Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mbah Kencono

1 Maret 2020   05:54 Diperbarui: 2 Maret 2020   17:23 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak pernah memercayai perihal klenik, seperti santet dan orang pintar. Kesaktian orang berkostum serba hitam, mistis, beraksesoris dengan nuansa magis itu menurutku hanyalah mitos belaka, cerita dari mulut ke mulut mengenai irasionalitas.

Barangkali karena aku terlahir di lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi nalar dibanding sekedar spekulasi tidak ilmiah.

Bukan berarti tidak meyakini soal gaib, jin, setan, malaikat seperti disebut dalam kitab-kitab. Bukan! Aku cuma tidak percaya pada hal-hal tahyul seperti yang dikisahkan orang.

Kendati mulutku berbusa-busa menjelaskan alasan-alasan  seperti itu kepada kawan baikku, tetapi ia tetap bersikeras. Rudolfo terus membujukku --tepatnya mengajak paksa-- untuk menemaninya ke rumah Mbah Kencono.

Orang pintar yang dikenal memiliki kemampuan supranatural itu, menurutnya, bisa melihat peristiwa masa lampau ataupun kejadian di waktu mendatang, alias bisa menerawang. Selain itu, ia mampu berkomunikasi dengan roh leluhur maupun arwah bergentayangan.

Banyak orang datang berkonsultasi meminta kelancaran urusan, misalnya pada musim pemilu.

"Anggota dewan yang kerap muncul di media adalah buktinya. Juga beberapa kepala daerah terpilih," Rudolfo meyakinkanku.

Kamipun melakukan perjalanan menemui Mbah Kencono menuju sebuah komplek perumahan di pinggiran kota.

Perumahan? Bukannya ke gubuk kayu terpencil di pucuk gunung terjal berbatu-batu beronak-duri? Atau pondok di tengah hutan bersemak-belukar tempat ular dan binatang liar bertebar dalam atmosfer dijalari kabut abu-abu lembab?

Benar! Mbah Kencono bermukim sekaligus berpraktek pada sebuah rumah tipe 54 di Pesona Permai, tak begitu jauh dari pusat kota. Rumah seperti biasa, namun beberapa perubahan telah membuatnya lebih cantik. Mungil dan asri.

Seorang pria kurus berwajah tirus bermata elang dengan kumis melintang membuka pintu pagar hitam rumah putih itu, menyambut ramah.

"Mbah Kencono telah menunggu. Awas, kamu jangan berpikir macam-macam! Ia bisa membaca pikiran, mengerti getaran hati", Rudolfo memperingatkanku sembari memarkir mobilnya.

Rudolfo berbasa-basi lalu mengisahkan persoalan dalam menapaki karir: tentang persaingan antar pegawai, pergelutan di lingkungan kantor dan keinginannya untuk meraih jabatan lebih tinggi sebagai pencapaian akhir menjelang pensiun.

Selama itu Aku perhatikan Mbah Kencono. Tidak tampak keistimewaan atau ciri yang bisa merepresentasikan kekhasan orang berkemampuan supranatural.

Berkemeja putih, mengenakan pantalon krem tanpa aksesoris berupa: kalung, gelang bahar, cincin besar bahkan ikat kepala. Suaranya tidak menggumam, mengesankan keseraman atau kemisteriusan. Bahkan suara baritonnya membunyikan bahasa lembut nan santun.

Rumahnya sebagaimana dimiliki orang kelas menengah lainnya. Di dalamnya tercermin gaya perabotan minimalis, televisi dan peralatan modern lainnya.

Rudolfo dan Mbah Kencono asyik dalam percakapan, sebaliknya keraguanku kian kuat terhadap kemampuan pria lanjut itu. Akupun menantangnya, dalam benak, untuk menunjukkan kesaktian. Tiada reaksi apapun dari sang ahli pembaca pikiran itu. Melihatku sekali, hanya bertanya nama.

Seusai menandaskan satu mug kopi hitam, Mbah Kencono mengajak Rudolfo ke sebuah kamar yang dihampari karpet. Di atasnya terlihat perbaraan kemenyan, keris dan sekeranjang kembang. Sepertinya tempat ritual.

Aku menghirup kopi di ruang tamu, menunggu prosedur yang tidak masuk dalam alam pikirku. Sama sekali tidak dapat dinalar, bagaimana mungkin seorang Rudolfo menyerahkan nasib pada pasal mistik? Pertanyaan itu aku utarakan kepada Rudolfo dalam perjalanan pulang. Tetapi ia hanya tersenyum dan menegaskan kemampuan Mbah Kencono untuk mengatasi masalahnya.

Akupun tidak mendebatnya lagi. Juga pada hari-hari berikutnya. Sampai ketika aku mengalami musibah itu.

Belakangan Mbah Kencono sering datang ke rumahku. Ia dijemput, siapa lagi kalau bukan oleh Rudolfo.

Orang pintar itu melakukan ritual: membakar dupa, bersila, mengangkat keris di atas kepalanya sambil menunduk khidmat, menarik nafas dalam-dalam kemudian diam dalam hening. Ritual itu dilakukannya lebih dari setengah jam.

Setelah beberapa kali ritual, aku merasakan gelombang-gelombang berdenyut dalam diriku. Gelombang acak yang kian lama kian beraturan seperti membentuk bunyi.

Bunyi? Suara-suara? Rupanya Mbah Kencono sedang berusaha membaca pikiranku!

Berarti? Aku punya kesempatan untuk menyampaikan keinginan kepada orang pintar itu. Akhirnya harapanku terbentang!

Lima hari lalu aku membeli mie instan dan telur di warung Yu Jum. Dalam situasi hujan lebat rasanya nikmat menyantap mie rebus panas.

Puting beliung mendadak menerjang. Aku terkejut, menahan payung. Bungkusan kudapan terlepas dari pegangan disambar angin keras. Bergulir liar. Aku, melupakan payung, secepatnya mengejar kantung kresek itu agar tidak tergelincir ke dalam saluran air.

Bungkusan berhasil kuraih dengan gaya kiper menangkap bola. Demikian sigap sehingga membuatku kehilangan keseimbangan, terpeleset lalu tercebur ke dalam saluran yang telah menyungai itu.

Aku gelagapan berjuang keluar dari sergapan aliran air yang amat deras. Pergulatanku terhenti, manakala badanku tersangkut dalam gorong-gorong beton di bawah aspal jalan.

Harapanku hanya satu: ada manusia yang bisa kuajak berkomunikasi untuk menemukanku.

~~Selesai~~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun