Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kucing Melungker di Kursi Besi

16 Oktober 2019   18:15 Diperbarui: 16 Oktober 2019   18:15 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sengatan terang mengusik matiku yang damai, sebuah kegelapan yang telah membenamkan persoalan jauh ke dalam mimpi meriak. Cahaya matahari teramat menyilaukan, pagi merambat lelah. Lalat-lalat hijau bermata besar semburat terbang menyingkir dari tubuh menggeliat menguap lebar-lebar belum tersentuh air. Duduk menarik lutut mengadukan kedua sikut agar telapak mampu menampung kepala yang masih malas. Riuh rendah pasar di dalam benak mendengungkan jual beli. Segera saja aku menampar-nampar pipi membunuh keramaian, lalu menutup rapat daun telinga. Suara ombak berdengung.

Mobil-mobil melesat di jalan raya, berjenis-jenis. Mereka amat tegesa mengais rezeki demi membayar cicilan mencekik. Sama saja, aku pernah mengendarai sepeda motor terbirit-birit mengejar setoran atau menambal hutang bertambalan kepada kenalan untuk melunasi angsuran yang sudah dua bulan telat. 

Akhirnya aku menyerahkan sepeda motorku ke orang-orang berbadan kekar. Sedikit memaksa, tapi aku menyerahkannya untuk menghindari pertengkaran kalut. Sempat agak gusar mempertahankan hasil keringat, tetapi orang-orang memeluk menarikku dari arena pertempuran. Biar saja nanti kita lapor polisi, kata salah seorang dari mereka yang lalu raib dari kerumunan seperti orang-orang berbadan tegap yang membebaskan diri dari persoalan sita-menyita sepeda motor matik berwarna biru.

Sepeda motor biru kesayangan untuk mengantar istri ke pasar, berboncengan bertiga dengan anak ke kebun binatang pada hari minggu dan tentu saja mengantarku ke tempat pekerjaan tanpa telat. Sepeda motor yang menuntunku pelan menyeruput kopi di warung teduh depan mesjid besar setelah mengisi absen di kantor. Ya...! Jabatanku sebagai tenaga penjual memberikan keleluasaan mengendarai waktu, sepanjang target bisa dijamah. Bercangkir kopi kuseduh, demikian membuai, hingga berlembar tugas menumpuk tidak bisa kureguk habis.

Embun diujung rumput. Kedudukan pada kursi rapuh menjadi gampang goyah digantikan pegawai yang trengginas.

Sejak berhenti dari kantor terkutuk itu, tiga bulan sesudahnya kesulitan keuangan membuatku pontang-panting mengerjakan apa saja yang bisa menghasilkan uang.  Untuk meringankan petak di tengah jamur kontrakan yang mengapung di atas bekas rawa berbau anyir dilindasi tikus-tikus lebih besar dibanding kucing berkeliaran, istri dan kedua anakku dititip sementara ke pangkuan ibu mertua di kampung halaman. Setelahnya, mereka digondol duda yang selalu mengenakan gelang dan kalung chrome dibalik kemejanya yang tidak terkancing dua titik menampakkan dada.

Aku sebagai layangan putus. Langit mengambang berhanyut-hanyut dirayu angin lalu menghempaskanku seketika ke bumi diinjak-injak sendal jepit hingga seluruh harga diri terbenam di lumpur bekas rawa berbau anyir dilindasi tikus-tikus lebih besar dibanding kucing berkeliaran itu. Mujur bukan kabel halus di dalam benda putih dibungkus tulang tengkorak yang terputus.

Lama. Seorang teman --bekas teman sepekerjaan di bekas kantor-- menawarkan sebuah metafora kemudahan untuk menggapai kemakmuran. Bagiku, kemudian menjadi sebuah adagium untuk merampas mereka yang tercinta dari duda yang selalu mengenakan gelang dan kalung chrome  dibalik kemejanya yang tidak terkancing dua titik menampakkan dada.

Serigala-serigala berbulu domba menenteng keranjang berisi hati yang telah dicuci dari benaman lumpur bekas rawa berbau anyir dilindasi tikus-tikus lebih besar dibanding kucing berkeliaran. Temanku datang membawa wajah-wajah malaikat menawarkan inspirasi akan suatu makna hidup yang lebih dari sekedar makan dan bersenggama (meminjam istilah dari Eko Jatmiko Utomo - pen.). Pertemuan-pertemuan dan pelatihan-pelatihan berikutnya sedemikian membangkitkan semangat mengubah keterpurukan menjadi suatu hidup yang bernilai grandiose. Dahsyat...!

Ruh kehidupan kembali mengalir ke seluruh pipa kapiler pating bersliweran di dalam tubuh, setelah meranggas hampa. Menghidupkan lagi gegas bertemu kawan baru yang memperkenalkan kawan baru. Tutur tinular menggemborkan kegembiraan: memekik pada setiap perjumpaan yang dipucuki dengan pertemuan nasional di Stadion Bung Karno!

Eforia yang mengandaskan tabungan sampai palung terdalam. Perjumpaan, pertemuan dan perekrutan bawahan sangat memerlukan biaya mondar-mandir serta cemilan demi merayu kawan, terakhir menjadi inceran adalah Abang --seorang tukang tambal ban-- yang serta merta melepehnya bersama dahak kuning kehijauan ke jalan beton bekas rawa berbau anyir dilindasi tikus-tikus lebih besar dibanding kucing berkeliaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun