Lebih lanjut, kata Susi, KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) melihat ada kecenderungan bahwa para developer menganggap reklamasi sebagai hal yang praktis dan mudah untuk membuat properti di Jakarta. Padahal, kata dia, reklamasi justru akan menyisihkan masyarakat yang hidup di pesisir. Saat ini, penolakan terhadap rencana reklamasi semakin sering terjadi. Tak hanya di Jakarta, penolakan juga muncul di berbagai daerah. "Saya mengerti bahwa hal ini patut kita waspadai, patut kita akses, dan analisis amdalnya harus betul-betul bagus supaya tidak merugikan masyarakat yang hidup di pesisir itu sendiri," kata dia.Namun, dia mengaku tak memiliki kewenangan untuk menghentikan rencana reklamasi itu. Saat ini, dia hanya bisa memberikan pendapat dan masukan agar rencana reklamasi pantai bisa menjadi perhatian seperti di lansir dari Indo Pos18/9/2015
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) Muhammad Zulfikar Mochtar mendorong KKP melakukan moratorium reklamasi-reklamasi pesisir berbagai daerah di Indonesia. Iskindo menduga berbagai pihak mulai menganggap reklamasi sebagai jalan murah melakukan pembangunan. Saat ini puluhan reklamasi sedang disiapkan di seluruh wilayah Indonesia dengan skala yang masif. Kita mengkhawatirkan ini menjadi preseden bagi banyak pihak bahwa ini menjadi cara paling murah membuat pembangunan di pesisir. Padahal, pesisir itu punya kompleksitas ekosistem yang dahsyat dengan nilai ekonomi yang besar.
Menurut Mentri Kelautan dan Perikanan Susi , proyek reklamasi tak bisa dilakukan tanpa mengindahkan aspek lingkungan hidup secara menyeluruh.“Saya terakhir rakor dengan Menko Perekonomian bersama Bappenas, PU, Menko Maritim, dan pada akhirnya sore itu deadlock. Semuanya di-hold. Program reklamasi harus dihentikan, dianalisa dan dikaji ulang,” katanya dihadapan peserta RDP. Masih menurut Susi, apa pun yang akan lakukan kepada alam itu harus memberikan perhatian kepada ekosistem secara umum. “Bila kita mereklamasi satu hektar, berarti kita juga harus menyediakan tempat genangan air in other place juga satu hektar. Bila itu tidak bisa, maka itu tidak boleh dilakukan,” katanya dengan nada suara yang tegas. Susi mengakui sikap tegasnya tersebut karena dirinya berlatar belakang seorang aktivis lingkungan. Namun demikian sikap tegasnya yang berpegang teguh pada prinsip sebagai pribadi yang aktivis lingkungan, bukan berarti dirinya anti pembangunan. Susi sangat mendukung pembangunan yang berkelanjutan. “Kalau pantai utara Jakarta dan Tangerang mau direklamasi 10 hektate, ya harus adawater site di tempat lain seluas yang sama. Kalau tidak ada, ya Jakarta akan makin tenggelam. Apa pun yang kita lakukan, kita tidak bisa membuat air just to nowhere. Buat dulu danaunya dimana, bendungan tempat untuk menampung air dimana, baru boleh melakukan reklamasi” terangnya (Mongabay.co.id).
Sependapat dengan Susi Pudjiastuti, seharusnya sudah saatnya kita merubah paradigma pembangunan sungai yang suistainable. Bukan project suistainability seperti yang terjadi saat ini. Jika paradigmanya project suistainability maka bukannya menyelesaikan masalah tapi menciptakan masalah baru. Lihat saja setiap tahun Milyaran dan triliunan rupiah dari APBD dan APBN dihabiskan hanya untuk biaya pengerukan sungai jelang musim hujan. Itu karena paradigmanya project suistainability. Jika dilihat dari aspek lingkungan saja harus ada kajian yang komprehensif karena reklamasi berdampak pada rusaknya ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau sekitarnya. Dan setahu kami, hasil kajian AMDAL yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa reklamasi teluk Jakarta dan pantai Tangerang hingga saat ini belum layak. Dan jika dilihat dari aturan perundang-undangan terkait reklamasi, sangat jelas dan terang benderang bahwa yang berwenang mengeluarkan izin reklamasi untuk daerah strategis nasional adalah pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pemda hanya berwenang memberikan pertimbangan terkait zonasi, tapi tidak berwenang mengeluarkan izin reklamasi untuk daerah strategis nasional dan daerah konservasi. Kesimpulan hasil RDP antara Komisi IV DPR dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa Komisi IV DPR mendesak pemerintah untuk segera menghentikan reklamasi Jakarta dan sekitarnya karena akan mematikan penghidupan nelayan tradisional dan merusak lingkungan pesisir. Komisi IV DPR juga meminta pemerintah untuk mengkaji ulang proses kedua tahap reklamasi itu sesuai dengan UU No.1/2014 tentang perubahan Atas Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil.
