Ruangan putih memucat. Sepi mengalirkan kemuraman hampa. Sejenak, tadi di kamar itu beberapa kerabat memberi penghiburan, menenteramkan hati yang menyesak. Temaram lampu membuat wanita tercinta akhirnya tertidur pada pembaringan bersprei putih, lelah.
Dipandanginya paras wanita berkulit putih dan berhidung bangir itu. Senyum lembut mengembang pada wajah yang teduh, terdengar alunan nafas teratur, Sidin mengecup keningnya penuh kasih.
Sidin dianugerahi otak encer. Gumpalan putih di bawah tempurung kepalanya sedemikian cair, sehingga rumus-rumus matematika yang diajarkan oleh Bu Sukim turut mengalir keluar bersama air seni di kamar mandi, ketika pelajaran sedang berlangsung, luruh seluruh-luruhnya tenggelam masuk septic tank. Tidak hanya itu, pelajaran sekolah lainnya seperti fisika, kimia, geografi, bahasa Inggris bahkan bahasa ibunya, yakni pelajaran bahasa Indonesia, susah payah diperjuangkan agar meraih nilai cukup asal bisa naik kelas. Orang tuanya hanya mengangguk-ngangguk malu mendengar arahan wali kelas murid saat penyerahan rapor berisi kemeriahan warna-warni.
Di buku rapor tercatat nihil ketidak-hadiran sepanjang enam bulan bersekolah. Sidin dikenal sebagai siswa tidak pernah membolos dan selalu datang tepat waktu ke sekolah, kecuali berhalangan sakit atau ijin karena ada keperluan keluarga, dan itupun tak lebih dari tiga hari dalam catatan absensi selama satu semester. Inilah yang membuat wali kelas suka dengan sifat Sidin yang patuh pada tata tertib dan santun dalam diamnya.
Sifat pendiam yang demikian merepotkan dalam kaitannya dengan mahluk bernama wanita. Apalagi jika wanita dimaksud adalah primadona di sekolah, seperti: Lina, gadis mungil cantik yang tinggal di jalan Ciliwung; Atau sepupu Lina, Ani yang rambutnya berombak; Atau Evi murid pindahan dari Singosari; Atau Ratu yang senantiasa memperlihatkan sebelah telinga nan menawan hati; Atau-atau lainnya yang hanya bisa dilihatnya dari jauh.
Sekali lagi, dipandanginya  paras wanita berkulit putih dan berhidung bangir itu. Senyum lembut menggenang pada wajah damai yang tertidur, terdengar alunan nafas halus, Sidin tak akan bosan mengecup keningnya.
Tetapi gadis paling ditaksirnya bukan diantara bintang-bintang itu. Ia adalah siswi sederhana teman sekelasnya sendiri, berkulit kekuningan halus berambut hitam lurus, konon hasil perkawinan campuran.Â
Sidin benar-benar terkuras hati untuk mendekati sang gadis pujaan. Ada saja cara remeh-temeh untuk melancarkan pendekatan, seperti meminjam penghapus dan penggaris atau ballpoint yang sebenarnya selalu lebih dari satu dibawanya di dalam tas. Selalu ada alasan untuk sekedar memandang senyum gadis berponi itu, sambil berucap: "Boleh pinjam ballpoint?" Hanya itu yang keluar dari mulutnya yang nyaris terkunci.
Sophia mentertawai perilaku kikuk Sidin. Suatu saat, sahabat dari kecilnya tersebut berniat memberikan  setangkai bunga berwarna kuning kepada gadis berponi berkulit kekuningan itu.Â
Sidin menjemput peluang ketika pulang sekolah untuk menyerahkan setangkai bunga kuning kepada gadis berponi berkulit kekuningan. Suasana hatinya sangat kacau balau. Saat kesempatan bersemi, mendadak benak Sidin membeku tidak mampu meneteskan kekuatan untuk mengucapkan kata-kata yang sudah dirapal sejak semalam.
"Kenapa?" tanya gadis berponi berkulit kekuningan kepada Sidin yang mematung.