Pengetahuan kedokteran sudah ada sejak jaman dahulu. Barangkali, akupuntur lebih tua. Teknik penyembuhan lainnya mengikuti daya nalar masing-masing kehidupan, misalnya perdukunan atau ilmu sihir akan berkembang di masyarakat masih terbelakang. Seperti halnya mereka yang lebih percaya investasi bodong "kampung kurma" daripada instrumen penanaman modal lain yang legal.
Namun tiada satupun yang benar-benar terbukti manjur menyembuhkan penyakit beruntai-untai seperti tempelan iklan pada pintu angkot. Satu dua orang berbusa-busa mempromosikan metode mujarab. Alhasil, hanya menjadi ritual pemborosan saja. Sembuh tidak, uang amblas iya!
Sampai kemudian satu peristiwa menginspirasi saya.
Seorang yang kelihatan bugar, sendiri menaiki sepeda motor, berjalan gesit ikut antrian dokter spesialis saraf. Sayapun bertanya, sehat wal-afiat begitu kok ke dokter yang biasa menangani stroke?
Pria yang berprofesi sebagai pedagang soto mie itu menjelaskan, bahwa empat tahun lalu ia pernah terserang stroke. Parah, lumpuh dan sudah divonis tidak akan berumur lama oleh dokter.
Kesembuhan sekarang adalah hasil mengkonsumsi obat-obatan saran dokter, therapi, menghindari makan garam dan pantangan lainnya serta minum jamu godok. Menurutnya, obat paling penting dalam mencapai kesembuhannya adalah: Semangat untuk hidup! Tanpa itu, semua upaya menjadi sia-sia.
Penderita lain, setiap usai menunaikan ibadah shalat Subuh berjalan kaki dari rumahnya sejauh satu setengah kilometer menuju kantor. Pria itu terkena serangan stroke pada bulan Februari lalu dan sudah menampakkan kemajuan pemulihan yang pesat. Semangat untuk sembuh membuatnya kian sehat.
Demikian pula kenalan-kenalan lain menyatakan bahwa semangat untuk sembuh, untuk bangkit, telah demikian membuka peluang pulih seperti semula. Obat-obatan medis adalah sarana bantu yang direkomendasikan dokter dalam proses penyembuhan.
Demikian pula alternatif pengobatan lain, ia merupakan alat bantu untuk meyakinkan diri sendiri agar sehat. Kalau tidak bisa meyakinkan, maka cara lain tersebut hanya akan menyia-nyiakan uang belaka.
Sebagaimana diilustrasikan dalam kisah ini:
Si Fulan tidak memiliki telpon genggam dan mempunyai keinginan kuat memberi kabar kepada kerabat via angin. Ia menuliskan pesan itu pada sepotong kertas, akan tetapi tidak tahu cara mengirimnya.