Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Penolokukuran dan Enigma Industri Gula

7 Maret 2020   19:01 Diperbarui: 7 Maret 2020   19:02 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Proses pembuatan gula di pabrik milik PT Rajawali Nusantara Indonesia(KOMPAS.com/ Bambang PJ)

Dikabarkan, PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) berencana mengajukan ijin impor gula mentah kepada pemerintah guna mengantisipasi lonjakan permintaan menjelang lebaran mendatang.

"Kami (minta izin impor gula mentah) sekitar 250.000 ton," ujar Direktur Utama PT. RNI Eko Taufik Wibowo di Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (6/3/2020) [selengkapnya].

Terinformasi, tahun 2018 konsumsi gula setahun mencapai 2,75 juta ton per tahun dan terus meningkat, terutama menjelang lebaran dan akhir tahun. Ditambah par-stock 900 ribuan ton, maka total stok "aman" diperkirakan 3,6 juta ton. Sementara produksi domestik hanya sebesar 2,5 juta ton. Demi menutupi kekurangan pasokan itulah pemerintah membuka keran impor (selengkapnya).

Padahal pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tahun 1930-an, Indonesia sempat menjadi produsen --kemudian eksportir-- gula terbesar dunia, dengan produksi mencapai 3 juta ton per tahun.

Indonesia mewarisi lebih dari 170 pabrik gula (PG) dari Belanda, tersisa 50 pabrik aktif yang dikelola secara tradisional oleh BUMN dan selebihnya berstatus non-aktif. Sedangkan 12 unit pabrik baru merupakan milik swasta yang dibangun dan dikelola secara modern (selengkapnya).

Figures di atas menjadi menarik ketika dibuat penolokukuran atau benchmarking dengan negara tetangga, Thailand, yang memiliki iklim serupa dan mempunyai jumlah pabrik gula berjumlah hampir sebanyak di Indonesia. 

Jika menerapkan kondisi ceteris paribus (semua keadaan tidak berubah) dan dengan mengabaikan luasan wilayah negara serta jumlah penduduk, maka benchmarking tersebut dianggap on par.

Dengan jumlah total 57 pabrik, Thailand tahun 2018/2019 menghasilkan gula sebanyak 14,58 juta ton dalam dua tahun atau tiga kali lipat kemampuan produksi seluruh pabrik gula di Indonesia. Sumber lain menyebutkan, bahwa kapasitas pabrik gula di Thailand mencapai 10 ribu ton perhari, sementara di Indonesia hanya 2 ribu ton kapasitas perhari.

Diduga pabrik gula yang dikelola BUMN, dan juga berjumlah terbanyak, mesin-mesin produksinya lambat diperbaharui mengingat pabrik tersebut rata-rata telah berusia mendekati seabad. Atau memang pengelolaannya lamban beradaptasi dengan teknologi prosesing mutakhir?

Dari kacamata industri gula on-farm, diketahui luasan perkebunan tebu mencapai 450 ribu hektar, terdiri dari: perkebunan rakyat 266 hektar; perkebunan swasta 118 hektar; perkebunan milik negara 67 ribu hektar (selengkapnya). Dan sebagaimana nasib areal perkebunan dan pertanian lainnya, luas perkebunan tebu semakin tahun semakin menyusut, berkurang 2,5% - 3,4% pertahun.

Sementara itu, di Thailand pasokan tebu diperoleh dari 300 ribu petani yang menggarap perkebunan tebu seluas 1,6 juta hektar. Hampir empat kali lipat luas perkebunan tebu di Indonesia.

Oleh karenanya, selain kemampuan produksi, ketersediaan pasokan tebu diperkirakan menjadi faktor kelambanan industri tebu yang kian renta. Penyusutan lahan, perlahan-lahan akan menjadikan pasokan tebu kian menyusut, kemudian  membuat pabrik gula tradisional (baca: milik negara) kian lemah bekerja.

Di sisi lain, pemangku kepentingan pada setiap kesempatan mencanangkan swasembada gula. Pada kenyataannya, kecepatan pertumbuhan produksi domestik tidaklah mengikuti laju pertumbuhan konsumsi. Jalan keluar yang paling mudah adalah impor untuk menutupi kekurangan.

Impor gula dari tahun ke tahun dikhawatirkan akan menyebabkan skala keekonomian industri gula menjadi tidak menarik, baik bagi pelaku usaha itu sendiri, petani yang enggan menanam tebu maupun investor yang hendak meraih peruntungan dari sektor tersebut. Runtuhnya pertanian kedelai adalah misal yang telah terjadi .

Persoalan klasik menyembul: lebih sulit mempertahankan pencapaian dibanding membangunnya.

Penolokukuran di atas gamblang menggambarkan inefisiensi industri gula Indonesia dari hulu ke hilir. Kemudian, impor akan lebih menarik dibanding melakukan "overhaul" terhadap industri gula tradisional yang notabene dimiliki oleh negara.

Bagi awam seperti saya, ihwal jargon kosong pejabat tentang percepatan industri gula dalam meraih status swasembada gula masih menyisakan enigma)* di benak: Bagaimana cara mencapainya secara konkrit? Bagaimana mengejar pencapaian industri gula seperti di negara Thailand?

Misterius, sebagaimana pabrik-pabrik gula tua yang lebam terbengkalai dilngkupi kabut lembab.

~~Sekian~~

Sumber bacaan: 1 dan 2

)* Enigma: teka-teki, misterius

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun