Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Adalah Pelacur, Bukan WTS Ataupun PSK...

16 September 2019   09:15 Diperbarui: 16 September 2019   09:48 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki paruh baya itu terbang pikiran, bergairah tatkala mata menatap nanar gundukan yang mulai mengendur samar pada suramnya malam diiringi gesekan roda commuter line di jalurnya yang anyep. Tidak butuh waktu lama, sang wanita terlentang meloloskan satu-satunya penutup yang tertinggal di tubuh. Dengan napas tersengal tidak teratur menghamburlah bau busuk lisong dari gigi kuning, seketika meledakkan berahi setelah beberapa kali memompa pinggulnya di atas salira hambar. Lima menit. Sisanya adalah masa menuntaskan separuh batang rokok kretek yang dipadamkan sebelum memasuki tenda beralaskan tikar robek pada ujung-ujungnya. Terdengar suara parau seperti gema sundal di perkampungan sepi: 

"Sudah ya! Aku mesti merapikan pupuran. Nanti keburu ada tamu lagi" sembari menebalkan bedak murahan pada pipi tergerus kelam.

@@@

Nisa seorang murid sekolah menengah pertama menjelang tingkat akhir. Posturnya tak terlalu mencolok sehingga sulit dibedakan dengan para siswi lain saat bubaran sekolah. Wajah bulat manis berhidung lebih mancung dibanding teman-temannya merupakan pembeda. Rumahnya pun jauh menempuh pematang sawah paling akhir mendekati bendungan yang baru dua tahun lalu penuh berisi air akibat didamnya sungai berhulu di Gunung Wayang. Berjalan riang bersendiri menyusur galengan setelah bersenda-gurau dengan kawan-kawan seperjalanan pulang. Bapak sedang berperahu menjala nasib di bendungan Saguling setelah menyempitnya peruntungan di sawah. Emak merambah ladang, mengais sisa panen ubi. Ia pun menyantap nasi bersayur lodeh cabe gendot sendiri saja.e

Hari itu, beruntung Suganda pulang cepat dibanding biasanya sehingga bisa menemani anak-anak didiknya berjalan beriringan pulang. Kemudian menemani Nisa menyusuri pematang sawah mengering menuju rumah masing-masing, hanya berjarak satu huma. Kadangkala mampir sebentar membantu mengerjakan PR atau memang siswinya kenes bertanya tentang mata pelajaran yang sulit dimengerti oleh alam pikir yang masih remaja. Hanya dua hari kesempatan dalam seminggu, cukup bagi guru beranak dua itu mengajarkan mengenai pelajaran-pelajaran sekolah, pekerjaan rumah, dan bagaimana cara bercinta. Untuk pertamakalinya Nisa merasa bak dirobek-robek di bagian bawah perut oleh dengus nafas bernafsu. Namun sentuhan berikutnya menjadi kian menyenangkan yang mengajak melayang ketika beberapa kali tubuh polosnya berdempetan dengan badan gempal sang guru tanpa seuntai benang.d

Suganda membawa Nisa ke kota besar sejarak dua jam perjalanan dengan angkutan umum setelah meyakinkan orang tuanya. Akhir-akhir ini Nisa merasakan pusing tidak berkesudahan menyebabkan absen sekolah. Mual dan muntah, alasannya. Bapak dan Emak hanya berdoa tak mengerti apa yang menimpa Putri semata wayang, Suganda memahami kemana tujuan hendak dicapai. Kenalannya yang bukan dokter adalah seorang perempuan yang bisa menolongnya. Membantu membiayai pengguguran kandungan dan sekedar ongkos pulang-pergi. Sebab Nisa tinggal beberapa hari di rumah besar itu, maka tak terpikirkan jawaban menenangkan Bapak dan Emak. Oleh karenanya ia menurut saja ketika perempuan gemuk bergelang emas itu menawarkan pekerjaan di Ibukota. dan

Lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya. Awalnya hanya isak tangis didustai, berikutnya Nisa berdandan bak selebriti yang sering dilihatnya di sinetron. Tanpa bubur merah putih seperti di kampungnya, ia mengganti nama menjadi Bidadari Janeesa. Melayani angin nafsu yang kencang meliuk-liuk menikmati perjalanan menelusuri bukit-bukit dan lembah belia ditumbuhi kembang melati, sampai tiba saat menghela lelah melemah. Dengus napas bernafsu pria kota dengan cucuran peluh kepuasan yang wangi, kendati sama saja bau cairan dikeluarkannya atau rasa getir yang tertelan.

Barang baru menawan untuk dipesan. Tak berapa lama, Bidadari Janeesa menjadi primadona rumah bordil mewah tempat para bidadari muda berlabuh di kawasan pemukiman elit. "Lady Escort" canda para penikmat. Perolehan dari pelanggan dalam sebulan harusnya cukup membeli tanah agar bapaknya bisa bersawah lagi. Apa daya nilai itu dipotong berbagai keperluan: baju-baju, makan, biaya tinggal dan kosmetik berharga berlipat-lipat yang ditalangi sang mucikari. Ditambah potongan untuk germo, para centeng dan tukang ojek antar jemput ke Hotel.

Wanita Tuna Susila, demi melembutkan penyebutan, terkikis oleh usia setelah kebeliaan habis diserap oleh kumbang-kumbang durjana lantas Bidadari  turun dari kayangan berpindah ke tempat yang "lebih rendah" bayarannya, tak lagi mampu bersaing dengan kembang muda baru lainnya berasal dari kampung. Suatu alternatif bagi konsumen untuk membeli sepotong erangan lebih hemat, umumnya para STNK (setengah tuwo ning kepenak) melayani jasa di tempat. Setidaknya menghemat sewa kamar Hotel, biaya antar-jemput dan tips penjaga. Namun tak juga bisa membelikan bapak sawah yang semakin menaik harganya.

Sekarang Nisa sudah terbebas, merdeka dari kungkungan mucikari, tak perlu membayar mereka yang mengawalnya agar tidak kabur dari rumah pelacuran, tidak ada tukang antar-jemput, bisa memakai kosmetik lebih murah. Paling yang dibayarnya adalah preman mabuk dari Pasar Rumput yang menyewakan tikar. Ia mandiri sebagai Pekerja Seks Komersial, melayani segala dengus nafas bernafsu untuk sekedar melepaskan syahwat membubung dengan bau peluh bercucuran bercampur asap knalpot dan deru debu jalanan. Usia empat puluh tahun membuatnya bebas memilih lokasi menjajakan sisa kemolekan sepanjang kekelaman panjang jalan Latuharhary yang menghantarkan batuk darah dan raja singa membusuk.

@@@

Terbatuk-batuk menghisap rokok kretek, dengan suara serak Nisa berdendang lirih:

Aku adalah pelacur ...

Engkau sebut Wanita Tuna Susila..

Engkau namakan Pekerja Seks Komersial...

Wahai engkau pujangga pelembut kata...

Pelacur adalah pelacur, wahai pujangga pandai menyusun kata...

 

Aku adalah pelacur terpinggirkan dari gedungmu...

Aku adalah pelacur tempat mencampakkan  berahimu...

@@@

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun