Dalam tatanan masyarakat yang kian permisif, ketidak-hadiran sementara orang dalam event penting semakin hari kian dianggap lumrah, seperti yang dilakukan saat masuk Sekolah, Kantor, ruang rapat dan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Seperti ihwal "jam karet" --alias datang terlambat pada suatu kegiatan yang telah ditentukan--sudah menjadi kebiasaan buruk. Kebiasaan yang terus-menerus dilakukan sehingga akan menjadi budaya yang diterima begitu saja.
Apakah kemudian ketidak-hadiran atau membolos dibiarkan menjadi budaya? Apa alasan sebenarnya di balik bolosnya anggota dewan terpilih oleh rakyat pada hari pertama?
Pada Selasa malam (tanggal 1 Oktober 2019 - penulis), anggota dewan periode 2019-2024 menggelar rapat paripurna perdana. Berdasarkan catatan Kesetjenan DPR, hanya 285 dari 575 anggota DPR yang menandatangani daftar kehadiran rapat. Artinya, 290 anggota DPR absen. Jika dihitung, maka 50,43 persen anggota dewan bolos di rapat paripurna perdana yang mengagendakan pengesahan Ketua DPR Puan Maharani itu. Sementara itu, hanya 49,57 persen yang hadir dalam rapat (Tsarina Maharani - detikNews; Rabu 02 Oktober 2019).
Kejadian tersebut bukanlah "prestasi" pertama kali yang ditorehkan anggota dewan yang dibiayai dari anggaran belanja negara. Sidang rapat DPR periode jabatan 2014-2019 berlangsung terlambat dari jadwal serta diwarnai oleh aksi bolos anggotanya
Rapat yang dijadwalkan berlangsung pukul 10.00 WIB baru dimulai pada pukul 11.20 WIB. Selain itu, berdasarkan catatan Sekretariat Jenderal DPR, Rapat Paripurna yang dipimpin langsung oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo ini hanya dihadiri oleh 307 dari 560 anggota dewan (CNN Indonesi; Senin, 30/09/2019 12:02).
Jika ditelusuri lebih lanjut jangan-jangan akan menghasilkan daftar panjang anggota DPR yang membolos dan telat hadir setelah masa reformasi.
Dalam sebuah seminar tentang leadership, sehari sebelum acara dimulai telah disepakati antara peserta dengan fasilitator tentang tata-tertib atau ground-rules demi kelancaran kegiatan. Salah satu aturan adalah menyangkut "tepat waktu yaitu hadir pukul 7.00 pada tempat duduk masing-masing di dalam ruang seminar". Para instruktur asing itu sudah mahfum kebiasaan jam karet di negara ini, maka penekanan pada "to be on-time" menjadi pelajaran pertama.
Keesokan hari, tercatat lebih dari 80% peserta dianggap tidak tepat waktu! Mereka yang pada jam tersebut masih tampak nongkrong di sekitar pintu masuk, berada di lift naik ke lantai ruang seminar, baru tiba di halaman gedung dan, bahkan, masih dalam perjalanan.Â
Bayangkan masih dalam perjalanan (otw) saja mereka tidak merasa terlambat. Sedangkan menurut aturan dasar, tepat waktu adalah ketika duduk pada kursi masing-masing pada jam 7.00.Â
Seorang peserta dari Singapura terlambat satu jam dari waktu ditentukan, dengan dalih: sulit mendapatkan taksi (saat itu belum ada moda transportasi daring) dan macet. Instruktur berkebangsaan Amerika menjawab sinis "sudah tahu bahwa Jakarta sulit taksi dan lalu-lintasnya macet, kenapa tidak berangkat dari dua Minggu yang lalu supaya tidak terlambat?"
Kisah kedua; Kepala Divisi EESH (Energy Environment Safety and Health) sebuah perusahaan PMA di sebuah kawasan industri menegaskan kepada karyawan, "...bahwa hanya orang mati yang tidak bisa datang ke tempat kerja! Ambulans dan klinik kesehatan dibuat untuk pekerja yang sedang sakit. Mereka yang memang ada keperluan, ada mekanisme ijin. Maka tidak ada alasan yang bisa diterima untuk tidak masuk bekerja".