Sebatang coklat setelah dikupas dari bungkusnya, aku gigit kemudian aku sodorkan ke bibir mungilnya, demikian sampai coklat habis sehingga kami dapat berpagutan saling membersihkan bibir. Pada malam itulah ia untuk pertama kalinya mengenal laki-laki secara utuh dan telanjang. Bersatu dalam peluh, lenguh dan kenikmatan yang tidak ingin ditinggalkan. Â Berulang kami menumpahkan naluri berkembang-biak memecah keheningan malam.
Coklat merupakan kesukaan istri bahkan sejak masa pacaran, lalu menjadi ritual wajib semenjak malam pengantin. Namun ketidak-berdayaanku sebagai tulang punggung rumah tangga menjadikan istriku semakin lekat dengan kariernya. Demikian sibuk sehingga menyebabkan seringnya pulang malam.
Aku segera meninggalkan kamar penuh kehangatan itu menuju ruang peraduanku yang licin, terlantar, dingin, terlelap lelah, sendiri.
Setelah merapikan tempat tidur yang kusut masai bak kapal kalah perang, Kasih seperti biasa bersiap-siap membukakan pintu bagi istriku yang sebentar lagi pulang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H