Mohon tunggu...
Budi Setiawan
Budi Setiawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sampoerna Melebihi Semua Harapan

16 Desember 2016   10:11 Diperbarui: 22 Desember 2016   11:57 2957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sinau sing sregep gek ndang lulus wong bapakmu pensiunan. Nek kowe iso dadi sarjana, otomatis adik-adikmu bakalan niru kangmase. Tapi nek kowe ora dadi, adik-adikmu yo bakal ora ono sing dadi sarjana."

Nasihat itu masih terekam jelas dalam ingatan saya. Setiap kali mengenangnya, waktu serasa berputar kembali pada kisah hidup 29 tahun lalu.

Sore itu pukul 16.00, saya mengantar bapak ke tempat pemberhentian bus di Gondang, Solo, Jawa Tengah. Bapak baru saja menengok saya di rumah kos, tempat tinggal saya selama kuliah di perguruan tinggi swasta di Solo.

Sebelum masuk ke dalam bus, bapak memberikan wejangan dalam bahasa Jawa kepada saya.

“Belajar yang rajin biar cepat lulus sebab bapakmu seorang pensiunan. Kalau kamu jadi sarjana, adik-adikmu pasti bakal meniru kakaknya. Tapi kalau kamu gagal, adik-adikmu bakal tidak ada yang jadi sarjana.” Begitulah arti pesan bapak waktu itu.

Saya memegang teguh petuah itu. Saat itu bapak saya sudah pensiun. Usaha ibu sebagai kontraktor juga mengalami kebangkrutan. Sebagai anak laki-laki tertua, saya punya kewajiban moral untuk membantu keluarga menjalani masa-masa sulit.

Pada Mei 1989, saya sudah tidak lagi mengikuti perkuliahan dan tinggal menunggu ujian akhir enam bulan lagi. Tidak ada kegiatan apa pun yang saya lakukan di kampus.

Waktu saya habiskan dengan bermain bersama teman-teman ke sana kemari. Sesekali saya ikut membantu kerja di bengkel servis motor milik teman. Itu pun kalau pas bengkelnya ramai. Kalau pas sepi, ya nganggur lagi.

Suatu ketika, seorang kawan memberi kabar tentang lowongan kerja di PT HM Sampoerna, Tbk. Tidak perlu pikir panjang, saya langsung menyambut kesempatan itu. Daripada nganggur, pikir saya.

Sebenarnya, waktu itu saya tidak tahu apa itu HM Sampoerna. Mendengar namanya saja sudah terasa asing di telinga saya. Itu toh tak menyurutkan niat saya untuk mencoba.

Meskipun tanpa pengalaman kerja sama sekali, saya memberanikan diri melamar dan mengikuti tes kerja. Saya diterima.

Maka dimulailah pengalaman saya di perusahaan yang sangat terpandang, PT HM Sampoerna, Tbk. Enam bulan saya bekerja sebagai merchandiser dan ternyata cukup menyenangkan. Berkat pekerjaan ini, saya akhirnya bisa meraih gelar S1 sesuai nasihat orangtua saya sebelumnya.

Selepas wisuda, saya tetap melanjutkan bekerja untuk Sampoerna. Satu hal yang membuat saya kepincut adalah penghasilannya yang sangat menggiurkan.

Jujur saja, meski sudah nyaman di Sampoerna, saya masih mencoba melamar dan mengikuti tes kerja di perusahaan-perusahaan lain. Mulai dari wawancara hingga tahap akhir sudah saya jalani. Namun, karena gaji yang ditawarkan tidak sebesar di Sampoerna dan saya sudah kerasan dengan pekerjaan sekarang, akhirnya saya tidak mau berpaling ke tempat lain.

Tuhan mendukung pilihan itu. Ketekunan dan kerja keras mengantarkan saya menjadi karyawan tetap pada 1991. Secara finansial, kebutuhan keluarga saya tercukupi. Saya semakin yakin bahwa keputusan saya bertahan di Sampoerna tidak salah.

Bisa dikatakan, Sampoerna telah berperan besar membantu saya dan keluarga. Dengan penghasilan yang saya peroleh, saya bisa menyisihkan sebagian dan membiayai pendidikan keempat adik saya. Semuanya jadi sarjana. Sampoerna membantu saya mewujudkan harapan almarhum bapak seperti disampaikannya puluhan tahun lalu.

Ada satu momen yang tidak pernah saya lupakan di Sampoerna, yaitu ketika terjadi krisis moneter tahun 1997-1998. Saat itu, nilai tukar dollar AS menyentuh angka Rp 23.000. Banyak perusahaan bangkrut dan gelombang PHK terjadi di mana-mana.

Saya bersama teman-teman sekerja ikut merasa khawatir. Jangan-jangan kami akan mengalami nasib yang sama.

Yang terjadi justru sebaliknya. Manajemen Sampoerna menyampaikan kepada semua karyawan bahwa tidak ada satu orang pun yang dikeluarkan walaupun kondisi perekonomian saat itu sedang tidak karuan.

Sampoerna bahkan memberikan perhatian lebih dari apa yang diharapkan karyawan. Perusahaan memberikan kenaikan gaji kepada semua karyawan, rata-rata di atas 70 persen. Luar biasa, itu semua jauh dari perkiraan kami.

Kekhawatiran yang menghantui para karyawan saat itu ternyata tidak terbukti. Sampoerna tetap tegak berdiri hingga melewati usia ke-103 tahun.

Perusahaan ini juga menjanjikan karier terbaik sesuai dengan kemampuan individu masing-masing. Saya melihat banyak anak muda yang menjabat posisi-posisi penting di Sampoerna.

Bagi saya, Sampoerna tidak hanya tempat mencari nafkah, tetapi menjadi penolong dalam kehidupan saya. Sampoerna telah memberikan lebih dari harapan keluarga saya dan semua karyawan.

Saya bersyukur telah menjadi bagian dari perusahaan besar ini selama lebih dari 25 tahun. Bangga rasanya menyandang nama besar Sampoerna. Terima kasih, Sampoerna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun