Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepuluh Tahun Berlalu

11 November 2011   03:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:48 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

10 TAHUN BERLALU Dadang melakukan pekerjaannya sebagai office boy: merawat kantor, melayani penghuninya dan melunasi amanat apapun yang diinstruksikan. Konsisten, tulus dan cerdas kendati pendidikan terbatas. Maka itu menginspirasi saya agar melakukan tugas-tugas perusahaan, yakni pencapaian laba perusahaan sebanyak-banyaknya dengan capital trade-off sesedikit mungkin.

Semua orang punya tugasnya dalam skala berbeda-beda: Siswa, Guru, Petani, Pedagang, Pegawai, Tukang Sampah, Hansip, Pengusaha dan Penguasa, kedati saya kesulitan menerangkan ke Dadang tentang tugas dan amanat yang diemban: DPR, Menteri, Presiden.

Bukan sebab daya nalar, tetapi karena setiap pergantian penguasa, ia tidak merasakan pembaikan apapun.

======

10 TAHUN BERLALU Saya bekerja, mulai tingkat klerikal sampai menjadi tulang-punggung perusahaan.  Konsisten, tulus dan cerdik dalam merebut peluang sekecil apapun. Teringat rentang waktu awal bekerja, seringkali mendapat teguran dari atasan sebab keterlambatan masuk ke kantor dengan ujaran yang tidak bisa dilupakan: "Cobalah bedakan dengan keadaan di kampung, kalau ingin bisa hidup di Jakarta, harus berani merebut...!!!!".

Maka, dengan mengabaikan kerikuhan, mulailah merangsek memasuki pintu KRL ekonomi Bogor-Jakarta merebut sedikit ruang berpijaknya kaki, tanpa perduli lagi bahwa upaya itu telah memaksa orang lain tergencet atau terinjak kakinya. Mengejar bis kota mendesakkan badan menyikut kiri-kanan. Terus belajar seperti itu, sehingga pada saatnya mahir juga menjejaki karir di kantor merebut peluang kendati mesti merangsek, mendorong, dan "menginjak kaki orang lain".

Modus itulah yang kemudian saya gunakan dalam merebut proyek-proyek yang didanai anggaran negara. Merangsek, mendorong, dan "menginjak kaki orang lain" dalam rivalitas perebutan memenangi pekerjaan-pekerjaan pemerintah. Ihwal banyak orang merasa sakit hati tersingkirkan bukanlah urusan besar, toh semuanya sudah ada "plotting". Dengan kata lain, komitmen kepada para kuasa pengguna anggaran dipenuhi: uang, kendaraan bermotor, fasilitas hiburan dan liburan, sampai ke  lady-escort. Jika dianggap perlu, memasuki suatu partai politik demi merebut akses langsung kepada lingkaran kekuasaan. Tentu saja dengan komitmen membiayai kepentingan partai dalam merebut kekuasaan. Itu bukanlah masalah besar!. Tidak hanya menjadi pahlawan bagi partai, tetapi juga membangun pencitraan sebagai selebritas politik.

10 TAHUN BERLALU saya harus selalu belajar menguasai cara merebut apapun, dengan dalih dan penjelasan apapun, dan tetap survive selama the rulling class dipenuhi oleh para maling dan pengemis kekuasaan.

Bukan sebab daya nalar, tetapi karena setiap pergantian penguasa saya merasakan pembaikan, semua kepentingan saya terakomodasi dengan cara-cara licik dan kotor.

=====

*Sebuah Fiksi Perenungan Memperingati Hari Pahlawan*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun