Tak perlu saling caci, mari saling menghargai. Tak usah merasa paling benar, mari saling melengkapi. Ungkapan ini perlu kita teladani di tengah kemajemukan negeri ini. Seperti kita tahu, Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi. Indonesia mempunyai banyak suku, bahasa dan budaya.Â
Keberagaman itulah yang bisa membuat Indonesia tumbuh menjadi negara yang terbuka, negara yang toleran dan saling menghargai. Toleransi negeri ini tercermin dalam nilai-nilai kearifan lokal yang tumbuh di masing-masing daerah.
Budaya kearifan lokal ini sudah berkembang sejak dulu, jauh sebelum masyarakat Indonesia mengenal agama. Budaya kearifan ini sudah ada sebagai bentuk penghormatan, bentuk rasa syukur atas berkah yang didapatkan.Â
Salah satu bentuh kearifan lokal adalah sesajen. Beberapa waktu lalu sempat ramai diperbincangkan perihal sajen ini. Ada seorang pemuda menendang sesajen di gunung semeru. Dia menilai sesajen itulah yang membuat Allah murka. Lalu sesajen dibuang dan ditendang sambil berteriak takbir.
Ketika video tersebut viral, sang pemuda akhirnya ditangkap oleh pihak berwajib. Banyak tokoh agama menyangkan tindakan pemuda tersebut. Karena sesajen pada dasarnya bukan menyembah selain Allah. Sesajen merupakan bentuk penghormatan terhadap ciptaan Allah. Ada yang mengatakan sesajen bagian dari menyembah setan dan sebagainya.Â
Jika kita belajar dari sejarah, sesajen ini merupakan bagian dari tradisi sebelum agama masuk. Ketika Islam masuk ke Jawa melalui wali songo, tradisi sesajen sudah ada. Namun, para wali tidak pernah menyatakan sesat, menendang atau melarang.
 Para wali justru memberikan pemahaman baru ke masyarakat. Karena pemahanan itulah, sesajen tidak hilang, hanya beralih konsep menjadi sedekah. Selametan yang masih terjadi hingga saat ini, pada dasarnya merupakan bagian dari akulturasi budaya.
Jika diantara melihat sesajen di tradisi agama lain, tak perlu marah. Karena hal tersebut bagian dari tradisi yang perlu dihormati. Sepanjang tidak mengganggu kepentingan publik, tak perlu mengumpat, mengintimidasi atau mendiskriminasi.Â
Mari berpikir positif saja. Sepanjang tidak ada hak yang dilanggar, sepanjang tidak merugikan kepentingan orang banyak, lebih baik saling menghargai. Termasuk dalam konteks sesajen yang masih dilakukan oleh tradisi masyarakat. Agama Hindu mengenal canang sari, semacam sesajen namun ukurannya agak kecil. Jika kita ke Bali, tentu sering melihatnya. Lalu, jika kita berkeyakinan berbeda, apakah diantara kita akan melarang?
Kembali ke persoalan sesajen di gunung Bromo, dekat Lumajang, Jawa Timur. Beberapa hari setelah persistiwa, pelaku meminta maaf kepada publik. Nasi sudah menjadi bubut. Pengaduan telah ditingkatkan menjadi penyidikan. Ancaman hukum pun telah di depan mata.Â
Mari kita saling introspeksi dan tidak merasa paling benar. Membudayakan saling edukasi, jauh lebih penting dan bermanfaat dibandingkan saling intimidasi. Keberagaman tradisi warisan leluhur ini perlu kita jaga.Â
Ingat, Tuhan menciptakan bumi dan seisinya ini penuh dengan keberagaman. Tuhan mengajarkan kita untuk saling mengenal dan memahami satu sama lainnya. Apa tujuannya? Agar terciptanya keharmonisan di muka bumi ini. Salam toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H