Termasuk di dalam belanja barang modal adalah pembelian tanah (jarang terjadi), pengadaan inventaris, pembangunan gedung (pekerjaan konstruksi) dan pekerjaan infrastuktur (jalan, jembatan, pengairan).
Pekerjaan-pekerjaan tersebut dipihak-ketigakan melalui proses penunjukan langsung atau lelang sesuai besaran nilai (bisa dibaca di artikel ini). Perikatan antara perusahaan pemenang dengan pemerintah daerah (diwakili Pejabat Pembuat Komitmen Satuan Kerja Perangkat Daerah) berbentuk Surat Perjanjian Kerja atau umum disebut "kontrak".
Nilai pekerjaan yang tertera dalam kontrak sudah termasuk pajak-pajak. Sebagai ilustrasi, belanja modal dari APBD suatu daerah tahun 2019 adalah sebesar Rp. 1.600 miliar. Nilai tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
Untuk mendapatkan sebuah proyek pemerintah diperlukan "kesepahaman" dengan pemilik proyek, diwakili oleh pihak eksekutif dan legislatif. Kesepahaman tersebut, tentu saja, berdasarkan transaksi under table. Transaksi yang tidak bertanda-terima atau dilakukan dalam keadaan terang benderang. Biasa disebut commitment fee.
"Penjual" paket proyek tersebut bisa anggota legislatif (ingat kasus banggar DPR RI yang menyeret salah satu pesohor yang mempromosikan anti korupsi) atau Satuan Kerja Perangkat.
Daerah bersangkutan. Besaran transaksi antara 5 - 7 % -- tergantung apakah proyek tersebut "dagingnya tebal" atau "tulang"-- jika dari tangan pertama, sedangkan tarif di "calo proyek" berkisar 10 - 15 % . Berarti sisa keuntungan perusahaan sekitar 12,4 % (bila dikurangi commitment fee 7 %). Biaya lain yang mungkin timbul adalah: biaya asosiasi, biaya entertainment (biaya ini cukup besar, meliputi ongkos karaoke, mancing).
Mengacu pada ringkasan APBD tahun 2017, dari total belanja daerah seluruh Indonsia sebesar Rp. 1.052,6 triliun terjadi realisasi belanja modal sebesar Rp. 222,098 triliun.Â
Jika diletakkan asumsi-asumsi sebagai berikut: "terjadi persekongkolan di semua daerah tentang pembahasan anggaran dan ada commitment fee paket proyek sebesar 7 %", maka dapat digeneralisir ada dana haram yang dikantongi, diperkirakan mencapai nilai Rp. 15,55 triliun setiap tahun. Sebuah dugaan sementara menggambarkan jumlah fantastis yang menjadi arena"pesta pora" menggoda bagi oknum-oknum legislatif dan eksekutif.
Jadi, temuan pada Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020 DKI Jakarta merupakan sebuah fenomena puncak gunung es, dimana penggerogotan belanja modal tenggelam jauh dibawah permukaan hiruk pikuk publik. Diam-diam anggota legislatif dan eksekutif di daerah berbagi proyek lalu bekerjasama dengan pengusaha, "bancakan" tanpa gembar-gembor.
Semoga keberanian legislator muda itu menginspirasi sejawatnya untuk membongkar praktik tidak tercatat tersebut agar eksekutif di seluruh Indonesia tidak berani lagi melanggar sumpah jabatan.