Istilah politik identitas mulai ramai dibincangkan saat Pilkada DKI Jakata 2017. Dan contoh keberhasilan politik identitas dalam aspek agama adalah kemenangan Anies Baswedan dalam Pilkada DKI Jakata 2017 yang dianggap hasil dari gerakan masa 212.
Dikutip tirto.id, Eggi Sudjana, penasihat Alumni Presidium 212 mengatakan bahwa Anies Baswedan dan Sandiaga Uno tidak mungkin menang dalam Pilkada DKI Jakarta tanpa bantuan demonstran... Kemenangan Anies-Sandi tak bisa dilepaskan begitu saja dari sejumlah manuver kelompok ini. Melalui politisasi identitas, Ahok yang multiple identity mengalami banyak tekanan dan kalah pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Politik identitas itu terjadi secara menonjol dan massif. Ini dikatakan oleh Dr Amich Alhumami. "Pada Pilkada DKI Jakarta, khususnya, politik identitas itu cenderung lebih menonjol dan massif," ujarnya pada suatu seminar di UIN Jakarta, 27/3/2017.
Amich melihat adanya kecenderungan di masyarakat pada Pilkada di DKI untuk saling "perang" simbol dan "perang" wacana. Berbagai pernyataan untuk menggiring opini publik terus dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang tidak suka pada pasangan calon gubernur tertentu, seperti munculnya jargon kafir, bidah, ahli neraka, pemimpin kafir, zalim, jujur, adil, dan korup.Â
Istilah kafir dipermainkan karena justifikasi sepihak pada kelompok yang berbeda agama dan selera politik dengan kelompok tertentu serta kemudian diredefinisi secara total oleh mereka yang ingin berkuasa.
Ade Kurniawan dalam katalogika.com juga mengunggah tulisan tentang politik identitas yang digunakan Anies. Ia meyebut bahwa media asal New York Reuters menuding kemenangan Anies Baswedan sebagai gubernur diraih lewat politik identitas dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Anies Baswedan dinilai Reuters gunakan cara politik identitas untuk mengalahkan petahana Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok yang beragama Kristen dan etnis Tionghoa dalam Pilkada DKI.
Reuters juga menyebut jika Anies Baswedan dan pendukungnya, kelompok Islam garis keras telah menumbuhkan retorika anti-Cina dan kelompok pendatang lainnya dengan sangat brutal. Padahal, kata Reuters, Anies sendiri adalah kelompok pendatang dari suku Hadrami Yaman, yang bukan asli pribumi Indonesia.
Dan sejak Pilkada DKI itu sejumlah kalangan publik dan media mencap Anies sebagai Bapak Politik Identitas. Cap ini melekat kuat, karena pengalaman Pilkada itu memang sangat membekas di benak banyak orang. Cap atau citra sebagai Bapak Politik Identitas dikuatkan oleh adanya pendukung keras Anies.
Maka diprediksi, Anies yang sebentar lagi selesai menjabat gubernur DKI berpotensi terkena upaya pembingkaian (framing) politik identitas dalam usahanya meraih kursi presiden pada pilpres 2024.
Satrio Arismunandar dalam orbitindonesia.com menulis bahwa Anies Baswedan sedang menghadapi situasi rumit, ada problem besar yang menghadangnya, dalam upayanya maju sebagai capres di Pilpres 2024, yaitu perang pencitraan akibat cap sebagai Bapak Politik Identitas.
Cikal bakal perang pencitraan Anies Baswedan, menurut Satrio, berawal dari proses naiknya Anies ke kursi Gubernur DKI Jakarta lewat Pilkada 2017. Pilkada ini meninggalkan luka dalam, bahkan teramat perih, karena tim kampanye Anies memainkan politik identitas habis-habisan.
Tetapi "resep" kemenangan gemilang Anies pada 2017 itu ternyata tidak selalu menguntungkan, terutama pada 2022. Semata-mata mengandalkan dukungan suara dari kubu Islam politik, demikian Satrio, tidaklah cukup untuk memenangkan Pilpres. Kedekatan Anies dan kelompok-kelompok Islam politik kini lebih dirasa sebagai beban.
Konstituen Islam politik tetap harus dirawat, karena merekalah yang mendukung Anies selama ini sampai bisa meraih jabatan Gubernur DKI. Tetapi, menurut Satrio, terlihat terlalu dekat dengan kubu Islam politik ini bisa menghalangi masuknya dukungan dari konstituen Nasionalis.
Nah, nampaknya Anies menyadari framing yang bakal membatasi geraknya menuju capres. Lalu Anies pun masuk gereja, mungkin bermaksud mencuci noda politik identitas yang telah mengotori citranya.
Dan Anies datang ke gereja dengan memberikan bantuan. Dengan langkah ini nampaknya Anies berhasil membangun citra sebagai gubernur yang mengayomi umat Kristen, korban utama politik identitas yang dia mainkan. Bahkan Anies berhasil membuat beberapa pimpinan gereja memuji-mujinya setinggi langit.
Puja-puji pimpinan gereja tersebut, yang dimaksudkan untuk menyangkal sebutan Bapak Politik Identitas, dinyatakan setidaknya dalam tiga hal, yakni pemakaian stola, pernyataan bahwa dia meneladani karakter dan ajaran Yesus Kristus serta pemberian gelar "Bapak Kesetaraan Indonesia".
Mengenai pemakaian stola bukanlah pujian yang diperoleh Anies, tetapi malah sindiran dari netizen.
Yohanes A Kopong Corebima dalam populis.id menulis tanggapan netizen terhadap Anies yang memakai stola di peresmian sebuah gereja, dengan judul "Haleluyah Puji Tuhan Pak Anies Baswedan Sudah Jadi Pendeta!" Yohanes juga mengutip netizen yang menyindir dengan menyebut yang bersangkutan telah murtad dan kini menjadi pendeta.
Mengenai sebutan Anies meneladani karakter dan ajaran Tuhan Yesus Kristus, inipun para pemimpin gereja tersebut memberikan sekadar pujian kosong atau basa-basi. Bahkan ada yang menyebut mereka "menjilat dengan nama Yesus."
Roedy S Widodo dalam Seword.com menulis dengan judul "Ketika Nama Yesus Digunakan Untuk Menjilat Anies Baswedan".
Dalam tulisannya Roedy menanggapi Freddy Mutiara yang menulis tentang Anies Baswedan telah meneladani Kristus. Roedy mengatakan bahwa dengan perkataannya itu Freddy bisa dianggap melakukan penistaan agama. Lagi Roedy berkata, kalau Freddy memang merasa perlu menjilat Anies Baswedan, silakan saja tapi jangan menggunakan Yesus untuk melakukan hal tersebut.
Dan mengenai penobatannya sebagai Bapak Kesetaraan Indonesia, Ricke Senduk dalam Seide.id menulis opini dengan judul "Anies Bapak Kesetaraan Indonesia ??"
Ricke menulis antara lain, "Kalau setelah dapat dana lalu memuji-muji, bahkan menjilat pun masih dimaklumi. Tapi kalau karena dapat jatah Boti lalu mengklaim semua berita tentang Anies tidak benar karena Anies seorang nasionalis, pluralis, itu sudah menjual kebenaran."
Indonesia bukan hanya sebesar Gereja Pentakosta, tulis Ricke, dan agama bukan hanya Kristen Pentakosta doang. Kristen saja ada banyak. Belum lagi Katholik, Islam, Budha, Hindu dan lainnya. Silahkan saja kalau Pentakosta mau menobatkan Anies sebagai "Bapak Kesetaraan Gereja Pentakosta," tidak usah bawa-bawa Indonesia.
Dilihat dari sisi gereja, tentu saja Anies tidak layak mengenakan stola karena ia bukan pendeta atau pejabat gereja. Ia juga tidak layak disebut telah meneladani karakter dan ajaran Yesus Kristus, karena bahkan tidak seorang pun pemimpin gereja yang merasa layak disebut telah meneladani karakter dan ajaran Yesus. Terakhir, Anies lebih tidak layak disebut Bapak Kesetaraan Indonesia.Â
Apakah dia telah mendamaikan atau menyetarakan kelompok pendukungnya dengan kelompok-kelompok korban politik identitas yang dimainkannya?
Semua yang kelihatan seperti pujian tersebut di atas, ternyata hanya pujian kosong. Para pemimpin gereja tersebut telah nge-prank Anies dengan memberikan sesuatu yang tak bermakna.
Rupanya dengan menerima pujian para pemimpin gereja tertentu tersebut Anies telah melakukan blunder. Bukan citra baik yang diperolehnya, malahan citra negatif di lingkungan gereja, yang mungkin justru akan memperberat langkahnya menjadi capres 2024.
Jadi usaha Anies mencuci noda politik identitas dengan masuk gereja ternyata sia-sia. Ia hanya mendapat puja-puji palsu dari beberapa pemimpin gereja yang tentu saja tidak berhak mewakili seluruh gereja-gereja di Jakarta apalagi di Indonesia.
(Budi Kasmanto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H