FAKTA
Bupati Tangerang sebagai Kepala Pemerintah daerah, DPRD dan pengembang yang memperakarsai kegiatan reklamasi harus bertanggung jawab terhadap penyelamatan kawasan lindung pantai tampaknya tidak obyektif lagi. Dalam usaha memanfaatkan tanah atau lahan yang akan direklamasi timbul ada perbedaan-perbedaan pendapat. Ada lahan “tanah” yang sudah dimanfaatkan ketika belum lagi berbentuk “tanah”, melainkan baru sebagai genangan air yang dangkal. Ada pula sebidang tanah timbul yang sudah dimanfaatkan, ketika sifat tanahnya masih belum pantas lagi diolah untuk menjadi tanah pertanian, karena kadar garam tanahnya masih tinggi. Dalam pertumbuhan tanah timbul, okupasi lahan oleh masyarakat belum tentu menunggu sampai benar-benar ada wujud “tanah”. Begitu tanah itu muncul kemudian dimulai pengolahannya menjadi tanah pertanian yang baik, okupasi masyarakat di atas tanah itu biasanya sudah mantap.
Kiranya perlu juga diperhatikan UU No. 51/1960, tentang larangan untuk menggunakan tanah atau muka bumi bagi setiap orang yang tidak memiliki ijin yang sah dari penguasa tanah tersebut. UU No. 5/1960 melarang penggunaan secara liar bagi muka bumi dalam wujud tahapan manapun baik itu masih berwujud tanah yang tergenang air secara berkala, ataupun yang sudah berwujud tanah padat. Dengan adanya UU No. 5/1960 itu, Pemerintah Daerah berwenang mengambil tindakan yang perlu apabila ada pelanggaran-pelanggaran hukum seperti tersebut di atas. Lahan tanah timbul, dalam tahapan yang manapun wujudnya, biasanya ada vegetasinya. Kalau ada yang menebangi pohon-pohon tetapi tidak langsung memanfaatkan tanahnya, orang tersebut dapat juga dituntut sebagai pelanggar hukum berdasarkan UU No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan. Apabila sampai terjadi pencemaran ataupun kerusakan lingkungan hidup, tuntutan dapat juga didasarkan UU No. 32/2009.
Hal diatas akan berbeda kalau yang direklamasi itu sepenuhnya laut. Sebab, hak atas tanah hanya berlaku sampai batas pasir pantai. Karenanya, laut tidak dapat dilekati dengan hak atas tanah. Pemegang hak atas laut sampai ke batas yang ditentukan oleh “Konvensi Hukum Laut PBB” yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 17 Tahun 1985 adalah negara. Jadi, seluruh kawasan perairan laut Indonesia dikuasakan kepada Departemen Perhubungan untuk kepentingan pelayaran. Masalah yang dapat timbul adalah bagaimana status tanah yang muncul akibat reklamasi. Selama belum ada ketentuan hukum yang pasti, permasalah itu dapat dipecahkan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum tanah positif yang ada.
Kalau diurut tahap-tahap kemunculan tanah baru itu menurut Prof Dr Maria Sumardjono SH MCL MPA dalam bukunya (tahun 2001) tentang kebijakan pertanahan adalah sebagai berikut Pertama, berbentuk laut yang dikuasai oleh negara. Kedua, direklamasi atas ijin yang diberikan oleh pemerintah dan ijin reklamasi itu dapat diberikan setelah dilakukan AMDAL sesuai dengan PP nomor 51 tahun 1993. Ketiga, muncul tanah baru yang tentunya dikuasai oleh negara, karena ijin reklamasi semata-mata hanya untuk melakukan reklamasi dan tidak untuk menguasai tanah hasil reklamasi. Setelah tanah baru itu jelas wujudnya, barulah masyarakat dapat memohon suatu hak atas tanah tersebut kepada pemerintah untuk digunakan sesuai dengan peruntukan yang ditentukan oleh pemerintah.
Berdasarkan azas kepatutan, tentu pihak yang mereklamasi yang dapat prioritas pertama untuk memohon hak atas tanah tersebut. Alih fungsi pantai menjadi daratan kering dengan sebutan “reklamasi” dalam penjelasan perda reklamasi pasal 6 ayat 2 adalah melalui sistem folder yang diintrepetasikan sebagai sistem tata air untuk suatu daerah tersebut permukaan tabah lebih rendah dari permukaan air sekitarnya oleh karena daerah tersebut dilindungi sekelilingnya oleh tanggul dengan menggunakan sistem penataan air,yang menampung air melalui system drainase kedalam satu atau beberapa tanggul,yang kemudian air tersebut dipompakan untuk dibuang kelaut. Tapi faktanya itu akan terjadi jelas dibangun dengan obsesi keuntungan bisnis. Biaya lima hingga 10 tahun tahun pertama yang disebutkan pengembang kini mungkin berlipat 10 kali pun akan tetap menjadi sangat kecil dibanding harga jual tanah yang akan sangat tinggi dan otoritas pengendalian perkembangan bisnis di daerah daratan baru tersebut yang sangat menguntungkan.