Diketahui secara umum, bahwa sebagai negara yang membentang pada garis khatulistiwa, Indonesia merupakan negara yang mempunyai iklim tropis. Konsekuensinya, hanya memiliki dua musim, yakni musim penghujan dan kemarau.
Harmoni antara musim penghujan dan kemarau serta luasan lautnya telah meciptakan sebuah negara yang subur, menyediakan banyak flora fauna, kaya dengan pertambangan mineral, dan makmur dengan hasil laut.
Bahkan tongkat dan batu pun bisa menjadi tanaman.
Gemah ripah loh jinawi, sebagaimana diimpikan oleh para leluhur bangsa. Bangsa Indonesia beruntung hidup di serpihan surga yang terjatuh.
Namun di balik musim penghujan dengan intensitas curah tinggi, terdapat ancaman bencana banjir di beberapa daerah.
Akibat hujan lebat sejak malam pergantian tahun, maka pada pembukaan tahun 2020 Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan sekitarnya dilanda bencana banjir yang menyebabkan sembilan orang meninggal dan 19.000 mengungsi.Â
Sementara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika  (BKMG) memperkirakan puncak hujan masih akan terjadi pada pertengahan bulan Januari sampai Maret.
Bukan hanya bencana banjir! Belum terlampau lama BKMG juga telah memprediksi bencana kekeringan di tujuh provinsi di tanah air akibat kemarau berkepanjangan, dengan puncak musim kemarau pada bulan Agustus - September 2019. Kekeringan tersebut bahkan mengancam Jakarta dan Banten.
Musim kemarau berkepanjangan, menimbulkan bencana kekeringan. Musim penghujan dengan curah hujan tinggi, memunculkan masalah kebanjiran.
Berbagai reaksi terhadap bencana tersebut sangat beragam. Tak terhitung yang bersikap menyalahkan. Barangkali orang lebih nyaman bersifat reaktif daripada adaptif.
Sementara pihak bersilat lidah untuk berkelit atau berkomentar daripada bekerja melakukan pencegahan, perencanaan, mitigasi, peringatan dini dan perilaku penyesuaian lainnya.
Saya bukanlah ahli perencanaan ataupun mitigasi, namun common sense (penilaian yang masuk akal) menyatakan: seyogyanya ada perilaku penyesuaian (adaptive behavior) menghadapi iklim tropis yang sudah given (alias dari sononya memang begitu).
Alangkah baiknya beradaptasi dengan lingkungan beriklim tropis, bermusim penghujan dan kemarau, dengan tindakan-tindakan umum berupa:
Pencegahan. Merupakan tindakan-tindakan preventif dalam rangka menjaga lingkungan sekitar, dari hal sederhana sampai kegiatan rumit. Diantaranya: Efisiensi penggunaan air dan energi; Menanam pohon; Buang sampah pada tempatnya; Mengurangi penggundulan hutan; Mengendalikan polusi, Memerhatikan kerusakan ekosistem; Mengawasi alih fungsi hutan; Mengatur daerah aliran sungai; Inovasi energi alternatif; Menguatkan ketahanan pangan; Dan masih banyak lagi.
Kegiatan ini akan berhubungan dengan cara-cara mengurangi dampak dan risiko. Hasilnya, mungkin, berupa sistem peringatan dini (early warning system) yang memungkinkan orang mengungsi sebelum terjadi banjir, sebagai contoh.
Lantas siapakah yang mesti melakukan tindakan adaptasi tersebut?
Pemerintah, sebagai kelompok administratif yang mengatur negara (berbanding terbalik dengan paham kekuasaan) dan masyarakat, yang hidup di negara ini dengan turut membayar pajak, merupakan stake holder dari sebuah bangunan yang bernama Indonesia.
Dengan demikian, para pemangku kepentingan tersebut tidak cukup hanya diam menyongsong potensi bencana lebih dahsyat, tetapi bergotong-royong melakukan tindakan adaptif. Satu hal yang harus dilakukan bersama-sama.
Perilaku penyesuaian tersebut bisa dengan melontarkan narasi perbaikan ataupun kerja nyata menghadapi bencana, apakah dalam keadaan kebanjiran atau kekeringan.
Atau memang kita sudah terbiasa menunggu peristiwa terjadi, baru setelahnya bereaksi?
Semoga banjir segera surut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H