Seorang kerabat, yang merupakan Aparat Sipil Negara (ASN) suatu kementerian, sedang berkemas dalam rangka perjalanan dinas ke luar kota. Sebuah kegiatan yang lumrah.
"Biasa seperti waktu-waktu sebelumnya, demi memenuhi target penyerapan anggaran sebelum tutup tahun."
Sebuah pernyataan menggelitik bagi mereka yang terbiasa di entitas usaha atau berwiraswasta. Logika umum pelaku adalah meningkatkan pendapatan melalui penjualan dan menekan biaya seefisien mungkin. Targetnya adalah laba sebesar-besarnya.
ASN memang tidak berpikir tentang keuntungan, tetapi memperhatikan hasil pekerjaan berpengaruh terhadap pelayanan publik. Apakah ia bekerja sebagai peneliti, kepala dinas, guru, pegawai pelayanan kelurahan atau pegawai biasa, hasil yang diharapkan adalah meningkatkan kualitas pelayanan bagi sebanyak-banyaknya orang.
Sebagai pegawai yang memperoleh penghasilan dari negara, suka tidak suka mereka mesti tunduk kepada peraturan dan ketentuan pemerintah. ASN tidak bisa begitu saja kritis atas instruksi perjalanan dinas meski mereka mengerti, bahwa kegiatan tersebut demi untuk menghabiskan pagu anggaran sesuai ketentuan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.02/2024 tentang Tata Cara Pemberian dan Pengenaan Sanksi Atas Pelaksanaan Anggaran Belanja Kementerian Negara/Lembaga (K/L) ditetapkan pada tanggal 05 Agustus 2014 mengatur mengenai penyerapan anggaran.
Apabila target penyerapan anggaran belanja pada tahun sebelumnya tercapai, minimal sebesar 95 persen dari pagu, maka K/L berprestasi akan mendapat penghargaan.
Bagi K/L pencapai target, penghargaan berupa tambahan alokasi anggaran pada tahun depan, mendapatkan prioritas untuk mendapatkan dana atas inisiatif baru yang diajukan, serta didahulukan untuk mendapatkan anggaran belanja tambahan. Bagi K/L tidak berprestasi mendapat sanksi berupa pemotongan pagu anggaran pada tahun berikut dan tidak memperoleh keistimewaan-keistimewaan tersebut diatas.
Maka tidak mengherankan, jika setelah semester pertama pemegang Kuasa Pemegang Anggaran sibuk mengadakan lelang dan "membagi" (plotting) proyek. Kecuali pada enam bulan pertama, pekerjaan atau proyek diadakan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Ya..., agar "kecipratan" uang lebaran.
Setelah pertengahan tahun atau bahkan pada triwulan ke-empat akan terlihat instansi-instansi pemerintah pontang-panting membangun segala proyek dan mengadakan barang/jasa yang kadang tidak ada urgensinya.
Sebuah pagar yang menurut kacamata umum masih baik, atau setidaknya hanya memerlukan pengecatan ulang, dirubuhkan kemudian dibangun kembali. Materialnya saja yang berbeda. Pengaspalan untuk mengganti paving block yang masih baik. Pemasangan iklan di media. Mengadakan perjalanan dinas. Itu sebagian contoh kegiatan pekerjaan (proyek) pemerintah yang digarap menjelang akhir tahun.
Misal lain adalah pekerjaan yang sempat viral, yakni pembongkaran jalur sepeda di Jalan Diponegoro, Cikini, Jakarta Pusat yang baru dibangun dua bulan untuk proyek pelebaran trotoar pada jalur tersebut.
Apakah sedemikian buruk perencanaan dan implementasi anggaran pemerintah?
Selain sebagai CFO, Kemenkeu juga bertindak sebagai Chief Opererational Officer (COO) yang bertugas mengimplementasikan penganggaran berbasis kinerja melalui benchmarking (penolok-ukuran), best practices (pelaksanaan terbaik), Balance Scorecard (BSC) untuk menetapkan kinerja dalam pengelolaan keuangan publik.
Pada tataran pelaksanaan, misalnya pemerintah daerah, perencanaan keuangan dilakukan berjenjang. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) selama dua puluh tahun, memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, menjadi dasar penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) lima tahunan. Lalu dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) selama setahun.
Berdasar RKPD, kepala daerah bersama DPRD membahas rancangan kebijakan umum APBD menghasilkan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan rancangan Prioritas dan Plafon (Pagu) Anggaran Sementara (PPAS). Mengacu kepada kesepakatan KUA-PPAS itu, Kepala Daerah menerbitkan pedoman penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). Atas dasar ini SKPD (Dinas) menyusun RKA-SKPD. Dengan terbitnya dokumen tersebut, dibentuk peraturan-peraturan daerah tentang penjabaran, akuntansi, pelaporan APBD yang ditetapkan oleh kepala daerah.
Prosedur rumit serupa diberlakukan di kementerian dan lembaga pemerintah lainnya.
Di level CFO dan COO negara, sudah diterapkan strategic managerial tools keuangan sebagaimana semestinya. Sedangkan implementasi keuangan diatur didalam kerangka penyusunan yang rumit serta melibatkan wakil rakyat. Artinya, sistem sudah ada berupa peraturan dan ketentuan.
Maka, manusia pelaksananya merupakan titik kritis dimana tingkat pemahaman terhadap peraturan dan ketentuan bisa berbeda-beda. Penyusunan anggaran merupakan proses yang serius dan membutuhkan kecermatan. Saya tidak berkata: "sembarang menempatkan angka pada KUA-PPAS, misalnya".
Saya memahaminya dari sudut pandang perilaku perusahaan, suatu unit tunggal pengambilan keputusan berkehendak memperoleh sebesar-besarnya laba. Unit tunggal yang dimaksud adalah usaha perorangan yang dibiayai sendiri maupun sekumpulan pemegang saham atau kreditur.
Pada implementasinya, setiap elemen yang membentuk sistem itu akan berupaya keras untuk mencapai keuntungan setinggi mungkin, yaitu selisih antara hasil penjualan dengan biaya-biaya.
Sebagai kreditur negara, pembayar pajak melalui: cukai rokok; belanja di supermarket atau setoran pajak yang timbul dari penghasilan (Pph), transaksi yang mengandung pertambahan nilai (Ppn) dan lain sebagainya, berhak menuntut "keuntungan" berupa pelayanan yang memadai.
Saya teringat pada saat baru masuk kerja, Direktur Utama bertanya, "berapa biaya yang dikeluarkan untuk kamu, seperti: gaji, fasilitas, investasi ruang kerja yang ditempati dan lainnya? Itulah target minimal yang ditetapkan!" Ketika itu Saya merupakan elemen dari suatu sistem perseroan terbatas.
Diharapkan pertanyaan serupa terngiang di benak elemen-elemen yang bertanggungjawab di dalam sistem pemerintahan dalam menyusun dan menggunakan anggaran belanja seefisien mungkin. Dengan demikian, anggapan bahwa proyek pemerintah dipadatkan menjelang akhir tahun saja tidak ada lagi.
Barangkali pada saat ini, kontribusi Saya kepada negara hanya senilai satu butir debu dari pecahan genteng ambrolnya gedung-gedung sekolah. Atau setara dengan setetes embun di tengah samudera pendapatan negara dari sektor pajak.
Tapi bolehlah Saya mempertanyakan, sejauh mana anggaran belanja pemerintah cukup efisien?
~~Sekian~~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H