Mohon tunggu...
Budi Kurniawan
Budi Kurniawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Pemerhati ekonomi-politik dan kebijakan publik, meraih gelar master public policy dari The Australian National University

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sistem Khilafah Bukanlah yang Terbaik

6 Mei 2017   18:14 Diperbarui: 6 Mei 2017   19:59 2064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasti kita sudah kenal dengan yang namanya Hizbut Tahrir. Saya sendiri kenal HT sejak awal-awal kuliah dahulu. Waktu SMA cuma tahunya NU dan Muhammadiyah saja hehe.. Sewaktu di Jogja ternyata Islam beragam. Tetapi sejak dahulu tidak pernah tertarik HT sedikitpun, yang ada cuma perang urat leher saja dengan saudara kita itu.

Klaim HT atau HTI akan sistem terbaik adalah khilafah sebenarnya klaim yang dipertanyakan. Khilafah sebenarnya hanya bertahan sekitar 30 tahun dari zaman Abu Bakar hingga zaman Hasan bin Ali. Sebenarnya kalau HTI membaca hadits nubuat Nabi jelas bahwa sistem yang ada paska diserahkannya khilafah ke Muawiyah adalah sistem monarki atau kerajaan. Nabi sendiri bersabda: “Khilafah kenabian itu (bertahan) selama 30 tahun kemudian Allah mendatangkan raja-raja kepada yang dikehendaki. (HR. Ahmad)" Hebatnya hadits nubuat ini pas kalau dihitung dari masa pemerintahan Abu Bakar hingga Hasan bin Ali yang hanya 6 bulan. Hasan menggenapkan jadi pas 30 tahun :D Maka tepatlah ulama dan generasi awal Islam menyatakan Muawiyah adalah raja pertama umat Islam.

Hadits itu diatas memang banyak dibantah HTI, jika begitu ya sudah. Kalau dalil ditolak coba kita lihat sejarah versi umat Islam sendiri. Sistem khilafah yang mebedakknya dengan kerajaan adalah apakah suksesi kekuasaan dipilih atas dasar musyawarah atau melalui garis keturunan yang bersifat warisan. Anak semeter 1 jurusan Ilmu Politik pasti sudah tahu bahwa ciri utama sistem monarki atau kerajaan adalah bagaimana Raja atau apapun namanya dipilih secara warisan bukan musyawarah. Memang pengangkatan Umar dipilih atas dasar penunjukan Abu Bakar, tetapi penunjukan itu tidak ditentang para sahabat dan juga bukan atas warisan seperti sistem monarki. Sekarang coba kita lihat dinasti Umayyah, Abassiah hingga kemudan Ustmaniyah, semua dipilih dan diangkat atas dasar garis keturunan. Lalu kemudian jika ada proses bai'at dalam sistem kerajaan pun begitu pula adanya.

Walau mereka menyebut dirinya khalifah ataupun Amirul Mukminin tetapi tidak semua wilayah muslim mereka kuasai. Misal wilayah Andalusia sekarang Spanyol bukanlah wilayah kekuasaan Abassiah bahkan merdeka dan terpisah dari kedaulatan Abassiah. Bahkan di zaman dinasti Turki Ustmani, wilayah pedalaman Jazirah Arab dan Afrika seperti Najed yang sekrang wilayah Saudi bukanlah wilayah kedaulatan Turki ustmani. Fakta ini membantah klaim bahwa sistem khilafah(klaim HTI padahal kerajaan) bukanlah sistem yang mempersatukan umat Islam. Memang di zaman khulafaur Rasyidin umat bersatu di bawah satu wilayah kedaulatan hingga akhrinya berakhir di era khalifah Ali ketika Syria dan Mesir menolak berbaiat.

