Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Fajar Menelan Senja

9 September 2019   09:10 Diperbarui: 9 September 2019   10:59 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kata orang senja itu sewarna lembayung. Menyemburkan merah jingga semburat pada cakrawala angkuh dingin.

Senyatanya ia kemerah-merahan bukan seperti darah, sebentar menjelaga kemudian lenyap melindap. Malam akan menelannya pelan-pelan. Namun sekali ini tawang ganjil tersebut berlangsung terlalu lama tidak seperti biasa. Seakan-akan mengisyaratkan amuk murka pertanda akan ada bala. Serombongan kuda hitam masuk melewati kaca nako yang belum sempat ditutup segera untuk merintangi datangnya angin petang. Meriap-riap kencang memekakkan gendang apabila telinga tidak disumpal kayu gabus. Berpakaian hitam kelam kepala diikat kain seorang pria bermuka parut memekik-mekik melecut segenap kuda dengan pedangnya, lantai memerah seperti senja yang mencekam tegang. Fajar terengah-engah meringkuk takut.

Adik lelakinya sedang bermain bersama teman-temannya menendang bola volley bocor di sawah seberang rumah yang meranggas oleh kemarau . Emak sedang kusut sibuk mencuci piring bekas makan pada senja itu dan gelas memerah dijejaki teh. Di dipan bambu reyot bapaknya mencucup segelas kopi telah dingin sembari mengarungi asap rokok melewati batas cakrawala menembus sela-sela dipan bambu reyot di teras rumah. Diam.

Sementara ia menjerit-jerit ketakutan di senja memerah mengumumkan ke segenap penjuru, bahwa bahaya mengancam telah menjelang. Pedang berkilat-kilat menyerang gemuruh akan menghancurkan dunia dan seisinya. Maka berhamburanlah orang-orang yang sedang menyepak bola memecahkan kaca sekolah mendatangi rumah berdinding gedhek berlantai tanah nan mengeras. Bapak dan emaknya berusaha menghela nafas sembari menenangkan sia-sia. Sedangkan adik lelaki berkulit arang menyelinap entah kemana.

@@@

Fajar sempat berkuliah di kota sejuk berjarak waktu lima jam jika ditempuh dengan colt yang dikemudikan oleh supir bernyawa empat. Satu-satunya orang di kampung nan beruntung berkesempatan mengenyam pendidikan yang mengajarkan mimpi. Meski di awalnya ia, dengan segala adab lugu wejangan para tetua, harus kuat hati melampaui perploncoan para senior yang menyisakan luka raga maupun pikiran. Kenangan yang memecut keras kemauan untuk mengayuh pedal keilmuan lebih kencang agar suatu hari kelak bisa menyangga beban kehidupan bapaknya yang kian renta. Ia menjadi demikian terang akal, hingga ihwal di luar ilmu pertanian yang ditekuninya menjadi pengindahan. Bertekad dengan kelompok primordial berbual-bual demi mendirikan negara khilafah. Berlembar-lembar kertas dilukiskannya tentang keburukan pemerintah sedang berkuasa dibanding kelebihan coretan tertumbuk akal tak penuh pada selembar daluang. Sejak itu ia menjadi aktivis yang vokal menyuarakan keadilan.

Tidak terlalu lama setelah semester tiga berjalan, ngilu serasa di sekujur tubuh, raut lebam merah kebiruan pada suatu magrib menjadi tanda tangan sebilangan orang upahan Residen Priangan agar menjaga ruang sela dengan putri terkasihnya. Hatinya terampas oleh keanggun yang tak pernah usai oleh seorang gadis elok berkulit pualam dengan wajah sangat juwita. Dara yang ringan lidah, sebentar saja sudah tertawa renyah menimpali gurauan Fajar yang legam dengan urat menonjol.

Sandyakalaning Tyas. Teman-temannya memanggilnya "Tyas". Fajar lebih suka menjulukinya "Senja". Sebuah pujian melukiskan keelokan binar matahari merah berselubung awan putih yang pasrah dipeluk gunung menuju malam yang telah ranum. Peluh deras bersitegang dengan lendir roll-on, menyeruak lewat pori-pori kemeja batik jahitan emak berebutan hendak ikut bercakap saat Fajar sedang beria-ria dengan sang Senja pada teras rumah berlantai marmer suatu kawasan elite pemukiman para petinggi di dekat taman makan pahlawan. Enam purnama kembang-kembang di hati disirami setelah sebelumnya layu oleh gersang, bercengkrama menggunjingkan tentang segala hal. Enam bulan mengabaikan kelompoknya, jinak tidak meluapkan idealisme,.

Awak tikus hendak menampar kepala kucing. Angan-angan mendadak lapuk ketika ayah sang putri secara berdaulat tanpa tampik:

"Wahai engkau anak muda berasal dari kaum paria yang tertulang bukanlah sandingan sepadan dengan anakku yang adiwangsa....".

"Oleh karenanya, merengganglah sejauh mungkin sebelum terjadi sesuatu buruk padamu".

Pulau sudah lenyap, daratan sudah tenggelam. Harapan telah pupus. Hangus hatinya, rindu mendalam tak berbalas merupakan benih dari jiwa mendidih. Setelah itu sepak-terjangnya pun berimbuh lantang, keras, untuk melupakan Senja menawan. Tiada lagi asap knalpot angkutan umum berburai turut menemani Fajar menyambangi rumah Senja. Puri berpagar tinggi itu sudah mengungkung pintu bagi penghampirannya. Termenung tumpul memikirkannya kedalam benak.

"Semua berlaku tidak adil...! Negara telah bertindak tidak adil kepada rakyat kecil....!!!" garang diteriakkan pada lorong kampus yang sepi. Amarah menggelar ketika melihat seseorang sedang membaca buku Arief Budiman, Jalan Demokratis ke Sosialisme: Pengalaman Chlii di Bawah Allende.

"Apa yang kamu baca, hah.......???. Pasti bacaan tentang komunis....!!!!!?". hardik Fajar kalap.

"Bukan Kang. Bukan..... Buku ini mengisahkan peristiwa coup d'etat di negara Chili pada tahun 73'an".

"Dengan sandi 'Jakarta Operation' yang terinspirasi dari keberhasilan peristiwa serupa, dimana Soeharto berhasil menggulingkan Soekarno tanpa menggunakan kekutan militer".

"Di eselon dua,  jenderal Augusto Pinochet membunuh Jenderal Ver sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, sehingga bisa menggulingkan Salvador Allende. Presiden sipil itu membuat Nixon marah karena telah menasionalisasi perusahaan pertambangan dan perbankan milik korporasi Amerika. Maka diduga ada keterlibatan CIA dalam Operasi Jakarta di Chili".

Fajar meradang: "Tapi khan Allende penganut marxisme...!!! Dasar antek PKI....!!!!!"

Mereka berperang mulut tak berujung bak dua prokrol bambu sampai ketika Fajar merobek-robek buku, yang diharamkan pada jaman Orde Baru itu, memukul lalu meluluh-lantakan bangku kayu berkali-kali pada lengan lawan yang sudah patah tidak berdaya. Belum tahun ke dua Fajar dijemput keluarganya pulang ke kampung sebelum senja. Tidak kembali.

@@@

".......ada orang sepasukan masuk melompati jendela nako. Kalian tidak lihat?" seru Fajar kian meringkuk mengatupkan kedua tangan menutupi muka sangat ketakutan.

"Tadi siang juga bermunculan tentara-tentara berbayonet panjang dari pematang sawah..... Waspada! Mereka hendak menyerang kita. Seluruh kampung...." enam orang berusaha memegang kukuh seraya menenangkan.

Seorang tetangga bersinggungan teratak mendesis lirih; "Ia sebaiknya segera dipasung sebelum mencelakakan warga.........".

Bibir keriput Bapaknya bergetar menghembuskan asap rokok, diam. Emaknya sesenggukan di dapur. Adik lelakinya menyelinap entah kemana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun