Belum lama diberitakan, bahwa atap SDN Gentong, Gadingrejo, Kota Pasuruan, runtuh menimpa empat kelas. Ambruknya gedung tersebut mengakibatkan satu guru pengganti dan satu siswa tewas, sementara belasan siswa lainnya mengalami luka-luka.
Keempat kelas tersebut agar dibangun ulang, demikian rekomendasi Kepala Balai Prasarana Permukiman (BPP) Wilayah Jawa Timur, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (PUPR) Drajat Widjunarso, mengingat konstruksi bangunan tersebut tidak layak dan tidak sesuai bestek.Â
Hal itu berdasarkan hasil pemeriksaan Tim Laboratorium Forensik (Labfor) Polda Jatim, yang menyatakan bahwa tembok bangunan keropos dan mudah hancur karena semennya kurang, melalui pengujian kekuatan menggunakan hammer test.
Menurut pihak kepolisian bangunan tesebut baru direnovasi pada tahun 2017. Sedangkan pihak Dinas Pendidikan setempat berkeras bahwa renovasi tersebut dilakukan pada tahun 2013.
Di luar perbedaan pendapat tersebut, kasus itu menyangkut usia bangunan pemerintah yang belum genap sepuluh tahun, yang seharusnya masih kekar dan baik digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar. Belum lagi ihwal siapa pihak yang patut disalahkan atas kerusakan bangunan milik pemerintah tersebut. Perencana? Pelaksana (kontraktor)? Pengawas? Atau sebaiknya bertanya kepada rumput bergoyang?
Gedung milik pemerintah sebelum dibangun direncanakan terlebih dahulu. Pihak Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) mewakili pemerintah memilih konsultan perencana, baik memilih dengan Penunjukan Langsung (PL) atau lelang melalui LPSE. Konsultan yang dianggap mahir merencanakan disain, gambar-gambar, kelayakan konstruksi, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang akan menjadi pagu anggaran dan Rencana Kerja dan Syarat-syarat yang memuat definisi pekerjaan dimaksud. Dalam kegiatan perencanaan tersebut, PPK bersama Dinas teknis (jika bukan dinas yang berkeahlian di bidang bangunan, seperti Dinas Pendidikan).
Kemudian PPK mengundang Kontraktor (pelaksana, pemborong) yang sekiranya memenuhi klasifikasi dan kualifikasi dengan Penunjukan Langsung atau lelang melalui LPSE, tergantung nilai pekerjaan bangunan tersebut. Belanja Modal Pekerjaan Konstruksi itu lalu diwujudkan dalam Surat Perjanjian Kerja atau biasa disebut kontrak. Di dalam kontrak disebut secara rinci mengenai: harga borongan, ruang lingkup pekerjaan, jangka waktu pelaksanaan, termijn pembayaran, sanksi dan hak-kewajiban lainnya.
Sebelum kegiatan dimulai, ditentukan titik nol memulai pekerjaan, me-sinkron-kan antara spesifikasi dan gambar-gambar. Potensi kendala pekerjaan juga diantisipasi. Pemeriksaan Lapangan Bersama (PLB) dilakukan oleh pihak-pihak: konsultan perencana, kontraktor pelaksana, PPK, pengawas internal dibentuk dsri Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), konsultan pengawas independen yang dipilih melalui PL atau lelang elektronik dan pejabat penguasa setempat (kepala sekolah atau lurah). Hasil PLB merupakan suatu laporan tertulis memuat kesesuaian, perubahan-perubahan dan rekomendasi ditandatangani oleh semua pihak dan melampirkan foto titik nol.
Ribet khan? Belum seberapa dalam menangani administrasi sebuah pekerjaan. Itu namanya birokrasi yang mbulet.
Setiap tahapan masing sub-bagian pekerjaan dibuat dokumentasi berupa foto dan hasil kuantifikasi untuk menyesuaikan dengan spesifikasi atau bestek. Tahapan-tahapan pekerjaan tersebut setiap hari diawasi secara ketat oleh pihak konsultan pengawas. Pihak pengawas internal (mewakili PPK atau pemerintah) melakukan pemeriksaan minimal sekali dalam seminggu.Â
Setiap minggu konsultan pengawas, pejabat pengawas internal dan kontraktor pelaksana menyepakati kemajuan pekerjaan. Laporan Kemajuan Pekerjaan Mingguan dan Bulanan (Mutual Check) disetujui dan ditandatangani oleh PPK, dan bisa menjadi dasar penagihan sesuai termijn dalam kontrak, dengan melampirkan foto-foto/video dokumentasi dan surat-menyurat lainnya. Didalam kegiatan pengawasan digunakan alat-alat bantu, seperti sigmat untuk menguji ketebalan besi, uji beton, meteran dan lainnya.
Pertemuan konsultan pengawas, kontraktor, pengawas internal dan PPK disebut Manajemen Konstruksi, untuk memastikan bangunan akan bertahan dalam jangka waktu lama.
Apabila terjadi temuan ketidak-sesuain antara hasil pekerjaan dengan spesifikasi yang dinyatakan dalam kontrak, maka konsultan pengawas, pengawas internal dan PPK dapat melakukan koreksi-koreksi, memerintahkan penggantian bahan atau pembongkaran pekerjaan, penalty overdue dan penghentian sementara. Tindakan paling final kepada kontraktor adalah pemutusan hubungan kontrak yang berkonsekuensi kepada dimasukkannya perusahaan kontraktor di dalam Daftar Hitam, berlaku di seluruh wilayah Indonesia selama dua tahun.
Setelah selesai pekerjaan, kontraktor masih menghadapi masa pemeliharaan dengan menjaminkan 5 % dari seluruh pembayaran, biasa disebut retensi. Masa pemeliharaan tersebut berlangsung selama enam bulan terhitung sejak tanggal berakhirnya kontrak. Selama masa itu, kontraktor membuat laporan pemeliharaan dilengkapi foto-foto bertanggal. Demikian agar kontraktor bisa mencairkan retensi pada akhir periode.
Selesai? Belum...!
Selama masa enam bulan pemeliharaan atau kebih, kontraktor pelaksana harus siap dengan pemeriksaan dari Badan Pengawas Daerah (Bawasda) dan Badan Pemeriksa Keuangan jika nilai proyek cukup materiil. Prosedur pemeriksaan meliputi: pencocokan kuantitas dan kualitas sesuai RAB, dokumentasi selama pekerjaan, kelengkapan administrasi pekerjaan dan sebagainya.
Setelah semua prosedur selesai, maka kontraktor pelaksana bisa bersantai, berkaraoke atau mancing galatama di Cibubur.
Eh... kembali ke pokok persoalan. Berkaitan dengan  kasus di atas dan berdasarkan uraian hasil pengalaman penulis (kasus lain bisa dibaca disini), maka tidak bisa hanya satu pihak yang  patut dipersalahkan. Sementara orang menyalahkan konsultan perencana, padahal sebelum pekerjaan dimulai --bahkan saat baru lelang-- kontraktor bisa menyatakan keberatan bila terdapat ketidaksesuaian dan kelemahan secara teknis.Â
Maka orang lain menyalahkan kontraktor pelaksana karena tidak sesuai bestek. Selama pekerjaan sampai dengan pemeliharaan, kontraktor selalu diawasi konsultan pengawas independen dan pengawas internal. Ketidaksesuaian akan berdampak kepada teguran sampai pemutusan hubungan kontrak. Apalagi jika pekerjaan tersebut menyangkut struktur yang harus diawasi ketat. Seluruh pekerjaan dipelototi oleh orang-orang berkapasitas di bidang konstruksi.
Para pihak secara bersama sudah mengetahui kekuatan suatu bangunan milik pemerintah. Proses renovasi SDN Gentong --apakah dilakukan pada tahun 2017 atau 2013-- pastinya telah melibatkan banyak pihak yang berkompeten dibidang konstruksi. Kesalahan teknis pun menjadi pengetahuan dan melibatkan banyak pihak: konsultan perencana, PPK, kontraktor, konsultan pengawas, pengawas internal, Bawasda, BPK. Pihak-pihak inilah yang bertanggung-jawab atas ambruknya atap bangunan SDN Gentong, Gadingrejo, Kota Pasuruan, Jatim.
Boleh diduga, godaan uang bisa meruntuhkan atap suatu bangunan bukan karena keadaan kahar (force major). Untuk mendapatkan jawaban, bisa ditanyakan kepada rumput bergoyang di antara alang-alang persekongkolan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H