Mohon tunggu...
budi prakoso
budi prakoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - mari jaga kesehatan

seorang yang gemar berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebesaran Diplomasi Perdamaian demi Terciptanya Harmoni

15 September 2024   08:36 Diperbarui: 15 September 2024   08:39 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kunjungan bersejarah Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik dunia juga sebagai pemimpin negara Vatikan ke Masjid Istiqlal pada tahun 2024 menjadi momen penting yang merefleksikan semangat persatuan dan toleransi beragama. Peristiwa kunjungan Paus Fransiskus ke salah satu masjid terbesar di Asia Tenggara ini sebagai tindak nyata merajut persatuan dan saling menghormati yang dilakukan oleh seorang pemimpin agama yang juga pemimpin negara.

Komitmen seorang pemuka agama dan juga pemimpin negara terhadap dialog dan pemahaman antar iman sangat dibutuhkan karena sesungguhnya agama merupakan totalitas sumber kearifan, cinta, dan perdamaian diantara manusia. Namun ada saja oknum yang menyelewengkan agama untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya demi mencapai sesuatu. Jadi, jika agama menyajikan fenomena yang berlawanan dengan hakikat agama maka bisa kita simpulkan bahwa agama dimanipulasi oleh oknum-oknum tersebut. Sesungguhnya konflik kepentingan ekonomi-politiklah yang mendasari perpecahan bukan agama itu sendiri. Mereka, oknum-oknum yang tidak memenuhi tuntunan keimanan dan religiusitas sehingga melakukan konspirasi menebar benih kebencian dan permusuhan yang harus dipersalahkan bukan agama.

Kunjungan Paus Fransiskus seakan ingin menegaskan bahwa relasi Kristen-Islam seharusnya damai dan menyejukkan sesuai dengan hakikat agama yang menjadi sumber kearifan, cinta, dan perdamaian. Pertemuan tokoh agama Kristen-Islam antara Paus Fransiskus dan KH Nasaruddin Umar seakan ingin memperbaiki relasi dua agama tersebut yang selama ini mengalami fluktuatif dan ambivalen.

Memang kita bisa lihat relasi Kristen-Islam di Indonesia meski diwarnai rasa saling menghargai dan menghormati, namun kadang harmoni juga disharmoni, rukun namun juga terdapat konflik. Masih ada kekerasan yang seringkali mengatasnamakan agama. Realitas itu dimulai dari hadirnya Kristen dan Katolik bersamaan dengan datangnya kolonialisme di Indonesia. Kristen dan Katolik sebagai agama yang dibawa oleh kolonial tentunya diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan penguasa kolonial. Kebijakan-kebijakan yang diambil penguasa kolonial tidak hanya merugikan perkembangan Islam sebagai agama namun juga akses terhadap ranah ekonomi, politik, dan ranah lainnya. Akibatnya di era tersebut, Islam sebagai agama mayoritas termarjinalisasi.  

Pada masa kolonial, relasi Kristen-Islam dipengaruhi politik stelsel dalam hubungan persaingan dan politik keagamaan yang berporos pada dogma dan ajaran, bukan etika dan perilaku. Ditambah beban sejarah konflik Kristen-Islam (perang salib). Konflik yang melibatkan isu SARA dalam sejarah Indonesia yang paling mengerikan adalah kasus kekerasan di Ambon dan beberapa daerah di Maluku, yang sesungguhnya bukanlah kekerasan agama, namun diawali dari persaingan politik antar suku di tingkat elit birokrasi yang kemudian ditarik dan difahami sebagai perseteruan antar penganut agama. Perseteruan tersebut, mencabik-cabik harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu kita perlu membangun pemahaman yang benar bahwa SARA bukanlah kendaraan dan mediasi politik bagi kelompok dan kepentingan tertentu, namun sebagai induk Indonesia yang melahirkan kearifan dan harmonisasi yang kokoh dalam suasana keberagaman. 

Pemuka agama dan para pemimpin daerah juga pusat harus menyadari bahwa keagamaan yang eksklusif, tertutup dan dangkal, juga sikap superioritas suku dan agama tertentu serta instabilitas dan ketidakadilan sosial, ekonomi, politik dan sosial menjadi pemicu konflik di masyarakat. Hal tersebut harus menjadi perhatian serius bagi pemuka agama dan juga pemimpin pemerintahan. Jadi sikap kedua tokoh tersebut sangat menentukan dan menjadi panutan bagi masyarakat untuk menjalin hubungan yang harmonis baik antar agama maupun antar perbedaan pilihan politik. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun