Cahaya matahari belum genap mengusap daun-daun berembun, burung-burung mencericit di ranting-ranting, dan telepon genggam bergetar bak dengkur kucing di atas meja samping tempat tidur.
Surya mengintip malas layar yang mengedipkan sebuah nama: Mama. Wajahnya mendadak mengeras, tegang. "Ada apa ya sepagi ini Mama menelpon? Tumben...!"
Suara di seberang dengan nada mendesak menyuruhnya, bukan sekedar meminta tolong, untuk datang sebelum jam delapan pagi disertai penjelasan panjang lebar seperti biasanya. Surya mengenal kemauan seperti itu.
Pikirannya mengambang setelah percakapan per-telepon itu senyap.
Sudah lama Surya tidak menengok Mama, wanita berusia sekitar 60 tahun yang masih menyisakan guratan kecantikan masa muda. Kecantikan yang kemudian diwariskan kepada dua anak perempuannya.
Agak ceriwis memang dan kemauannya mutlak harus dituruti. Karena kalau tidak, maka celakalah! Mukanya akan ditekuk delapan sehingga siapapun di dekatnya akan merasa tidak nyaman. Ditambah omelan berkepanjangan.
Surya sangat memahami itu. Bagaimana tidak? Selama hampir empat belas tahun ia pernah tinggal bersama Mama, waktu yang cukup untuk mengenali sifatnya yang dominan Itu.
Surya bisa melembutkan hati Mama agar gembira seperti biasa, dengan membawa sekotak martabak Apin atau sebungkus kupat tahu.
Selain pandai mengambil hati, Surya paling kerap berbincang dengan Mama. Seorang wanita yang butuh teman ngobrol  di usia menjelang senja. Pagi hari di meja makan sambil sarapan. Sore hari di meja makan sambil makan malam.
Yang membuatnya bimbang, hari ini Surya ada jadwal latihan di sirkuit Sentul, pemanasan menjelang musim balap retro bulan depan, sekaligus menjajal mesin baru yang ditanam di mobil Corolla DX andalannya.
Kesukaannya pada dunia kecepatan itu dulu pernah dikuburnya dalam-dalam. Ada alasan yang mendasari waktu itu: Pertama, istrinya tahu persis godaan gadis-gadis sirkuit; Kedua, karena biayanya amatlah mahal; Dan ketiga, setelah dinasehati --tepatnya: dicereweti-- Mama.