Belakangan muncul perbedaan pandangan tentang ekspor benih lobster antara Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dengan Susi Pudjiastuti, pendahulunya.
Edy berkilah, bahwa ekspor benih lobster adalah karena infrastruktur untuk membesarkan lobster belum ada di Indonesia. Selain itu tingkat penyelundupan benih cukup tinggi dan terjadi setiap hari.
Dipihak lain, Susi berpendapat benih lobster atau benur dibiarkan hidup di laut bebas, bisa bernilai sangat tinggi saat lobster dewasa ditangkap nelayan pada masa mendatang.
Di dalam pembahasan di bawah, pernyataan-pernyataan tersebut dianggap tetap dan benar agar dapat diabstraksi menjadi sebuah dugaan. Ulasan berikut beranjak dari perbandingan yang sekiranya on par (sejajar) dalam perilaku petani/nelayan.Â
Gambaran berikut mungkin tidak ada hubungannya dengan lobster dalam berbagai hal, namun dampaknya bisa sama.
Pelajaran dari komoditi kedelai
Pada tahun 1980-an atau pada periode Pembangunan Lima Tahun (Pelita) III tahun 1979-1983, produksi kacang kedelai mengalami keterpurukan karena pemerintah saat itu lebih fokus kepada varietas padi, dalam rangka mengejar Swasembada Beras.Â
Kendati sempat mengalami peningkatan lahah kedelai terbesar pada tahun 1992, namun produksi kacang kedelai menurun. Penyebabnya adalah dibukanya keran impor kedelai, dimana pemerintah "tunduk" kepada pemerintah Amerika Serikat yang surplus kacang kedelai.
Koperasi Produsen Tahu Tempe (KOPTI) mempromosikan kacang kedelai impor yang lebih menguntungkan dibandingkan kedelai lokal.Â
Saya teringat, diberitakan kepada pengusaha pengrajin tahu dan tempe, bahwa butir kedelai impor berukuran lebih besar dengan bobot lebih ringan dan lebih murah harganya dibanding kedelai lokal. Singkatnya, menurut skala keekonomian lebih menguntungkan.
Pengaruh berbeda dialami oleh petani kacang kedelai, masuknya kedelai impor dengan harga sama kemudian menghantam penjualan, sehingga petani enggan menanam komoditi kacang kedelai, kecuali penanaman secara tumpang-sari atau sela.Â
Sampai saat ini tanaman kedelai tidak bisa diangkat sebagai komoditi pertanian diunggulkan, kendati ia pernah masuk dalam program Ketahanan Pangan BUMN.
Lahan di Indonesia cocok untuk penanaman kacang kedelai, tidak seperti gandum. Kualitas produknya pun tidaklah jelek. Namun petani masih enggan menanam secara besar-besaran, karena sulit bersaing dengan kedelai impor yang lebih murah.
Seandainya keran impor kacang kedelai dibatasi, maka dimungkinkan kacang kedelai lokal tumbuh pesat dan bisa memiliki keunggulan kompetitif.
Kemungkinan itu bisa terjadi dengan budidaya lobster.
Jangan sampai kedelai ....eh.... keledai terperosok di lubang yang sama. Peternak/nelayan menjadi tidak berminat membudi-dayakan lobster dengan alasan berbiaya tinggi, kesulitan akses permodalan, sarana/prasarana kurang, dan bermacam dalih klasik lainnya.Â
Mereka lebih terangsang melakukan penangkapan benih lobster dengan hasil yang instan.
Pembukaan keran impor benih lobster diduga akan membuat petani/peternak lobster enggan melakukan budidaya. Bagi nelayan, menangkap benih lobster lebih menguntungkan daripada menangkap ikan pada bulan Januari-April.
Keuntungan sesaat akan memicu penangkapan benih lobster besar-besaran, dikhawatirkan hal itu akan mengganggu habitat lobster secara besar-besaran pula. Ekosistem kelautan terancam dalam jangka panjang.
Sebagai penghasil benih lobster terbesar di dunia, ekspor benih lobster merupakan keuntungan jangka pendek yang bisa menopang neraca perdagangan yang tekor alias defisit. Barangkali, dengan menggenjot ekspor benih lobster secara besar-besaran bisa membantu mengurangi defisit pada neraca perdagangan saat ini.
Vietnam yang bergantung dari benih lobser yang dikirim dari Indonesia telah menjadi negara eksportir lobster terbesar di dunia yakni 3.000 ton setahun dibanding Indonesia dengan hanya 300-400 ton setahunnya (data tahun 2015).Â
Artinya negara kecil tersebut telah mengelaborasi teknologi budidaya lobster sedemikian rupa sehingga menjadi negara penghasil lobster terkemuka.
Sangat mengherankan ketika budidaya/pembesaran lobster di Indonesia lebih terbelakang dibanding Vietnam yang porak-poranda ditahun 1970-an. Apakah tidak mungkin teknologi itu dikembangkan di dalam negeri? Apakah sebab kekurangan tenaga ahli dibidang budidaya lobster?
Saya kira tidak, hanya perlu willingness atau niat luhur saja untuk memajukan budidaya lobster agar punya nilai lebih dibanding ekspor benih lobster. Belum lagi jika dihitung dari social cost jangka panjang, berupa kerusakan ekologis yang dikhawatirkan.
Jika dilakukan, diperkirakan peningkatan budidaya lobster akan melampaui Vietnam sebagai penghasil lobster dalam jangka panjang. Suatu saat negara Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dibanding negara lain karena hasil lobster yang melimpah, mengingat luasan lautnya.
Bila dalih ekspor benih lobster untuk membendung penyelundupannya, rasanya tidak sebanding dengan social cost dan hilangnya potensi sebagai negara yang memiliki keunggulan komparatif bidang hasil laut dimasa mendatang.Â
Kan mengatasi kejahatan penyelundupan hanya semata-mata melakukan tindakan pencegahan dan represi, dimana seharusnya perangkat untuk itu sudah ada. Tinggal digalakkan saja.
Disisi lain, penghentian ekspor benih lobster sebagaimana penghentian ekspor biji nikel akan menunjukkan kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara.
Memang lebih mudah dengan membuka keran ekspor benih lobster demi tujuan jangka pendek, keuntungan sesaat bisa dikalkulasikan dengan mengabaikan keengganan budidaya dan rusaknya ekosistem.
Atau menghentikannya sama sekali, lalu bersusah-payah menciptakan infrastruktur budidaya lobster dengan segala sumber daya agar menjadi negara yang memiliki keunggulan komparatif dalam jangka panjang.
Tinggal pilih.
Disitulah bisa dilihat garis pembeda antara menteri yang berlatar-belakang politisi dengan praktisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H