Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Empat Lelaki Mengejar Matahari

5 Oktober 2019   10:49 Diperbarui: 5 Oktober 2019   11:22 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lima belas tahun Islam, lahan itu masih lengang. Kebun percobaan, lantai jemur, gudang jagung dan biji palawija lainnya serta sebuah kantor administrasi. Bangunan kuno bekas peninggalan kolonial Belanda kini telah rata, disesaki sederetan bangunan mess dan kantor balai penelitian yang menyisakan halaman lebar. 

Halaman rindang ditumbuhi berbagai pohon: mangga, jambu air yang manis rasanya, rambutan, sirsak, huni dan berbagai pohon penghasil buah lainnya.

Di sanalah empat orang lelaki memburu sinar matahari pagi. Ikin, berjalan sambil sesekali mengangkat tangan, merupakan pensiunan pegawai sebuah universitas; Rio adalah karyawan swasta yang berhenti begitu saja. Oji dan Mus sedang duduk di kansteen depan mess ketika Rio datang menyapa mendaratkan pantat. Cahaya pagi mulai menerobos malu-malu.

"Silahkan, kami sedang duduk berjemur sampai nanti jam sembilan" jawab Oji, pria kurus berkemeja batik bercelana hijau tua. Mus hanya tersenyum mengangguk.

"Masih sering ke dokter?" tanya Rio.

"Sebulan sekali rawat jalan ke RSUD. Memang seperti kita harus rajin minum obat, kalau tidak......" jawab pria kurus.

"Saya sangka bisa tanpa obat, cukup menjaga asupan makanan saja. Misal, makan masakan rebusan, tidak digoreng dan tidak bergaram" Rio berharap ada alternatif baru yang tidak perlu mengeluarkan banyak biaya".

"Justru itu, isteri di rumah memasak makanan rebus tanpa garam. Lho kok ya di luaran ketemu gorengan: tempe, bakwan apalagi mie ayam. Mana tahaaan....!!!" canda Oji. Rio dan Mus terbahak tak tertahan, tanpa suara.

Ikin membuka baju menguapkan peluh setelah olahraga jalan kaki di bawah panas yang mulai merambat. Kemudian bergabung, menampakkan perut buncit, kulit legam karena sering tersiram matahari.

"Pak Ikin makin gemuk saja sejak punya bini baru. Ada yang merawat sih!" Oji lancar bercerita, suaranya jelas. Lima tahun lalu istri pertama meninggalkan Ikin. Dendam menyumbat, hingga komunikasi anak kandung dengan mantan istri diputusnya.

Sekali Mus memenggal lidah, suaranya tertahan sebab tidak semua udara dari dada bisa dikeluarkan. Ketiga kawan lain menjulurkan kuping supaya tidak ketinggalan kisah.

"Dulu, Saya doyan....melahap....soto.....babat...santan di ujung...jalan" terbata Mus berkisah.

Menekan suara sekuat mungkin, Rio menimpali "Saya tidak sefanatik itu, malahan kalau dulu makan seadanya saja. Biarpun cuma ketemu warung nasi Padang, warung sop iga atau gule kambing.......hahahaha! Namun yang membuat saya begini, sebetulnya karena jarang istirahat. Tuntutan pekerjaan menjadikan waktu lowong terbatas. Di lapangan menghadapi berbagai persoalan mendidihkan darah. Di kantor menemui pekerjaan kertas kudu kelar cepat ditambah bos senang meradang sambil ongkang-ongkang kaki".

Rio menghela nafas "sembilan bulan lalu saya mendadak sakit kepala hebat, lemah tak mampu menggerakkan badan. Terlambat dibawa ke Rumah Sakit. Saat itu tidak ada yang mengerti. Hampir bersamaan dengan pak Mus yang juga terserang bagian kanan, hanya beda sebulan". Mus memamerkan gigi mengangguk. Sekitar enam tahun lalu, Ikin dan Oji terserang penyakit yang melumpuhkan bagian kiri.

"Boleh jadi Tuhan masih menyayangi, dikaruniai penyakit seperti in. Bukan ujian..........!" Rio melanjutkan, "Selama sehat, Saya bernas melakukan apa saja: makan sesuka-hati, menghabiskan waktu untuk hal sia-sia dan  --mungkin-- berbuat ihwal yang merugikan orang lain, bahkan melakukan tindakan melanggar aturan agama. Selama itu pula saya melupakan ibadah......." kornea mata membasah, ketiga orang pria lainnya terdiam.

"Beruntunglah, masih dikasih tenggang. Coba seandainya dicabut nyawa dalam keadaan lalai....? Kini, dengan membatasi gerak, DIA memberi kesempatan melunasi  hutang perbuatan buruk di masa lalu dan mendekati-NYA" Rio menutup pembicaraan yang cukup menguras tenaga.

Tidak berapa lama perjumpaan itu usai, empat lelaki paruh baya kembali ke maksud masing-masing. Oji dengan tongkat penopang di kiri berjalan tertatih beriringan dengan Mus kembali menuju kantor, memenuhi kewajiban sebagai Aparatur Sipil Negara. Ikin berjalan perlahan pulang ke istri yang selesai memasak ayam kecap. Rio menyantap siang sambil meringankan jalan.

Besok, kembali empat lelaki itu --yang sedang dalam masa pemulihan paska terserang stroke-- berjemur mengejar pancaran matahari pagi, menghangatkan badan dan saling menyemangati. Entah sampai kapan?

~~ Selesai ~~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun