Mohon tunggu...
Budi Kasmanto
Budi Kasmanto Mohon Tunggu... Penulis - Pendeta - Penulis - Jurnalis

Sejak 1994 bekerja sebagai pendeta di Bali. Tahun 2020-2022 menjadi pendeta di Manokwari, Papua Barat. Kini menetap di Bali dan fokus menulis. Bukunya berjudul "Panggilan Berkhotbah" diterbitkan oleh Penerbit ANDI Yogya. Sejak 2012 menjadi jurnalis Majalah Suara Baptis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pendeta Berpolitik Andalkan Angka atau Karisma?

6 Oktober 2022   16:50 Diperbarui: 6 Oktober 2022   16:54 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan - Sumber voi.id

Musim politik telah tiba. Hangat perhelatan pemilu 2024 makin terasa. Para pemimpin parpol telah mulai adu strategi dan intrik politik. Aktor dan petualang politik pun mulai kasak-kusuk.

Tak ketinggalan gereja pun, melalui beberapa pemimpinnya, mulai berjualan isu politik dengan framing agama, tentu saja.

Gereja tertentu menawarkan diri mendukung bakal calon tertentu dengan klaim memiliki jumlah anggota cukup signifikan, bahwa mereka memimpin organisasi gereja besar, memimpin ribuan gereja lokal dan memiliki jutaan anggota tersebar di seluruh daerah di Indonesia.

Sebagai contoh adalah pernyataan Ketua Umum Gereja Pantekosta di Indonesa (GPdI) Pdt. Dr. Jonny M. Weol yang memberikan dukungan kepada Anies Baswedan.

Freddy Mutiara dalam barisan.co mengutip pernyataan Pdt. Jonny Weol di hadapan ribuan pendeta GPdI se Indonesia, yang mengatakan bahwa GPdI merupakan organisasi denominasi (aliran) gereja Pentakostal terbesar, tertua, dan memiliki cabang gereja terbanyak di Tanah Air hingga ke daerah-daerah pelosok dengan estimasi memiliki sekitar dua juta anggota jemaat dan lebih dari sepuluh ribu gereja di seluruh Indonesia. GPdI pula yang menjadi cikal-bakal banyak gereja-gereja Karismatik dan Injili besar di Indonesia, seperti GBI (Gereja Bethel Indonesia), Tiberias, Mawar Sharon, dan Bethany.

Pertanyaan yang layak diajukan dan direnungkan oleh para pendeta, alkitabiahkah jika pendeta atau pemimpin gereja berpolitik dengan mengandalkan angka atau jumlah anggota?

Haram, pendeta berpolitik andalkan angka

Alkitab Perjanjian Lama memberi contoh bahwa Allah tidak menghendaki pemimpin umatnya mengandalkan angka atau jumlah pengikut dalam menjalankan tugasnya.

Satu contoh, kisahnya terjadi pada zaman Israel diperintah oleh  para hakim. Waktu itu orang Israel dikuasai oleh orang Midian. Saking takutnya, mereka membuat tempat-tempat perlindungan. Hasil kebun mereka dijarah sehingga orang Israel menjadi sangat melarat. Lalu Tuhan memanggil Gideon untuk melepaskan orang Israel dari keadaan buruk mereka. Ternyata Tuhan tidak menghendaki Gideon menjalankan tugasnya dengan mengandalkan jumlah orang yang mengikutnya. Lihat Hak. 7:2.

Raja Daud pernah sejenak beralih dari bergantung pada Tuhan pada mengandalkan kekuatan militernya. Daud memaksa menghitung kekuatan militernya, tapi kemudian ia menyadari kebodohannya itu. Dalam 2 Sam. 24:10 Daud menyadari kesalahannya dan berkata, "sebab perbuatanku itu sangat bodoh."

Berkaitan dengan pemimpin gereja yang mengandalkan angka, seorang guru besar teologi di AS, Michael Horton, mengomentari kedekatan kaum Injili dengan Donald Trump, presiden waktu itu, 2018. Dikutip dalam christianitytoday.com ia berkata antara lain, "Ketika kita mencari dukungan atau perlakuan politik untuk gereja, kita berkomunikasi kepada massa bahwa kerajaan Kristus hanyalah demografi saja dalam pemilihan."

Horton menegur kita, para pendeta, yang berpolitik dengan mengandalkan angka, yang menilai atau menganggap organisasi gereja, gereja lokal dan anggota gereja hanyalah sekadar demografi, sekadar angka, sekadar jumlah suara dalam pemilihan.

Di grup media sosial yang saya ikuti, dalam diskusi kecil tentang politik baru-baru ini, seorang pendeta berkomentar: "Gereja susah bersatu untuk mengerahkan kekuatan umatnya. Padahal kalau mau bersatu bisa menjadi kekuatan yang besar." Dugaan saya, pendeta ini berbicara tentang angka atau jumlah umat Kristen sebagai kekuatan politik.

Jika kita berpikir gereja hanyalah sekadar angka, maka kita akan memperlakukan gereja sebagai alat atau kendaraan politik saja. Dan pendeta, sebagai pemimpin rohani, selayaknya tidak berpolitik dengan mengandalkan angka-angka, baik berupa jumlah anggota maupun nilai materi yang bisa diterimanya.

Pendeta berpolitik andalkan kharisma

Secara alkitabiah selayaknya pendeta berpolitik dengan mengandalkan kharisma atau karunia yang diterimanya dari Tuhan.

Menurut KBBI V, "karisma" artinya atribut kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas kepribadian seseorang.

Menurut Tafsiran Alkitab, "kharisma" adalah kata Yunani untuk karunia roh, mempunyai banyak arti, tapi penggunaannya yang khas ialah untuk "karunia-karunia rohani", yaitu karunia-karunia yang Roh Kudus berikan kepada orang-orang tertentu. Setiap orang mempunyai karunia yang sedemikian itu (1 Ptr. 4:10), tapi karunia-karunia khusus disediakan bagi sejumlah orang (1 Kor 12:30). Ada juga karunia khusus yaitu untuk memimpin seperti disebut dalam 1 Kor.12:28.

Mari kita lihat dua tokoh Alkitab yang berpolitik dengan tidak mengandalkan angka, tapi kharisma atau wibawa.

Lebih rendah dari minoritas, Yusuf seorang diri di Mesir, tapi ia bisa menduduki jabatan politik tertinggi di Mesir, satu tingkat di bawah Firaun. Ia tidak mungkin mengandalkan kekuatan fisik atau jumlah pengikut, tapi ia mengandalkan karisma, yakni karunia menyingkapkan mimpi yang dianugerahkan kepadanya oleh Tuhan.

Daniel berada di pembuangan bersama orang-orang Yahudi yang, sebagai pengungsi atau orang buangan, tidak memiliki hak atau kekuatan politik. Tetapi ia dapat menjadi pejabat penting di kerajaan di mana orang Yahudi dibuang. Itu karena karunia yang didapatnya dari Tuhan.

Yusuf dan Daniel hidup dalam zaman yang berbeda, tetapi keduanya menjadi contoh bagi para pemimpin Kristen masa kini untuk lebih mengandalkan akal budi atau pengertian alkitabiah dalam partisipasinya di bidang politik.

John Stott dalam bukunya "isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani" menjelaskan tentang keterlibatan orang Kristen di bidang politik. Ia menyarankan agar orang Kristen memberikan sumbangsihnya yang konstruktif dalam suatu masyarakat yang pluralistik, dengan jalan memasuki perdebatan umum ... Yang amat dibutuhkan dewasa ini ialah pemikir-pemikir Kristen yang berani terjun dalam kancah isu-isu yang sedang digeluti dalam masyarakat masa kini.

Menurut John Stott, masyarakat kita dewasa ini mengalami problema-problema pelik, untuk dapat mendekatinya kita mesti mengembangkan akal budi Kristiani. Akal budi yang berdiri tegas atas landasan prinsip-prinsip Alkitab, dilengkapi dengan pengertian mendalam tentang kebenaran alkitabiah.

Peran pendeta dalam membimbing umat berkenaan dengan partisipasi mereka dalam pemilihan

Terkait dengan pemilihan, para pendeta atau pemimpin Kristen mempunyai tanggung jawab menyelidiki Kitab Suci untuk menemukan kriteria alkitabiah bagi calon pemimpin politik.

Alih-alih memobilisasi massa, memengaruhi atau bahkan memaksa jemaat untuk memilih seorang calon tertentu, lebih alkitabiah jika kepada jemaat diberikan kriteria-kriteria calon pemimpin yang layak mereka pilih.

Mari belajar dari Samuel ketika ia memilih Saul dan Daud sebagai raja Israel.

Ketika Samuel melihat Saul ia melihat seorang yang mempunyai kriteria seorang raja (lihat 1 Samuel 10:24). Samuel dan seluruh Israel melihat keunggulan-keunggulan manusiawi dalam diri Saul. Artinya, Saul dianggap seorang yang sempurna secara fisik dan penampilannya, sehingga tidak ada yang meragukan kemampuannya untuk menjadi raja. Lihat juga 1 Sam. 9:2.

Tetapi ternyata Saul ditolak Tuhan, dan kemudian atas bimbingan Tuhan Samuel memilih dan menetapkan Daud sebagai raja Israel.

Belajar dari kesalahannya memilih Saul, Samuel tidak lagi menerapkan kriteria manusiawi dalam memilih Daud. Samuel menolak saudara-saudara Daud, yang adalah para tentara, tetapi memilih Daud, seorang gembala. Bahkan ayahnya sendiripun berpikir bahwa Daud tidak cukup layak untuk menjadi raja.

Dari seorang pemimpin, Tuhan menghendaki kehidupan yang berintegritas dan dapat menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpinnya, seperti Daud bukan seperti Saul.

Pertanyaan penutup, atas dasar atau dengan kriteria apakah para pendeta tertentu memilih dan mendukung seorang calon pemimpin tertentu?

Berdasarkan angka atau nilai material atau finasial yang telah didapatnya dan fasilitas-fasilitas yang akan diperolehnya? Atau karena calon tersebut dinilai memenuhi kriteria alkitabiah yang para pendeta peroleh dari merenungkan Kitab Suci?

  • Budi Kasmanto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun