Mohon tunggu...
Budi Kasmanto
Budi Kasmanto Mohon Tunggu... Penulis - Pendeta - Penulis - Jurnalis

Sejak 1994 bekerja sebagai pendeta di Bali. Tahun 2020-2022 menjadi pendeta di Manokwari, Papua Barat. Kini menetap di Bali dan fokus menulis. Bukunya berjudul "Panggilan Berkhotbah" diterbitkan oleh Penerbit ANDI Yogya. Sejak 2012 menjadi jurnalis Majalah Suara Baptis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pendeta Berpolitik, Panggilan atau Godaan?

31 Agustus 2022   10:00 Diperbarui: 31 Agustus 2022   10:05 1366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pdt. Gilbert dan Gubernur Anies - Sumber: https://m.bacasaja.id/

Memang, masing-masing kita mempunyai hak politik untuk memilih pemimpin dan itu dijamin oleh demokrasi. Tetapi pemimpin gereja mempunyai tanggung jawab menyampaikan prinsip-prinsip politik alkitabiah, bukan malah membawa diri dan jemaat yang dipimpinnya menyerah pada penggiringan politik.

Pendeta perlu memahami motif politik

Di musim pemilu pertemuan-pertemuan politik antara calon pemimpin politik dan pemimpin gereja sering diselenggarakan. Apakah para pemimpin jemaat atau pendeta wajib menghadiri undangan seperti itu?

Untuk menyikapinya, pemimpin gereja perlu berefleksi terkait kehadiran gereja di ranah politik agar gereja tidak menjadi sekadar alat atau kendaraan politik, agar para pemimpin gereja waspada terhadap penggiringan politik.

Gereja harus hadir di ranah politik. Para pemimpin gereja harus mengerti politik. Lebih utama lagi bahwa mereka harus mengenali motif-motif politik. Dengan demikian mereka akan memiliki sikap politik yang benar terhadap undangan menghadiri pertemuan-pertemuan politik.

Pendeta semestinya peka terhadap tujuan atau motif politik pengundangnya. Apakah pendeta diundang untuk menyampaikan pikiran, saran, masukan atau wejangan rohani berkenaan dengan politik? Jika ini tujuannya, maka para pendeta dapat memenuhi undangan tersebut secara bertanggung jawab. Memang itulah tugas pendeta, membagi pemahaman tentang etika politik atau berpolitik secara alkitabiah. Dengan demikian para pendeta berada di jalur yang benar.

Tetapi jika para rohaniwan hadir dalam pertemuan politik hanya sebagai penggembira, pemberi tepuk tangan meriah, untuk mengacungkan jari sebagai tanda dukungan terhadap calon yang mengundang mereka makan, maka mereka telah terjebak pada penggiringan politik. Dalam posisi seperti ini mereka seperti menyindir diri sendiri, bahwa rohaniwan yang sejatinya dipanggil untuk berbicara kebenaran, ternyata lebih senang berbicara tentang kekuasaan.

Para pemimpin gereja yang menempatkan diri sebagai pendukung calon atau partai tertentu melupakan firman Tuhan bahwa gereja adalah "terang" dan "garam" bagi dunia, termasuk tentu saja dalam dunia politik.

Pertemuan seperti itu selayaknya berisi dialog dan diskusi dengan mengangkat masalah penting dengan memberikan kesempatan kepada para pemimpin gereja untuk menyampaikan pikirannya. Tetapi yang sering terjadi mereka malah diajak sekadar menjadi pemberi tepuk tangan meriah. Kalau toh harus berdoa mereka akan berdoa selaku tim sukses yang mengklaim Tuhan agar calon tersebut berhasil meraih mimpinya.

Hasil pertemuan juga perlu diperhatikan, apakah hanya sekadar klaim bahwa umat Kristen di daerah tertentu mendukung kandidat.

Sesuatu yang luar biasa dipertaruhkan di sini: apakah orang Kristen, yang diwakili oleh para pendetanya, menempatkan iman mereka kepada Kaisar dan kerajaannya daripada di dalam Kristus dan kerajaan-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun