat penduduk pendatang, maka ia akan dibakar. Kendaraan seisinya akan berkobar menjadi arang, tak perduli itu manusia biasa atau mahluk luar angkasa.

Mahluk mirip manusia itu adalah pendatang yang berasal dari planet GJ 257d, hanya berjarak 31 tahun cahaya dari bumi, yang terpaksa menyingkir dari semestanya karena planet tempat tinggalnya terancam hancur. Bumi dianggap memiliki ekosistem paling mirip dengan alam asalnya.

Secara fisik, figur mahluk angkasa luar itu tidak berbeda dengan manusia umumnya. Namun kepandaian dan kemampuannya melebihi manusia biasa, oleh karenanya mereka dengan cepat mampu beradaptasi, kemudian menduduki bidang-bidang kehidupan penting.

Lama-kelamaan pencapaian tersebut membuat penghuni bumi iri dengki, karena tidak mampu berkompetisi dengan mahluk yang jumlahnya sedikit itu. Kecemburuan sosial berlarut-larut tidak segera dicari solusinya oleh pemerintah, memuncak menjadi kerusuhan.

Untuk membedakannya tidaklah sulit. Jika diteliti secara seksama, akan ditemui bahwa masing-masing kaki dan tangannya memiliki empat jari, berbeda dengan manusia biasa yang berjari lima.

Aku menyegerakan kunjungan, dan secepatnya pergi membeli tiket. Sambil menunggu keberangkatan kereta, aku mengikuti berita melalui telepon genggam dan televisi yang tergantung di gerbong. Berita-berita masih simpang siur.

Akhirnya diputuskan kereta diberangkatkan, berjalan pelan-pelan sambil menilai keadaan kota tujuan.

Di sebelahku duduk seorang pria yang sedang menunduk memandang gawainya, mungkin menyimak berita-berita simpang-siur. Aku tidak terlalu memerhatikannya, lebih baik memejamkan mata dan berusaha tidur.

Menjelang stasiun tujuan aku terjaga, melihat dari balik jendela pemandangan menggetarkan di jalanan. Ban-ban bekas terbakar bergelimpangan. Pertokoan hangus merana menyisakan penderitaan.

Kendaraan tidak tampak kecuali mobil aparat berwarna hijau tua, mengincar perusuh yang menyebar di balik gelapnya belantara reruntuhan bangunan.

Aku bergetar melihatnya. Kereta berjalan amat hati-hati, seolah berjingkat agar roda-roda besi di atas rel tidak menggemeretak, memecah kelam yang muram.

"Mengerikan ya?", pria disampingku membuka percakapan.

Pria itu pandai menghidupkan suasana, sebentar saja berbuih-buih membualkan perkembangan terakhir. Sesaat, kami merupa pakar sosial, budaya, politik, dan komunikasi sekaligus.

"Tinggal dimana?", tanya pria itu.

"Cukup jauh dari stasiun, dua kali ganti jika naik angkutan kota", sambil kusebut daerah pemukiman padat pinggiran kota.

"Ternyata satu arah, saya tinggal di daerah setelah melewati tempat itu. Baiknya anda ikut bersama, kebetulan saya sendiri di kendaraan".

Lanjutnya, "lagi pula, dalam keadaan begini, mana mungkin ada angkutan umum?"

Sebuah tawaran argumentatif yang tidak bisa ditolak. Aku mengangguk sambil berkemas menyongsong kereta berhenti sempurna. Pria baik hati itu tersenyum tulus.

Peron nampak lengang, pada sudut-sudut bersiaga aparat bersenjata lengkap menonjolkan aura kegentingan.

Aku duduk dalam kendaraan, sementara pria itu mengemudi pelan, keluar dari halaman stasiun menuju jalan raya yang sepi mencekam.

Aku memejamkan mata, menikmati kursi empuk berlapis kulit, menghirup wangi khas kendaraan buatan Bavaria, dan terlena suara jernih mengalun dari sound system kendaraan yang senyap dari bunyi-bunyi roda menapaki aspal.

Tersadar, aku belum memperkenalkan diri kepada pria baik hati itu, "Oh ya, lupa. Nama saya Ferguso. Nama anda?"

Pria itu menjulurkan tangan, menyebutkan jelas namanya, "Mike Skywalker...", yang kusambut dengan genggaman erat tanganku, berterimakasih.

Jabatan tangan hangat yang menjalar dari keempat jarinya.

"Empat..........???", mendadak wajahku pucat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun