Baru-baru ini, media massa kembali dikejutkan dengan adanya pemberitaan tentang masuknya radikalisme di salah satu perguruan tinggi di Jember, Jawa Timur. Dalam sebuah penelitian disebutkan, setidaknya terdapat sekitar 22 persen dari mahasiswa perguruan tinggi tersebut, yang terpapar radikalisme.
Ironisnya, temuan terpaparnya 22 persen mahasiswa tersebut justru dianggap sebagai berita bohong alias hoaks. Sedangkan pihak kampus meresponnya dengan menghentikan dosen tersebut dari ketua lembaga pengembangan pembelajaran dan pengemangan mutu (LP3M), karena telah mempublikasikan hasil penelitiannya.
Dalam sebuh forum bertajuk strategi pencegahan intoleransi, radikalisme dan kekerasan ekstrimisme di Dunia Pnedidikan dan Media Sosial, disebutkan bahwa 22 persen dari 15.567 kampus negeri di Jember tersebut terpapar radikalisme.
Kasus diatas merupakan kasus yang terlihat. Saya yakin msih banyak kasus serupa, yang mungkin tidak banyak diketahui masyarakat. Jauh sebelum ini, propaganda radikalisme memang telah banyak masuk ke lembaga pendidikan, dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, dari siswa hingga pengajar. Bahkan salah satu kampus besar di Bogor Jawa Barat, juga pernah digunakan sebagai tempat deklarasi dukungan mahasiswa terhadap khilafah.
Sebelumnya, buku bacaan berisi ajakan jihad dengan cara meledakan bom, juga sempat ditemukan di lembaga pendidikan setingkat pendidikan anak usia dini (PAUD). Buku-buku tersebut berhasil ditarik, dan ternyata sengaja disebarkan oleh oknum tertentu. Di level SMP, SMA hingga perguruan tinggi juga demikian. Radikalisme telah masuk melalui organisasi ekstra kampus, dakwah di masjid kampus, hingga melalui tempat kost mahasiswa. Berbagai cara dilakukan untuk menjadikan generasi muda sebagai target.
Temuan dosen perguruan tinggi di Jember tersebut, semestinya disikapi sebagai bentuk peringatan, bukan disikapi dengan hukuman. Kenapa? Karena nyatanya radikalisme memang telah menjalar ke lembaga pendidikan. Itulah kenapa para pelaku intoleran bahkan terorisme, masih didominasi dari anak-anak muda.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), para pelaku tindak pidana terorisme masih didominasi remaja usia 21-30 tahun, yang persentasenya mencapai 47,3 persen. Sementara jika dilihat dari latar belakang pendidikan, didominasi remaja berpendidikan SMU yang mencapai 63,3 persen.
Besaran angka diatas harus menjadi perhatian kita bersama. Jangan biarkan anak-anak muda terus menjadi korban, dan menjadi penyebar kebencian, pelaku persekusi ataupun pelaku tindak pidana terorisme. Generasi muda harus menjadi generasi pemersatu, yang bisa menyatukan semua keberagaman. Generasi muda harus bisa menjadi generasi yang toleran, bukan intoleran. Mari saling mengingatkan antar sesama, agar konten negative seperti radikalisme di dunia maya bisa berkurang. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H