Jika kenaikan tarif lebih besar dari 10 %, diduga masyarakat tidak memiliki kemampuan lebih besar untuk menahan melonjaknya harga komoditas lain (transportasi, pangan), sebagai efek berganda dari kenaikan tarif iuran serta tarif pelayanan publik lainnya.
Seperti BPJS Kesehatan, kenaikan sebesar dua kali lipat merupakan cara gampang untuk menutup defisit -- yang diperkirakan mencapai Rp. 32 triliun sampai akhir tahun 2019-- yang diakibatkan oleh tinggakan peserta mandiri/bukan penerima upah.
Sementara menurut Indonesian Corruption Watch (ICW) terdapat potensi fraud, yakni pengawasan, transparansi, dan tata kelola program JKN bermasalah bahkan cenderung pasif.
Seyogianya pembenahan internal, misalnya manajemen "gaya lama" dibenahi dulu. Tidak serta-merta menambahkan beban kepada masyarakat untuk menutup defisit. Demikian halnya dengan penyelenggara pelayanan publik lainnya.
Bukankan penyelenggara pelayanan publik, atau biasa disebut Public Service Obligation (PSO), kewajibannya adalah melayani masyarakat dalam hal: kesehatan, transportasi, pendidikan, kependudukan, SIM, perizinan, dan pelayanan apa saja yang dibutuhkan masyarakat? Perihal ini telah diamanatkan oleh Undang-Undang Pelayanan Publik Nomor 25 Tahun 2009.
Jangan sampai cermin dibelah karena buruk rupa.Â
Sebab demi menyelamatkan anggaran, maka balon "dipencet" terlalu keras pada satu sisi yang berakibat kepada menggelembungnya sisi ketahanan masyarakat, sehingga suatu saat "balon perekonomian" itu berpotensi meletus.
Letusan-letusan yang lama-lama bisa menjadi suatu tekanan berpotensi membahayakan negara. Meminjam satu konsep ilmu politik (lupa siapa yang mengintrodusirnya-penulis) tentang Teori Pegas yang kurang lebih menyatakan: "Semakin keras suatu pegas ditekan, semakin besar pula daya tolaknya".
Semoga tidak demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H