Di satu sudut halaman rumah tumbuh pohon kepel  yang tergolong tanaman buah langka. Ditanam sekitar 30 tahun lalu dengan bibit berasal dari Jogjakarta.
Di lingkungan keraton biasa dijumpai tanaman dengan dedaunan rimbun membentuk kerucut tersebut. Buahnya kecoklatan sebesar kepalan tangan orang dewasa, berkhasiat sebagai deodoran alami jika rutin dikonsumsi. Konon, kebanyakan memakan buah itu bisa menghambat kesuburan bagi wanita. Daunnya dipercaya untuk pengobatan berbagai penyakit.
Saya bukan hendak mengulas khasiat dan manfaat pohon kepel, tetapi melihat reaksi warga saat melihat keunikan pohon itu.
Buah kepel tumbuh bergerombol pada batang, menyembul dari bawah ke atas pokok pohon yang lurus. Tidak seperti umumnya buah-buahan yang bergelayut pada cabang-cabang atau ranting-ranting.
Buah-buah berkelompok itulah yang menjadi keunikan, sehingga menimbulkan tanya di benak orang-orang yang melihatnya.
Pertanyaan yang sering timbul, semisal: Buah apa ya? Bisa dimakan tak? Enak nggak? Apa rasanya? Dan ihwal tanya lain yang kemudian membuat Saya menjadi hafal.
Sebanyak orang bertanya, sebanyak itu pula jawaban yang itu-itu saja. Awalnya menyenangkan, menerangkan seluk-beluk pohon kepel tersebut, tetapi lama kelamaan melelahkan juga.
Dipasang spanduk informasi.
Untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan serupa, kemudian dipasang lah sebuah spanduk yang berisi segala informasi mengenai pohon tersebut, antara lain: Nama buah dalam bahasa Jawa, Sunda, Inggris dan Latin; Pengelompokkan ilmiah; Ukuran buah; Rasa; Khasiat; Usia tanaman; Kepercayaan mengenai pohon tersebut. Pokoknya informasi yang bisa dimuat dan mudah dibaca pada spanduk.
Ternyata spanduk itu berguna. Warga yang lewat dan anak -anak sekolah dasar ada yang membacanya.
Namun sebagian besar orang tidak membacanya, tetap saja melemparkan pertanyaan yang sama: Buah apa ya? Bisa dimakan tak? Enak nggak? Apa rasanya? Dan ihwal tanya lain.