Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sikap Ketika Terpelanting dari Ketinggian

15 November 2019   08:25 Diperbarui: 15 November 2019   08:27 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun lalu saya mengikuti seminar di Jakarta. Instrukturnya orang bule berkebangsaan Amerika Serikat. Satu analogi dikisahkannya:

Andai anda naik pesawat yang sedang terbang setinggi 3.000 kaki  --915 meter-- dari atas permukaan laut dan sedang nongkrong di pinggir pintu sedang melamun memandang keindahan alam.

Sekonyong-konyong seseorang --entah siapa-- menjerumuskan anda menjemput awan. Tidak ada tali apalagi parasut untuk menyelamatkan diri.

Gaya gravitasi akan membuat benda yang lebih berat dari tekanan angin dipastikan terjun ke bawah. Demikian pula manusia.

Tak perduli anda pejabat atau rakyat biasa, kaya atau miskin, pendosa atau alim ulama dalam kondisi demikian akan menghunjam tanah.

Pertanyaannya: "Apakah yang harus dilakukan dalam situasi tersebut?"

Jawabannya setelah cerita berikut.

Seorang kenalan mencurahkan segala isi hati. Sudah tentu berjenis kelami wanita....ehem. Isi curhatannya tentang kehidupan berumah-tangga kering kebahagiaan. Suami pemarah ringan tangan kepada istri yang mencurigai adanya wanita lain dalam kehidupan mereka.

Sebenarnya sebuah kisah klasik yang umum terjadi dalam rumah tangga dengan versi berbeda.

Saya merasa tidak enak hati mendengarnya. Menurut teori "How to become a playboy" bab III halaman  138, ketika seorang wanita milik pria lain berkeluh-kesah kepada lelaki yang bukan muhrimnya, maka jarak ranjangnya sudah sangat dekat (ini ngarang, lagian enggak ada texbook semacam itu...!).

Untunglah, tak berapa lama mereka berpisah. Curhatan atau keluhan mengenai episode kehidupan rumah tangga orang lain sudah usai didengarkan. Aman?

Berganti topik bahasan mengenai kesulitan mendera bertubi-tubi, bagaimana pontang-pantingnya ia menghidupi anak dan dirinya. Mantan suaminya tidak berkontribusi sama sekali.

Menjadi pengemudi ojek daring tak bertahan lama. Bergiat di lingkungan partai politik, habis energi untuk keuntungan parpol meninggalkan derita. Berjualan properti, fashion goods dan barang-barang lain dengan harapan mendapat komisi. Tak pernah bertahan lama.

Keluhan demi keluhan melimpah lancar dibanding penghasilannya. Telepon mendesahkan keluh-kesah berhasil membakar telinga saya, saking lamanya durasi pembicaraan melalui angin.

Memang komunikasi dibatasi hanya melalui telepon, WA dan media sosial. Saya amat sangat teramat menghindari pertemuan secara fisik, kendati wanita tersebut berharap realisasi.

Bahaya! Bisa timbul hal-hal yang sama-sama diinginkan.

Dari sekian banyak saran saya adalah: lebih baik fokus kepada pekerjaan yang menghasilkan, bersabar, bertekun menjalani sesuatu dan selalu berdoa kepada Sang Maha Pemberi Rejeki. Terhadap advis tersebut, ia merasa lega dan melakukannya.

Sebentar saja, wanita pengeluh itu kembali mengeluhkan keluh-kesahnya berlama-lama di ujung telepon. Jadi puyeng saya memikirkannya.

Untuk menyingkat dan menuntaskan pembicaraan tanpa ujung pangkal, saya akhirnya berujar:

"Terserah engkau saja, mau menjalani hidup dengan berkeluh-kesah atau menyibukkan diri dengan berikhtiar?" sambil menceritakan kisah dan pertanyaan yang sama dengan analogi si bule Amerika.

Pertanyaan yang diulang: "Apakah yang harus dilakukan dalam situasi tersebut?"

Banyak jawaban berkata-tanya. Jawabannya beragam tergantung jumlah peserta seminar. Ada yang menjawab, berteriak minta tolong. Pingsan karena jatuh dari ketinggian. Menangis meraung-raung. Mengeluh: mengapa ia duduk di pinggir pesawat; mengapa ia tidak memakai parasut; mengapa naik pesawat terbang. Atau marah kepada orang --entah siapa-- yang telah menjerumuskan. Dan seterusnya.

Bule Amerika tersebut menjawab:

Didorong dari pesawat yang sedang terbang tinggi adalah analogi dari kelahiran anak manusia. Tidak diminta oleh yang bersangkutan, dimana akan dilahirkan. Menangis ketika bayi, lalu tumbuh besar, bersekolah, bekerja, menjadi tua lalu menjadi tanah.

Artinya setiap manusia akan jatuh ke tanah, mati. Dalam perjalanan menuju mati, semestinya manusia mengisi dengan hal-hal positif, berguna bagi manusia lain, sesama mahluk, lingkungan dan perihal baik lainnya.

Terserah kita, apakah perjalanan menuju tanah itu mau diisi dengan bersedih menyayat-nyayat, meledak-ledak marah, berdesah berkeluh-kesah. 

Atau merasa gembira hati karena telah menjadi manusia terbang melayang menikmati pemandangan dari atas awan. "I'm flying....!"

"YOUR LIFE IS UP TO YOU"

(quote dikutip dari sini)

~~Sekian~~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun