Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ambyarnya Budaya Santun

24 November 2019   07:33 Diperbarui: 24 November 2019   08:12 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by Shutterstock

Saat ini menyeberang jalan raya merupakan ihwal rumit, terutama bagi yang kurang gesit seperti manula, orang berkemampuan terbatas, ibu-ibu dan anak-anak. Kendati telah berdiri di atas marka garis-garis melintang jalan, disebut zebra cross, namun mereka mesti ekstra waspada menghadapi serobotan kendaraan bermotor terburu-buru pesat. 

Makhluk-makhluk beroda itu demikian perkasa meminggirkan kaum pejalan kaki.

Pipa pembuangan pembakaran mesin pun menghamburkan asap dan suara memekak, menerobos ruang-ruang istirahat tanpa memandang siang atau malam. Knalpot standar kendaraan bermotor dibobok atau diganti dengan saluran pembuangan yang melengking meninggalkan penderitaan pada telinga pendengar. 

Suatu kebanggaan semu pengendara kendaraan bermotor yang menyiksa orang lain. 

Bisa saja "orang lain" itu terdiri dari bayi-bayi terbangun; orang yang butuh istirahat atau bekerja; orang sekarat dan orang-orang yang berhak memperoleh ketenangan.

Belum lama terhantar kabar, segerombolan pengemudi sepeda motor masuk jalur khusus dan menghalangi laju bus Transjakarta demi menghindari razia polisi lalulintas. Untunglah, pengemudi bus tidak bergeming mundur meski para pengendara sepeda-motor meneriakkan serapah dan klakson.

Tidak heran jika Remy Sylado pernah menyindir perilaku pengemudi kendaraan bermotor dalam salah satu puisi mbeling-nya:

"Di Jalan Raya Kota":

Di Jakarta, seorang profesor dikata-katai goblok
Oleh seorang sopir angkot yang  cuma tamat SD Inpres
Karena tiba-tiba motor profesor itu mogok di tengah jalan
Dan jalanan macet berkilo-kilo
Klakson dipencet bertubi-tubi

Bukannya tidak ada peraturan mengenai zebra cross yang mengharuskan pengendara memberi jalan kepada penyeberang jalan. Pun bukannya tidak ada larangan menggunakan knalpot bising tidak standar. Pasal-pasal itu mudah ditemukan dalam bangunan hukum Republik Indonesia. Tetapi jalanan bukanlah sirkuit balap.

Namun perilaku tidak mengindahkan pengguna jalan lain, menyebarkan polusi suara dan mengeluarkan suara cerewet klakson sudah demikian menggejala, menjadi kebiasaan yang lumrah. Apakah kebiasaan itu bisa menjadi salah satu indikasi runtuhnya budaya sopan-santun di masyarakat Indonesia?

Budaya ialah sesuatu kebudayaan yang merupakan hasil karya meliputi cipta dan rasa dari masyarakat (Soelaiman Soemardi & Selo Soemardjan).

Beranjak pada definisi itu saya menerangkan, bahwa budaya adalah resultane dari serangkaian perilaku, adab, yang secara bersama-sama membentuk identitas sekumpulan manusia yang disebut masyarakat.

Budaya menjunjung kebersamaan, mengalah, saling menghargai, saling menyapa dan ihwal santun lainnya telah dibangun dalam waktu lama di masyarakat Indonesia. Kebalikannya adalah budaya yang mendahulukan nilai-nilai individualis, mementingkan kebendaan, mendewakan cara berpikir dibanding olah-rasa dan senantasa bergerak cepat.

Kemudian muncul para pengendara kendaraan bermotor yang serba terburu-buru tanpa mempedulikan pejalan kaki. Mementingkan diri sendiri, materi, dan dalihnya: waktu sangat sempit!

Padahal dari sejak jaman dahulu sampai sekarang perhitungan waktu merupakan sebuah konstanta, sesuatu hal yang tetap. Satu menit berarti enam puluh detik, satu jam enam puluh menit, satu hari dua puluh empat jam, demikian berlangsung sampai nanti. Dengan kata lain, longgar dan sempitnya waktu semata-mata adalah persepsi manusia pengendara kendaraan bermotor. Tidak bisa menjadi alasan.

Perilaku abai dan tidak perduli kepada sesama pengguna jalan oleh sekelompok orang dapat dikategorikan sebagai perbuatan bersama, sadar atau tidak sadar, telah meretakkan bangunan kebiasaan saling menghargai.

Keretakan yang seharusnya ditopang bersama-sama agar budaya santun tidak benar-benar menjadi ambyar lalu musnah.

Atau memang sudah mulai tumbuh komunitas yang tidak memperhatikan adanya ketertiban, peraturan, undang-undang atau pemerintahan?

Saya hanya bisa berdoa, semoga Sang Maha Mempunyai Rejeki melimpahkan uang kepada pemilik agar bisa mengembalikan kendaraan bermotor berknalpot-standar.

~~Selesai~~

Sumber bacaan: 1, 2 dan 3

Illustrated by Shutterstock

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun