Dalam logika moral dan budaya kebohongan merupakan hal yang memalukan. Hal tersebut dijumpai dalam setiap nilai moral dan budaya masyarakat. Seperti orang Jawa yang diajarkan untuk isin atau lingsem ketika melakukan tindakan melanggar moral ataupun norma.  Isin merupakan perasaan malu ketika seseorang merasa dirinya  nampak rendah, buruk dan tidak berguna dihadapan orang lain.
Perbuatan memalukan hendaknya dihindari karena ada perumpamaan 'lebih baik berputih tulang daripada berputih mata'. Orang  lebih baik mati daripada menanggung malu. Hal tersebut menunjukkan rasa malu pada dasarnya merupakan penjaga aras moral suatu masyarakat.
Sejak dini orang diajarkan malu ketika berperilaku buruk agar tidak mempermalukan, ngisin-isini diri sendiri da orang lain. Demikian pula perilaku bohong merupakan perbuatan memalukan karena secara moral bahkan secara hukum tidak pantas untuk dilakukan. Namun sayangnya pelanggaran moral dan hukum dalam konteks kebohongan seperti korupsi misalnya menjadi hal yang tidak memalukan lagi.Â
Sebagai nilai moral yang sudah tertanam sejak dini, malu pada dasarnya akan terjadi dengan sendirinya ketika orang berbohong. Hal tersebut melalui mekanisme psikologis dan fisiologis secara bersamaan. Ketika berbohong orang mengalami pertentangan ataupun konflik psikologis pada ranah pikiran ataupun keyakinannya tentang hal yang boleh dan dilarang secara moral. Berbohong merupakan kondisi psikologis yang inkonsisten dengan pertimbangan moralitasnya. Hal tersebut dengan sendirinya akan memantik rasa malu sebagaimana sudah tertanam dalam kontruksi moral seseorang. Secara bersamaan, malu teridentifikasi melalui mekanisme fisiologis dengan perubahan metabolisme tubuh, detak jantung, perubahan raut muka, Â gestur sebagai penanda rasa malu yang dialami.
 Sayangnya sinyal malu seringkali diabaikan bahkan dimatikan agar orang tidak dipermalukan oleh tindakannya.  Dalam hal mematikan rasa malu, barangkali orang belajar dari Setyo Novanto ketika membuat skenario bohong untuk menghindari kasus hukumnya. Rompi oranye KPK ternyata tak cukup memalukan para koruptor karena korupsi sepertinya tidak lagi memalukan.
Seyogyanya kita berterimakasih pada Ratna Sarumpaet atas pengakuan kebohongan di depan publik. Meskipun harus menghadapi malu dan resiko hukum, namun seorang Ratna Sarumpaet telah berani menghadapinya dengan konsekuen. Hal ini dapat menjadi momentum bagi upaya menyadarkan kembali peran malu sebagai aras penjaga moral perilaku politik masyarakat.