Mohon tunggu...
Budi Kurniawan
Budi Kurniawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Pemerhati ekonomi-politik dan kebijakan publik, meraih gelar master public policy dari The Australian National University

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Model Rumah Murah di Singapura, Bisakah Diaplikasikan di Jakarta?

2 April 2017   04:18 Diperbarui: 4 April 2017   21:09 2448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu perdebatan yang sehat di pilkada Jakarta hari ini adalah perdebatan program pasangan Anies Sandi tentang DP nol rupiah untuk warga kelas menengah di Jakarta. Bersyukur kita untuk pertama kalinya ide gagasan program tentang kebutuhan pokok (baca:papan) menjadi debat menarik di media sosial. Wacana publik tentang ini menarik perhatian para ahli hingga para pengamat amatir yang mungkin tidak paham sama sekali. Bagi merea asal yang penting membela calon yang didukungnya baik dalam bentuk bully maupun pujian. 

Namun sayangnya, perdebatan ini tidak menyentuh soal filosofis atau paradigma tentang sistem ekonomi misalanya. Perdebatan banyak dari hitung-hitungan matematis hingga survey di web rumah 123 tentang adakah masih di Jakarta rumah berharga 350 juta ke bawah yang memang ternyata masih ada kata kompas.com. Penulis kali ini mengajak kita menggali lebih dalam secara paradigma ekonomi tentang konsep perumahan untuk warga ini diluar masalah teknis hitung-hitungan akuntansi yang sudah banyak diungkap di media.

Salah satu kelemahan para pengamat dan calon itu adalah bahwa harga rumah ditentukan oleh mekanisme pasar bebas. Ini adalah kelemahan yang mendasar. Sehingga ketika ada yang mengejek "kalau ada harga yang dibawah 350 juta maka saya akan beli sepuluh" itu berarti yang mengejek masih percaya untuk urusan penting seperti perumahan untuk rakyat maka mekanisme harga yang ditentukan oleh supply dan demand di pasar bebas adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa diintervensi oleh negara misalnya. Yang menarik kemudian adalah jawaban dari para calon pengusungpun tidak menjelaskan secara detail. 

Ada kata kunci yang menarik menurut hemat penulis yang kemudian bisa dikejar lebih dalam tentang konsep "model Singapura" yang dicetuskan Pak Sandiaga. Nah ini munkin yang menjadi menarik dan realistik untuk menjadi model yang diterapkan di Indonesia khusunya kota Jakarta dimana harga tanah dan rumah semakin mahal.

Model Singapura ini menjadi unik karena 85 persen perumahan di Singapura "dibisniskan" alias disupply oleh pemerintah Singapura melalui perusahan BUMN yang bernama the Housing Development Board. Itu artinya harga perumahan di Singapura dikontrol sepenuhnya oleh negara atau pemerintah (Chang, 2012: 38). Ekonom univertitas Camberidge Ha-Joon Chang mengatakan model Singapura ini tidak ada dalam teks teori ekonomi neo-classic. Ekonom ortodox dari mazhab neo-classic percaya bahwa harga pasar tidak mungkin atau tidak boleh dikontrol oleh pemerintah, dan pemerintah bukanlah supplier barang tetapi serahkan lah kepada swasta, dalam hal ini developer. 

Kasus Singapura malah sebaliknya, pemerintahlah yang menjadi developer. Kemudian apakah pemerintah menjual murah ? itu tergantung. Ada perumahan di Singapura yang mahal dan pemerintah jelas berbisinis dan umumnya dimiliki warga asing yang kaya dan termasuk para konglomerat Indonesia, namun ada perumahan yang murah untuk warga Singapura kelas menengah kebawah.

Intinya model Singapura yang dikenal juga dengan istilah state capitalism (istilah versi majalan Economist www.economist.com ) atau developmental state ( Baca Robert Wade dan Chalmer Johnson) ini adalah neagra dapat mengontrol harga karena negara meguasai supply perumahan ketimbang diserahkan kepada mekanisme pasar yang supply-nya disediakan swasta. 

Tentu model ini tidak ada dalam teks book buku ekonomi terkenal di dunia pun seperti karya Mankiw dan Krugman. Singkatnya Singapura membantah klaim Adam Smith tentang "insible hand" menjadi "visible hand". Sehingga kemudian tidak heran publik Indonesia terjebak alur pikir ekonom neo classic yang hanya percaya invisble hand ini dan tidak pernah mendengar "model Singapura" dan cara "visible hand nya ini nyata terjadi. 

Lalu pertanyaan kemudian mungkinkah model ini diterapkan di Jakarta? Menurut penulis sangat mungkin, tinggal buat BLU atau BUMD dengan APBD yang ada dan tanah yang tersedia, Pemda bisa intervensi menjadi developer perumahan. Untuk itu perlu pemda yang punya trust tinggi dan anti korupsi. Kebanyakan BUMN di Indonesia adalah bancakan para tim sukses sehingga tidak heran BUMN tidak pernah menjadi sokoguru ekonomi Indonesia, tidak seperti negara industri Baru semacam China, India dan Singapura yang menjadikan BUMN adalah pemain utama. Inilah kemudian tantangan pemda itu.

Bagaimana kemudian menjadikan model Singapura jadi kebijakan tetapi di sisi yang lain menegakkan pemerintahan yang bersih dan akuntabel serta partisipatif. Banyak kasus di negeri ini orang yang tidak paham BUMN tetapi karena jadi tim sukses politikus di saat calonnya jadi pejabat publik, akhirnya dapat juga kursi empuk komisaris. Model apapun tidak akan jalan dan bekerja dengan baik jika pemerintahnya korup dan mementingkan tim sukses ketimbang urusan publik yang besar.

Leeds di tengah Malam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun