Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam Durjana Memerah

2 September 2019   12:18 Diperbarui: 2 September 2019   14:41 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perlahan rasa dingin menyelusur ke sekujur tubuh. Ngilu melesap jantung pada dada berburai kendati tiada terasa sakit, namun sedikit perih mengiris ulu hati. Deraian darah memerah membasahi punggung yang terkapar layu pada ubin putih mengkilat. Asa telah pupus seiring tersengalnya nafas sebagai pertahanan terakhir. Dalam malam kelam menjelaga semakin pejam perlahan ia berusaha mengingat semua kejadian dengan jelas, fragmentasi kehidupan mengalir berpusing kian cepat.

@@@

Darah mengucur lantas mengalir deras melalui saluran pembuangan menuju kali. Mau tidak mau sebagian darinya memercik menodai kaus merah yang dikenakannya. Hanya beberapa titik, dibandingkan dengan banyaknya nyawa meregang akibat perbuatannya. Ini adalah penyembelihan paling buntut dari truk pengangkut ayam potong yang diambil dari para peternak. Tidak sebanyak seperti hari-hari kemarin. Segera setelah regangan nyawa ayam  terakhir diiris urat nyawanya, ia dapat membersihkan diri lalu bergegas pulang menemui istri yang baru dinikahi dua bulan lalu. Pulang jauh lebih cepat, kurang dari jam satu dinihari dibanding hari-hari sebelumnya dimana pekerjannya sebagai penjagal ayam baru usai menjelang subuh, untuk menuntaskan kewajiban sebagai layaknya suami kepada istri tercinta.

Wanita yang dirindu sekaligus dibencinya!

Dia itu bukanlah jenis wanita cantik menurut stereotip yang kerap digambarkan pada cerita fiksi masa kini. Wajah bak artis Korea: berkulit putih, mata sayu dengan bulu mata melengkung, hidung mancung, bibir tipis merekah dan pastinya tubuh ramping seperti gitar Spanyol. Tidak! Bukan seperti lukisan impian itu. Bahkan diantara teman-temannya, yang seringkali nongkrong setelah waktu Isya di taman sepi seberang tempat pemotongan ayam, dia bukanlah gadis paling cantik. Barangkali yang menarik perhatian di balik balutan busananya yang senantiasa ketatadalah bagian yang sangat menonjol bergunung-gunung. Bibir yang seolah tebal bila tidak dipulas gincu dan hidung mungil sedikit melebar konon dianggap menggambarkan wanita dengan gairah yang tak ada habisnya. Ah........gadis yang sedap dipandang.

"Hei...cowok, godain kita dong!!!" Sebuah celetukan centil terdengar diantara cekikikan sekumpulan empat orang gadis yang sedang duduk-duduk di taman sepi. Taman yang dibuat oleh pengusaha pemotongan ayam agar dapat membatasi suara hilir-mudik truk pengangkut dan bau kotoran unggas yang dikeluhkan warga. Juga sebagai tempat beristirahat para pekerjanya. Pada galibnya, akhirnya ia berfungsi sebagai tempat bersantai para wanita yang usai menyelesaikan pekerjaan membereskan bekas makan malam di rumah-rumah majikan yang terletak di sekitar.

Para pekerja sedang menunggu kiriman dari peternak, diangkut oleh armada truk engkel milik pengusaha pemotongan ayam. Persinggungan waktu santai wanita pekerja rumah tangga dengan waktu tunggu pria pekerja pemotongan ayam telah menciptakan ruang perkenalan, kemudian tercipta suatu atmosfir senda gurau penuh gelak tawa.

"Siapa takut...." para pria, rata-rata adalah perantau, segera datang menghampiri. Semerbak wangi, entah dari parfum isi ulang atau shampoo anti rontok, tercium di sekitar para gadis. Sementara para pria tak perlu terlalu harum karena masih akan berkutat dengan aroma ayam yang aduhai. Singkat kata, mereka saling berkenalan. Perkenalan yang mendebarkan sekaligus menyenangkan. Truk pengangkut ayam datang, bergegas para pria kembali ke tempat kerja untuk melakukan penjagalan dan pembersihan. Giliran para supir truk beristirahat setelah perjalanan cukup jauh dan bercengkrama dengan para gadis sampai jam sembilan malam.

Tarsih merupakan gadis pemberani, ia menyapa dan memperkenalkan diri terlebih dahulu Ternyata ia genit manja mengundang para pria untuk menggoda mereka. Ia demikian cukup menonjol di antara gadis-gadis itu, secara harfiah maupun tersirat. Dengannya menjadi menyenangkan membicarakan tentang segala hal. Mereka saling bercerita ihwal masa lalu, apa yang terjadi saat sekarang ataupun rencana-rencana yang akan diraih. Meskipun berasal dari pucuk gunung yang sulit dijangkau, namun Tarsih telah merantau ke kota ini sejak lulus SMP. Selama tiga tahun itu ia bekerja di empat majikan berbeda, yang membuatnya lebih terbuka dan mudah akrab dengan siapa saja. Someah dalam bahasa Sunda.

Setiap hari bertemu, kemudian teman-temannya mulai membiarkan Tarsih dan Tarjo hanya berdua. Seperti memahami bahwa sedang terjalin getaran cinta diantara dua insan, kerap terlihat dari kilatan mata saat beradu pandang. Sedemikian dekatnya sehingga Tarsih berani merangkul pinggang Tarjo secara terang-terangan di muka umum. Pacaran, istilah remaja kota, antara Tarsih dan Karjo telah berlangsung hampir satu tahun.

Bukan berarti hubungan asmara ini berlangsung mulus. Beberapa kali mereka bertengkar: Tarjo merasa Tarsih terlalu gampang akrab dengan lelaki lain, supir truk, hingga mengganggu konsentrasi kerja. "Memang sifatku begitu. Tapi akang jangan khawatir, sedekat apapun dengan laki-laki lain tak ada rasa di hatiku. Aku mencintaimu Kang..!" kilah Tarsih seperti dialog sinetron yang sering ditontonnya. Dengan tukang sayur pun Tarsih tidak canggung bercanda penuh godaan sensual, baik pedagang yang menggunakan gerobak maupun yang memakai sepeda-motor untuk membawa sayur mayur. Merekapun berimajinasi untuk menjelajahi kemudaan dara kenes meriap.

Paling dahsyat membuat hati terbakar api cemburu, saat tidak sengaja Karjo melihat Togap mengusap-usap dagu Tarsih yang tengah tersipu di taman yang sepi itu. Togap adalah salah satu supir truk pengangkut ayam yang sedang beristirahat dan kerap bergunjing dengan para gadis. Saat itu Karjo menyelinap keluar hendak menghisap rokok barang sebatang menghembuskan rasa penat sambil menengok sang pujaan hati. "Hei..apa yang kalian perbuat?" murka si penjagal ayam. Togap melepaskan tangan dari wajah memucat Tarsih. "Aaa...Aku...gak ngapa-ngapain kok. Cuman ada nyamuk di wajahnya". Marah wajah memerah Tarjo mencengkeram kerah baju Togap "Tarsih, kamu pulang...!!!". Ketakutan, mengeluarkan air mata sesenggukan sembari terbirit-birit Tarsih lari kecil pulang ke rumah majikannya. Sifat inilah yang dibenci Tarjo: Tarsih akan menangis meraung-raung jika melakukan kesalahan.

Tarjo yang lebih kurus dibanding Togap yang berbadan kekar dan lebih jangkung agak kesulitan menggertak. Mereka berseregang hebat tetapi tidak berlanjut ke perkelahian. Sejak peristiwa tersebut, tak sekalipun Tarjo melihat Togap mendekati Tarsih, berbicara pun tidak. Kemudian Tarjo bertekad melamar Tarsih untuk menjadi istrinya kepada orangtuanya.

@@@

Tarjo bergegas menuju kontrakan yang berada tak jauh dari tempatnya bekerja untuk segera bisa melampiaskan syahwat yang selama beberapa hari tidak bisa tersalurkan karena istrinya selalu tertidur pulas saat ia pulang.

Pintu tidak terkunci. Setelah menutupnya Tarjo berusaha mengunci pintu sembari terbersit tanda tanya dalam benak. Keras. Anak kunci sulit berputar. "Mestinya diganti...." pikir Tarjo sembari tak sabar ingin memeluk Tarsih, tentunya pada saat ini sudah terbaring dengan daster merah merona pendek di atas lutut bercorak kembang-kembang tanpa dalaman di kasur busa yang tergeletak di lantai. Seperti  bernafsu untuk dirayu, dicumbu dan ditelanjangi lalu bersama menaiki bahtera mengarungi ayunan gelombang asmara yang telah menggelora berbuih-buih.

"Blep....!!!". Tiba-tiba mulutnya dibekap tangan berbulu. Naluri menguatkan dirinya untuk melawan, meronta kuat dari sergapan sosok yang lebih kekar dan tinggi itu. Semakin kencang. Berkali-kali pisau dapur menghunjam merobek dada menusuk menyayat ulu hati menyemburkan banyak darah dari tubuh Tarjo yang membuat perlawanan melemah membuat tubuhnya terjerembab mencumbu lantai putih. "Togap....." erang Tarjo lirih nyaris tak terdengar.

Batinnya terisak melihat dalam keremangan lindap memerah, Tarsih tergopoh-gopoh bangkit dari peraduan durjana menutupi ketelanjangan tidak senonoh dengan daster pendek merah menyala.

@@@

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun