Baru saja umat muslim di seluruh dunia merayakan hari raya idul fitri. Banyak hal yang bis akita pelajari dari perayaan ini. Tidak hanya sebatas merayakan hari raya keagamaan, tapi banyak hikmah dan pembelajaran yang bisa kita petik dari hari raya ini. Sebelumnya, kita semua digembleng melalui puasa, yang dituntut untuk mengendalikan hawa nafsunya. Seluruh lisan dan perilaku harus dijaga, untuk menebar kebaikan di bulan suci. Dan puncak dari perjuangan menahan hawa nafsu tersebut adalah idul fitri. Pada hari itu seluruh umat muslim dianjurkan untuk saling meminta maaf dan memaafkan, atas segala kesalahan yang telah dilakukan.
Ya, memaafkan dan meminta maaf sebuah perilaku sederhana yang terkadang sulit dijalankan dalam hari-hari biasa. Dalam konteks ketika provokasi begitu masif, ketika ujaran kebencian begitu marak terjadi, saling memaafkan sepertinya menjadi hal yang mustahil dilakukan. Namun, Idul Fitri menuntut kita untuk bisa saling memaafkan dan meminta maaf.Â
Sebelum pada titik tersebut, secara tidak langsung kita menyadari telah banyak berbuat salah dan memahami apa kesalahan yang telah dilakukan. Ketika memahami tersebutlah muncul sebuah kesadaran untuk saling memaafkan.
Sebagai negara yang majemuk, perbedaan tentu menjadi sebuah hal yang lumrah. Keberagaman tentu menjadi bagian dari identitas negeri ini. Namun dalam perjalanannya, perbedaan dan keberagaman seringkali dipersoalkan oleh sebagian orang. Dan kita tentu tahu, pihak-pihak yang mempersoalkan tersebut adalah orang-orang yang telah terpapar paham radikalisme, intoleransi dan terorisme. Dan keberadaan mereka di negeri ini memang tidak sepenuhnya hilang, meski organisasi yang mereka naungi sudah hancur.
Kelompok radikal ini memang terus berkembang menyesuaikan zaman. Mereka tidak lagi melakukan cara-cara penyebaran dengan cara konvensional. Mereka terus memanfaatkan media sosial, karena disitulah jutaan anak muda dan semua orang dari berbagai kalangan menghabiskan waktunya. Dan jika kita melihat media sosial saat ini, ujaran kebencian begitu vulgar bisa kita temukan.Â
Pada titik inilah kita bisa melihat kecanggihan teknologi disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak baik. Antar sesama bisa saling caci, saling provokasi, bahkan saling bertikai. Semuanya itu tidak bisa dilepaskan dari provokasi kebencian yang memicu terjadinya amarah.
Ketika amarah personal atau kelompok berkembang menjadi amarah massal, tentu bisa berpotensi menjadi memicu terjadinya konflik. Ketika amarah tidak bisa dikendalikan, maka disinilah logika mati. Ketika logika mati, maka niat untuk saling mengerti, saling memahami, bahkan saling memaafkan akan sirna. Karena yang ada di kepala hanyalah salah, salah dan salah.Â
Ketika seseorang berbeda keyakinan, dianggap sesat, sesat dan sesat. Ketika keberagaman ada di sekitarnya, dianggap menyalahi mayoritas. Bukankah negeri ini dibangun diatas semangat kemajemukan?
Mari kita tingkatkan literasi. Mari kita baca sejarah agar tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang menyesatkan. Mari kita tanamkan komitmen dalam diri sendiri, untuk bisa hidup berdampingan dalam keberagaman.Â
Mari biasakan diri untuk meminta maaf jika memang terbukti melakukan kesalahan. Dan mari kita memberikan maaf, jika memang orang disekitar kita terbukti melakukan kesalahan.Â
Jika kita semua bisa melakukan itu, tentu tidak ada lagi perdebatan soal muslim atau non muslim, mayoritas atau minoritas. Karena kita semua pada dasarnya sama, yaitu Indonesia. Dan idul fitri telah mengajarkan kepada kita semua, untuk saling meminta maaf dan memberikan maaf. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H