Jika kita bandingkan sistem demokrasi modern di hari ini, sejarah khilafah versi umat Islam sendiri misal dari Kitab Tarikh khulafa dan Al Bidayah Wan Nihayah maka sejarah penggantian khilfah dan intrik politik di zaman itu luar biasa tak beradab. Contoh misalnya Khalifah As Saffah setelah memenggal khalifah terakhir Umayyah, Marwan 2 memberi lidah Marwan untuk dimakan kucing. Belum kisah perebutan kekuasaan antara Abdullah bin Zubeir yang diangkat penduduk Hijaz menjadi khalifah utnuk mengembalikan model khalifah zaman khulafaur Rasyidin dengan Muawiyah k2-2 di mana kota Mekah dikepung hingga Kabah terbakar. Kalau kita baca kisah pemenggalan cucu Abu Bakar oleh Al Hajjaj palnglima dinasti umayyah sungguh sedih dan mengiris hati. Coba kita bandingkan pergantiaan kekuasaan Ahok ke Anies misalnya sungguh lebih jauh beradab

:D (balik lagi ke pilkada wkwk ).

Tetapi harus dicatat bahwa yang namanya dinasti, kekaisaran, kerajaan, atau sistem bernegara atau bahkan negara-bangsa itu seperti manusia kata Ibnu Khaldun, ada kelahiran ada kematiannya. Hari ini kita mempertahankan secara mati-matian Negara Kesatuan Republik Indonesia, "NKRI harga Mati" sebagai kontrak sosial kita, tetapi ya tetap saja yang namanya kontrak sosial (baca negara) sama dengan manusia ada kelahirannya dan ada kematiannya. Kurang kuat apa kekaisaran Romawi akhirnya runtuh juga, begitupula Persia dan mungkin sebentar lagi USA.

Soal kebebasan berpendapat, jauh lebih elegan zaman demokrasi. Kita semua tahu Imam Ahmad bin Hambal. Beliau pernah dipenjara karena berbeda mazhab dengan mazhar resmi khalifah Al Ma'mun yang bemazhab Mu'tazilah, paham yang mungkin sekarang mirip dengan JIL. JIL zaman dulu ternyata gak pluralis juga ya wkwk.. (ini intermezo)

Jika kemudian ada nubuat atau ramalan Rasul bahwa akan ada khalifah lagi di umat ini setelah munculnya Imam Mahdi dan Isa Al Masih, ayo kita yakini karena itu merupakan salah satu kepercayaan akidah ahlus sunnah wal jamaah. Tetapi untuk apa kita ngotot mendakwahi khalifah, tetapi kenapa gak mendakwahi akan adanya Isa Al Masih atau Yesus Kristus. Kenapa gak mendakwahi Isa Al Masih adalah solusi dan pemersatu umat misalnya, toh sama saja, sama-sama berstatus ramalan alias Nubuwat.

Jika kemudian berfikir bahwa syariat Islam tidak akan tegak tanpa khalifah. Syariat Islam banyak, yang ringan-ringan saja dulu ditegakan, yang ringan untuk diri sendiri aja banyak yang amburadul kok. Untuk yang publik juga banyak misal suruh tidak korupsi itu juga syariat Islam. Bayar zakat juga syariat Islam yang tidak perlu adanya khalifah dan gunanya untuk memberantas kemiskinan. Yang private juga sudah tegak misal hukum menikah, waris juga begitu, tinggal kemudian dorong hukum pidana kita bernafaskan Islam tanpa perlu bicara simbolisnya. Bahkan syariah Islam tentang minuman keras telah tegak di Papua tanpa kita sadari muncul dari kesadaran pemerintah Papua akan realitas masyarakat di sana. Saya sepakat berdakwalah pada subtansinya yakni keTauhidan bukan kepada alat nya. Khalifah itu alat untuk menegakkan keadilan dan dia bisa digantikan dengan alat yang lain misal negara bangsa kita saat ini.

Uniknya kemudian mengapa HT tidak berbaiat kepada khalifah Al Bagdadi ISIS sana. Kan sudah tercapai tuh cita-cita khilafahnya. Kalau gak berbaiat aja sama khalifatul Muslimin di Lampung, mereka juga mengklaim khalifah, dengan mengangkat Abdul Qadir Baraja jd khalifah hehe..

Kalau dakwah fokusnya pada kekuasaan alangkah banyaknya Rasul yang gagal, karena mereka tidak mampu berkuasa bahkan mempunyai pengikut yang sedikit.

Tulisan orang yang pernah nyanti dan DO dari L-Data Taruna Al Quran Jogja hehe

:D

NB: Mohon maaf sebelumnya untuk teman-teman HTI anggap saja ini bacaan ringan. Diseriusin boleh dianggap cuma ocehan biasa aja boleh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun