Menempatkan iman kepada penguasa, pendeta mengingkari tanggung jawab sebagai pemimpin jemaat. Ketika pemimpin gereja mencari dukungan atau perlakuan politik untuk gereja, pendeta berkomunikasi kepada massa bahwa kerajaan Kristus hanyalah demografi (baca: sejumlah suara!) saja dalam pemilihan.
Panggilan atau Godaan?
Seorang pendeta Baptis berujar, "Masyarakat Kristen sebagai salah satu elemen bangsa harus dapat melakukan perenungan perihal perannya dalam ruang kebangsaan dan kenegaraan. Adalah naif bila kita mengatakan gereja yang menamakan diri 'Indonesia', bersikap diam dan tidak terlibat dalam berbagai pergulatan keindonesiaan."
Kita menyetujui dan mendukung ajakan di atas, bahwa setiap Kristen baik pribadi maupun organisasi dipanggil untuk berpolitik. Tetapi kita harus menyadari jebakan-jebakan yang akan membuat panggilan mulia itu menjadi sebuah godaan yang menjerumuskan para rohaniwan ke dalam politik praktis.
Gereja Kristus tidak membutuhkan pemimpin gereja yang unggul dalam berpolitik praktis, melainkan yang bersedia mengembangkan pemikiran alkitabiah yang menghasilkan perilaku sosial-politik kristiani.
John Stott dalam bukunya, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani, menulis: "Yang amat dibutuhkan dewasa ini adalah pemikir-pemikir Kristen yang berani ikhlas terjun dalam kancah isu-isu yang sedang digeluti dalam masyarakat masa kini. Juga kelompok-kelompok Kristen... yang bergerak dalam bidang persuasi. Motivasi mereka harus seratus persen Kristiani, artinya, lahir dari visi tentang Allah yang prihatin terhadap memekarnya keadilan, kasih, kejujuran dan kebebasan dalam masyarakat..."
(Budi Kasmanto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H