Mohon tunggu...
budi prakoso
budi prakoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - mari jaga kesehatan

seorang yang gemar berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pesta Demokrasi untuk Menyatukan, Bukan Mencerai Beraikan

16 April 2019   07:35 Diperbarui: 16 April 2019   07:44 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi, Indonesia akan menggelar pemilihan presiden dan wakil presiden secara serentak pada 17 April 2019 mendatang. Saat ini, sudah memasuki masa tenang. Para calon pemilih diharapkan bisa memilih sesuai dengan hati nurani. Calon pemilih diharapkan juga bisa memilih tanpa adanya paksaan. 

Namun jika kita melihat kebelakang, berbagai cara untuk mempengaruhi calon pemilih terus dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Entah itu dilakukan oleh timses, para buzzer, ataupun para simpatisan. 

Sayangnya, cara-cara untuk mempengaruhi calon pemilih ini dilakukan dengan cara yang tidak baik. Dan salah satu cara itu adalah dengan cara menebar berita bohong alias hoaks dan ujaran kebencian.

Mungkin kita masih ingat, ketika baru baru memasuki masa kampanye, muncul hoaks yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet. Setelah itu terus bermunculan hoaks dan ujaran kebencian di dunia maya. 

Karena masih minimnya tingkat literasi masyarakat, praktek sharing tanpa melakukan saring pun sering dilakukan oleh masyarakat. 

Akibatnya, kebencian pribadi langsung berubah menjadi kebencian secara massal. Kebohongan yang dilakukan seseorang, berubah menjadi kebohongan komununal. 

Dan yang terjadi kemudian adalah keramahan berubah menjadi amarah yang membabi buta. Ketika amarah ini terus berhadapan dengan yang namanya provokasi, disinilah niat akan menjadi tindakan. 

Dan tindakan yang sering terjadi adalah praktek persekusi. Bahkan ada yang berani melakukan tindakan intoleran ataupun aksi terorisme.

Karena persoalan merawat kebencian berujung pada terciptanya konflik di masyarakat. Apalagi ketika kebencian ini dibawa untuk urusan politik, yang terjadi hanya karena berbeda pilihan politik, bisa saling berbeda pendapat, bahkan di daerah ada juga yang akhirnya memutuskan tali silaturahmi antar tetangga. 

Pesan berantai berisi ancaman ini itu terus bermunculan. Pesan ajakan ini itu bermunculan di media sosial. Dan semuanya itu sangat mengerikan jika dilandasai kebencian politik. 

Pesta demokrasi yang semestinya bisa disambut dengan suka cita, justru dihadapi dengan penuh kebencian dan sengketa antar masyarakat.

Saat ini sudah memasuki masa tenang. Masih ada fase yang harus kita tunggu adalah siapa yang akan terpilih menjadi calon pemimpin dari perhelatan pesta demokrasi ini. 

Jika pesta demokrasi selama ini dimaknai sebagai 'pertarungan' antar paslon, maka pemilu ini sebagai tak lebih dari sebuah panggung gladiator. 

Siapa yang kuat, maka dialah yang menang. Namun, adakah yang berpikir bahwa pesta demokrasi ini sejatinya merupakan media untuk menyatukan semua keragaman yang ada? Semua orang berbondong-bondong ke tempat pemenangan sampai ke TPS, sebagai bentuk pilihan yang telah diambil. 

Dalam penentuan pilihan itu, tentu akan terjadi interaksi antar sesama. Dan interaksi itulah yang melahirkan silaturahmi dan segala macamnya. Artinya, pemilu sejatinya bisa dimaknai sebagai upaya untuk menyatukan. Maka pemimpin yang lahir pun, semestinya pemimpin yang bisa menyatukan.

Indonesia berisi berbagai macam suku, agama, budaya dan bahasa. Penduduknya juga mempunyai berbagai macam kepentingan. Harapan antar masyarakat tentu akan berbeda. Karena keragaman itulah harus dipertemukan bukan untuk saling adu kuat, tapi untuk dicarikan kesepakatan bersama. 

Jika para pendahulu bisa mendapatkan kesepatan dengan melahirkan Pancasila, kenapa kita sekarang masih saling menebar kebencian dan kebohongan? Jika Pancasila dulu bisa menyatukan semua keragaman melalui semangat bhineka tunggal ika, kenapa sebagian masyarkat di era modern ini tidak bisa? 

Ingat, Indonesia bukanlah negara konflik, bukanlah negara intoleran. Indonesia adalah negara yang saling menghargai, tolong menolong dan merangkul semua keragaman. 

Karena itulah, pesta demokrasi yang terjadi saat ini semestinya bisa menyatukan, bukan mencerai beraikan. Siapapun yang terpilih menjadi pemimpin, harus bisa menjadi pemimpin yang menyatukan, jangan mencerai beraikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun