Mohon tunggu...
Budi Harsoyo
Budi Harsoyo Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti Ahli Madya

Koordinator Laboratorium Pengelolaan Teknologi Modifikasi Cuaca - Badan Riset dan Inovasi Nasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Memahami Teknologi Modifikasi Cuaca; Proses, Wahana dan Metode Penyemaian Awan (Bagian ke-2)

9 November 2022   13:52 Diperbarui: 9 November 2022   15:06 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Proses Terjadinya Hujan

Udara di sekeliling kita banyak mengandung uap air. Manakala sejumlah besar massa udara ini terangkat ke lapisan yang lebih tinggi yang memiliki suhu rendah (dingin), maka massa udara tersebut akan mengembun. Kumpulan butir-butir uap air yang mengembun di udara inilah yang kemudian membentuk awan. Semakin banyak kandungan butir-butir uap airnya, semakin besar ukuran awannya. Awan yang banyak mengandung butir-butir uap air adalah jenis awan Cumulus, yang secara visual bentuknya seperti kembang kol. Awan jenis inilah yang dijadikan sebagai target penyemaian awan dalam operasi TMC.

Secara alami, hujan terjadi karena ada proses fisika tumbukan (collision) dan penggabungan (coalescence) terhadap kumpulan butir-butir uap air di dalam awan tersebut. Proses terjadinya hujan diawali ketika kumpulan butir-butir uap air di dalam awan (dalam istilah meteorologi disebut cloud droplet atau tetes awan) bertemu dengan partikel debu-debu di atmosfer (dalam istilah meteorologi disebut sebagai aerosol, sumbernya bisa dari penguapan garam-garaman di laut, polutan dari asap kendaraan bermotor atau asap pabrik, dan lain-lain) yang berfungsi sebagai inti kondensasi awan (dalam istilah meteorologi disebut Cloud Condensation Nuclei/CCN). Ketika butir-butir uap air (fase cair) ini bertumbukan dan kemudian menempel pada aerosol (fase padat), ukuran butirnya menjadi semakin besar. Selanjutnya mereka saling bergabung satu sama lain, sehingga ukurannya semakin lama semakin membesar. Dan ketika berat jenisnya lebih besar daripada gravitasi, butir-butir air tersebut kemudian jatuh menjadi hujan.

Gambar 2. Ilustrasi proses tumbukan dan penggabungan dalam proses terjadinya hujan
Gambar 2. Ilustrasi proses tumbukan dan penggabungan dalam proses terjadinya hujan
Agar mudah dipahami, saya selalu menggunakan analogi gelas di dalam kulkas untuk menggambarkan proses terjadinya hujan. Di dalam kulkas, banyak terkandung uap air. Jika kita menaruh benda padat seperti gelas di dalamnya, maka beberapa menit kemudian akan muncul tetes-tetes air seperti keringat di sisi luar permukaan gelas tersebut. Tetesan air ini terjadi karena uap air bertumbukan dengan permukaan gelas sebagai wahana padat, yang kemudian ketika ukurannya bertambah besar selanjutnya akan jatuh menetes ke sisi bawah gelas. Kira-kira analogi sederhananya seperti itu..

Proses Modifikasi Cuaca

Lantas apa dan bagaimana perlakuan yang dilakukan dalam aktivitas modifikasi cuaca?? Aktivitas modifikasi cuaca intinya adalah melakukan penyemaian awan (cloud seeding), yaitu menginjeksikan sejumlah bahan semai yang bersifat hygroskopis (mudah menyerap atau melepaskan uap air). Bahan semai ini berfungsi untuk menambah inti kondensasi ke dalam awan, sehingga proses terjadinya hujan bisa lebih cepat terjadi. Dengan semakin banyaknya inti kondensasi di dalam awan, maka proses tumbukan dan penggabungan berjalan secara lebih intensif sehingga pertumbuhan awan bisa lebih optimal dan hujan lebih cepat terjadi. Selain hujan yang terjadi bisa lebih prematur, efek lainnya yang dapat ditimbulkan dari aktivitas penyemaian awan adalah mampu menambah intensitas curah hujan dan memperpanjang durasi kejadian hujannya. Ilustrasi efek penyemaian awan dapat dijelaskan pada gambar berikut:

Gambar 3. Sekuens pertumbuhan awan secara alami (tidak disemai)
Gambar 3. Sekuens pertumbuhan awan secara alami (tidak disemai)
Gambar 4. Sekuens pertumbuhan awan yang disemai
Gambar 4. Sekuens pertumbuhan awan yang disemai

Bahan Semai, Wahana dan Metode Penyemaian Awan 

Bahan semai yang digunakan dalam misi TMC ada dua macam. Yang umum digunakan adalah NaCl berbentuk "super fine powder" (bubuk yang berukuran sangat halus) dalam orde mikron. Bahan semai NaCl powder ini dilepaskan melalui cerobong pada bagian kabin pesawat di sekitar punggung/tepi awan atau puncak awan target, pada saat pesawat melintas di area awan target dan mendapatkan medan updraft atau downdraft. Sementara bahan semai dalam bentuk hygroscopics flare (semacam suar/kembang api) dilepaskan dengan cara dibakar dari bagian mounting rack flare yang terpasang di bagian sayap pesawat. Pada saat pesawat melintas pada bagian dasar awan target, bahan semai flare dibakar sehingga asap pembakarannya yang berisikan partikel garam masuk ke dalam awan. Bahan semai jenis hygroscopics flare ini juga digunakan untuk implementasi TMC dengan metode penyemaian dari darat yang menggunakan wahana Ground Based Generator (GBG). Jenis flare lain, yaitu ejectable flare dilepaskan dengan cara ditembakkan pada bagian puncak awan. Penggunaan flare jenis yang kedua ini jarang sekali dipakai di Indonesia, karena peruntukkannya khusus untuk awan-awan dingin, yang umumnya banyak berada pada daerah-daerah lintang menengah dan tinggi. Di Indonesia, jenis ejectable flare ini jarang sekali dipakai karena awan yang banyak tumbuh di Indonesia yang berada di daerah tropis adalah jenis awan hangat.

Dalam penerapan TMC, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Yang paling sering dan biasa dilakukan adalah menggunakan wahana pesawat terbang (sistem dinamis). Selain menggunakan pesawat terbang, modifikasi cuaca juga dapat dilakukan dari darat dengan menggunakan sistem statis melalui wahana Ground Based Generator (GBG) pada daerah pegunungan untuk memodifikasi awan-awan orografis. Di beberapa negara, digunakan juga wahana roket untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan.

Khusus untuk wahana roket, BPPT bersama LAPAN (saat ini sudah melebur ke dalam BRIN) pada tahun 2016 pernah melakukan kerjasama riset untuk menghasilkan prototipe wahana roket untuk TMC. Namun dalam prakteknya, wahana roket tidak implementatif untuk diterapkan di Indonesia. Kendala pertama, dari sisi regulasi penerbangan untuk meluncurkan roket harus mendaftarkan NOTAM (Notice To Airmen) sehari sebelumnya, dimana dalam NOTAM harus menyebutkan rencana peluncuran roket esok hari akan dilakukan pukul berapa, dari lokasi mana dan diarahkan kemana, pada ketinggian berapa, dan seterusnya. Ini jelas tidak memungkinkan, karena rencana aktivitas penyemaian selalu menyesuaikan dengan kondisi update peluang cuaca di hari-H. Dengan demikian, informasi yang diminta untuk mendaftarkan NOTAM jelas tidak memungkinkan untuk pelaksanaan TMC. Kendala kedua, dari sisi lalu lintas penerbangan di ruang udara wilayah Indonesia juga sangat padat dengan traffic penerbangan komersil. Dengan demikian juga sangat sulit sekali untuk bisa meluncurkan roket untuk misi TMC karena harus menunggu traffic penerbangan pesawat sipil benar-benar "clear", sementara ketepatan waktu (timming) dalam eksekusi  penyemaian awan mempunyai peran krusial.

Gambar 5. Metode Penyemaian Awan
Gambar 5. Metode Penyemaian Awan

Gambar 6. Metode Penyemaian Awan Dari Udara
Gambar 6. Metode Penyemaian Awan Dari Udara

Gambar 7. Metode Penyemaian Awan Dari Darat
Gambar 7. Metode Penyemaian Awan Dari Darat

Metode penyemaian awan dari darat menggunakan wahana GBG dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan pada pemakaian pesawat terbang dalam operasional TMC. Metode ini pertamakali dikembangkan dalam implementasi TMC di DAS Larona (Sulawesi Selatan) di area konsesi PT Vale, salah satu mitra pengguna jasa TMC. Belakangan, metode ini juga sudah mulai diadopsi untuk diimplementasikan di DAS Brantas (Jawa Timur) dan menyusul juga akan diimplementasikan di DAS Citarum (Jawa Barat).

Secara teknis, teknologi GBG ditujukan untuk obyek penyemaian berupa awan Cumulus dan awan Orografik yang tumbuh di sekitar puncak atau lereng gunung atau pegunungan. Teknologi GBG sangat cocok diterapkan pada sebuah catchment area waduk/danau dengan topografi perbukitan atau pegunungan. Tujuan penempatan menara GBG di sekitar catchment area dengan topografi pegunungan agar dapat memanfaatkan angin lembah dari pegunungan untuk menghantarkan bahan semai ke dalam awan yang tumbuh di sekitar pegunungan. Ada beberapa kelebihan dan keterbatasan metode penyemaian awan dari darat dengan wahana GBG dibandingkan dengan metode penyemaian awan menggunakan pesawat terbang, antara lain sebagai berikut:

Kelebihan:

  • Biaya operasionalnya yang relatif lebih murah dibandingkan jika menggunakan wahana pesawat terbang.
  • Operasionalnya relatif lebih mudah dan lebih aman karena tidak perlu melakukan aktivitas penerbangan yang sangat berisiko tinggi bagi keselamatan pelaksananya.
  • Dapat beroperasi selama 24 jam nonstop (siang dan malam).

Keterbatasan:

  • Karena sifatnya yang statis, metode ini hanya dapat memanfaatkan keberadaan awan-awan potensial hujan yang tumbuh di daerah pegunungan dan melintas persis di atas menara GBG terpasang.


Demikian sementara yang bisa saya tambahkan untuk ulasan mengenai Teknologi Modifikasi Cuaca. Mudah-mudahan bisa memberikan pencerahan kepada publik mengenai apa dan bagaimana teknologi ini dikerjakan. Di kesempatan berikutnya, saya akan tambahkan ulasan mengenai Teknologi Modifikasi Cuaca dari aspek prosedur pelaksanaan, nilai manfaat dan dampaknya terhadap lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun