Mohon tunggu...
Budi Susetyo
Budi Susetyo Mohon Tunggu... -

mensyukuri menu sederhana kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyebar Bohong Menuai Malu

1 Desember 2018   12:00 Diperbarui: 1 Desember 2018   17:21 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin pembaca sudah melupakan kebohongan yang dilakukan Ratna Sarumpaet, yang mengaku mukanya bengkak karena dianiaya sejumlah orang tak dikenal di tempat umum. Padahal kenyataannya, muka bengkak tersebut adalah dampak pasca operasi plastik yang dilakukan untuk mempercantik wajahnya yang mulai berkerut-kerut. Maklumlah sudah nenek-nenek. 

Penulis ingin mendiskusikan kembali semata-mata untuk mengajak pembaca untuk bersikap kritis     mempertanyakan komitmen elit politik maupun kekuasaan pada karakter politik yang berintegritas. 

Bagaimanapun juga di tahun politik ini wajib hukumnya mengkiritisi narasi politik yang dibangun para politisi sedang berkompetisi meraih kekuasaan. Apakah program yang dijanjikan hanyalah pepesan kosong ataukah akan dibayar tunai ketika kelak berkuasa ?

Apakah terungkapnya kebohongan Ratna Sarumpaet merupakan indikasi tentang adanya kebohongan yang lebih besar seperti fenomena puncak gunung es ?  Apalagi di tahun politik sekarang ini politisi berlomba-lomba jualan kecap nomer satu. Terungkapnya kasus Ratna Sarumpaet nampaknya   menjadi ajang pertaruhan kredibilitas dan integritas elit kekuasaan.

Krisis integritas memang sudah kronis. Hal tersebut  terutama dengan maraknya korupsi di semua lini kekuasaan. Korupsi bahkan telah merambah kalangan pimpinan lembaga tinggi kekuasaan. Mantan Ketua Mahkamah Kontitusi Akil Mochtar dan  mantan Ketua DPR Setya Novanto tersangkut korupsi ketika masih menjabat. Demikian pula penetapan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan sebagai tersangka korupsi KPK beberapa waktu lalu semakin menegaskan perilaku politisi semakin tidak bisa dipercaya.  Perilaku mereka identik dengan lingkaran kebohongan. Mereka mengawali dengan kebohongan dan diikuti kebohongan-kebohongan lain.

Bahwa elit kekuasaan ataupun politik sering berbicara tentang moralitas, namun sesungguhnya mereka jauh dari perilaku bermoral. Banyak yang berbusa-busa berbicara tentang integritas namun kenyataannya mereka koruptor kakap. Kekuasaan yang secara formal diamanahkan ternyata diperlakukan layaknya sebuah topeng untuk menyembunyikan  perilaku busuknya.

Hal yang sangat disayangkan. Semestinya elit kekuasaan dapat dipercaya mengemban amanah. Kepercayaan dari rakyat terhadap elit kekuasaan terletak pada bagaimana komitmen menegakkan integritas. Satunya kata dan perbuatan menjadi pegangan untuk dipercaya rakyat.

Seperti ungkapan Jawa "idu dadi geni",  ucapan seorang pemimpin adalah janji dan konsekuensi, yang menentukan nasib orang banyak. Maka  ketika elit kekuasaan justru semakin sering bermain-main dengan ucapan dan tindakannya, gemar melontarkan narasi yang menyesatkan, maka hal ini sungguh memalukan.

Namun masihkah mereka memiliki rasa malu?  Apa yang terjadi dalam narasi politik sekarang ini, masyarakat justru semakin sering dipertontonkan akrobat politik kebohongan. Membangun narasi bohong, memutarbalik fakta, bahkan menyebar fitnah seolah hal lumrah. Dalam perdebatan politik di media televisi semakin sering tak berujung etika, debat kusir yang jauh dari pemikiran berkualitas.

Target mempermalukan lawan lebih utama daripada politik santun dan bermartabat. Semakin sulit menemukan sikap kedewasaan apalagi kenegarawanan dalam berpolitik.  Gambaran di atas harusnya sudah cukup menyentuh rasa malu karena seseorang tidak mampu menjalankan peran yang diamanahkan.

Namun rasa malu nampak semakin menjauh. Jarang kita mendengar permintaan maaf sebagai ungkapan rasa malu dan bersalah atas wanprestasi yang dilakukan.  Yang sering terjadi adalah sebuah bentuk mekanisme membela diri untuk menutupi rasa malu.  Tindakan yang memalukan lebih sering ditutupi dengan membuat argumentasi, pembelaan yang pada dasarnya adalah lingkaran kebohongan.

Dalam logika moral dan budaya kebohongan merupakan hal yang memalukan. Hal tersebut dijumpai dalam setiap nilai moral dan budaya masyarakat. Seperti orang Jawa yang diajarkan untuk isin atau lingsem ketika melakukan tindakan melanggar moral ataupun norma.  Isin merupakan perasaan malu ketika seseorang merasa dirinya  nampak rendah, buruk dan tidak berguna dihadapan orang lain.

Perbuatan memalukan hendaknya dihindari karena ada perumpamaan 'lebih baik berputih tulang daripada berputih mata'. Orang  lebih baik mati daripada menanggung malu. Hal tersebut menunjukkan rasa malu pada dasarnya merupakan penjaga aras moral suatu masyarakat.

Sejak dini orang diajarkan malu ketika berperilaku buruk agar tidak mempermalukan, ngisin-isini diri sendiri da orang lain. Demikian pula perilaku bohong merupakan perbuatan memalukan karena secara moral bahkan secara hukum tidak pantas untuk dilakukan. Namun sayangnya pelanggaran moral dan hukum dalam konteks kebohongan seperti korupsi misalnya menjadi hal yang tidak memalukan lagi. 

Sebagai nilai moral yang sudah tertanam sejak dini, malu pada dasarnya akan terjadi dengan sendirinya ketika orang berbohong. Hal tersebut melalui mekanisme psikologis dan fisiologis secara bersamaan. Ketika berbohong orang mengalami pertentangan ataupun konflik psikologis pada ranah pikiran ataupun keyakinannya tentang hal yang boleh dan dilarang secara moral. Berbohong merupakan kondisi psikologis yang inkonsisten dengan pertimbangan moralitasnya. Hal tersebut dengan sendirinya akan memantik rasa malu sebagaimana sudah tertanam dalam kontruksi moral seseorang. Secara bersamaan, malu teridentifikasi melalui mekanisme fisiologis dengan perubahan metabolisme tubuh, detak jantung, perubahan raut muka,  gestur sebagai penanda rasa malu yang dialami.

 Sayangnya sinyal malu seringkali diabaikan bahkan dimatikan agar orang tidak dipermalukan oleh tindakannya.  Dalam hal mematikan rasa malu, barangkali orang belajar dari Setyo Novanto ketika membuat skenario bohong untuk menghindari kasus hukumnya. Rompi oranye KPK ternyata tak cukup memalukan para koruptor karena korupsi sepertinya tidak lagi memalukan.

Seyogyanya kita berterimakasih pada Ratna Sarumpaet atas pengakuan kebohongan di depan publik. Meskipun harus menghadapi malu dan resiko hukum, namun seorang Ratna Sarumpaet telah berani menghadapinya dengan konsekuen. Hal ini dapat menjadi momentum bagi upaya menyadarkan kembali peran malu sebagai aras penjaga moral perilaku politik masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun