Pekan kemarin, berbagai macam rentetan peristiwa membuat kita semua miris. Sentimen suku, agama, ras dan antar golongan berpotensi menjadi konflik yang berbahaya, jika terus digosok dengan provokasi.
Sentimen SARA dikhawatirkan bisa menggerakan konflik persoal ke ranah konflik kolektif, yang bisa membahayakan kerukunan dan toleransi di Indonesia. Konflik yang terjadi di Papua baru-baru ini misalnya. Semestinya tidak akan terjadi, jika diantara kita bisa mengedepankan toleransi dan rasa saling menghargai.
Bukankah Indonesia dikenal sebagai negara yang toleran? Betul. Namun karena maraknya provokasi di media sosial dan maraknya propaganda radikalisme di dunia maya, membuat toleransi ini pelan-pelan memudar menjadi intoleransi.
Kalau dilihat dari angka, jumlah masyarakat yang toleran pasti masih lebih besar. Namun jumlah masyarakat yang intoleran ini, tetap bisa menjadi gangguan jika kita semua membiarkan.
Kasus Papua kemarin misalnya. Jika aparat bertindak cepat untuk menangkap pelaku, mungkin tidak akan ada provokasi yang berujung pada aksi pembakaran di sejumlah tempat di Papua. Kemarahan masyarakat Papua ini bisa jadi bagian dari akumulasi, yang selama ini sering sekali mendapatkan diskriminasi. Mari kita introspeksi bersama.
Kasus pembakaran tempat ibadah beberapa tahun lalu di Tanjung Balai, Sumatera Utara,semestinya juga tidak terjadi jika semua pihak tidak saling menebar kebencian dan provokasi. Karena tidak ada kontrol dan pihak yang berkepentingan tidak cepat bertindak, maka terjadilah tindakan intoleran tersebut. Dan apa akibatnya? Kita semua yang dirugikan. Kerukunan dan toleransi yang selama ini sudah terjalin, hilang begitu saja.
Mungkin kita juga masih ingat berbagai macam aksi teror di Indonesia beberapa tahun kebelakang. Propaganda radikalisme telah membuat sebagian masyarakat tak bisa mengendalikan amarah. Keramahan telah berubah menjadi amarah yang tak berdasar.
Dari keterangan para pelaku, mereka mengenal radikalisme dari media sosial. Bahkan kasus bom Surabaya yang melibatkan satu keluarga, juga tak bisa dilepaskan dari propaganda radikalisme di dunia maya. Akibatnya, kebencian terhadap suatu kelompok terus menguat. Logika tak lagi berjalan karena sudah tertutup dengan kebencian.
Belajar dari kenyataan diatas, mari kita bijak dalam bertutur di dunia maya. Mari kita bijak pula dalam berperilaku di dunia nyata. Kita adalah Indonesia. Dan Indonesia adalah negara dengan penduduk yang sangat menghargai keragaman, sangat menghargai perbedaan, dan sangat mengedepankan budaya tolong menolong antar sesama.Â
Indonesia dikenal dengan keramahan masyarakatnya, bukan kemarahaman yang tak jelas arahnya. Sekali lagi, mari kita introspeksi. Jangan lagi ada konflik yang disebabkan oleh provokasi diantara kita sendiri. Mari kita rajut damai di bumi pertiwi ini, agar Indonesia tetap damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H