Mohon tunggu...
Budi Kurniawan
Budi Kurniawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Pemerhati ekonomi-politik dan kebijakan publik, meraih gelar master public policy dari The Australian National University

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Tol Sumatera dan Kampus ITERA

2 Maret 2016   19:14 Diperbarui: 2 Maret 2016   19:37 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semester ini saya mengajar perencanaan dan politik di Institut Teknologi Sumatera ( ITERA ), sebuah institut baru yang lahir dari program pemerintahan SBY. Saya kagum dengan luasnya kampus ini, namun yang miris bagi saya adalah di tengah gegap gempita proyek Jalan Tol, pembangunan Itera sepertinya lamban kalah dibandingkan proyek jalan tol. Sebuah ironi di tengah jargon presiden Jokowi yang katanya ingin membangun sumber daya manusia melalui program revolusi mental.

Kualitas sumber daya manusia dan kemajuan teknologi adalah kunci kerbahasilan suatu bangsa tidak terkecuali daerah. Permasalahan bonus demografi dan jebakan negara berkembang yang susah menjadi negara maju dijawab dengan kunci diatas. Korea Selatan adalah contoh nyata negara yang sama start dengan Indonesia namun kini jauh meninggalkan Indonesia dikarenakan faktor ini.

Solusi yang ditawakan pemerintah dahulu untuk menjawab permasalahan diatas adalah dengan pendidikan. Bonus demografi akan jadi anugrah tidak hanya dalam sisi konsumsi tetapi juga produktifitas, disinilah kemudian jawabannya produktifitas solusinya pendidikan. Pendidikan yang membuat manusia Indonesia menjadi produktif dan inovatif dengan mengembangkan research dan teknologi. Inilah kemudian latar belakang lahirnya kampus Itera untuk menjawab tantangan kedepan bangsa ini.

Itera sebagai kampus baru punya prospek untuk maju secara nasional bahkan internasional. Sebagai institute teknologi negeri ketiga setelah ITB dan ITS sangat wajar jika diharapkan berkontribusi kepada kemajuan pembangunan di Lampung tadi. Sebagai kampus baru, itera langsung dipegang oleh rektor yang juga mumpuni lulusan salah universitas terbaik di dunia. Inilah yang membuat penulis optimis bahwa Itera adalah jawaban akan sebuah kampus ideal yang dibangun atas dasar good university governance.

Tantangan Kedepan
Ada beberapa tantangan yang bisa menghambat pembangunan Itera atau lebih jauh pembangunan SDM walau Presiden Jokowi telah paham pentingnya sektor ini. Pertama, Itera bukan prioritas pembangunan sehingga akhirnya dinomorduakan karena mindset pembangunan yang belum berubah. Adalah bisa dikatakan hari-hari ini pembangunan Itera tidak secepat pembangunan jalan tol Lampung. Gedung masih minim dan pemberitaan media pun masih kurang bila dibandingkan pembangunan megaproyek jalan tol. 

Jika paradigma pembangunan infrastruktur kita untuk mendukung penurunan ongkos produksi dari Sumatera ke Jawa sebenarnya kita mengulang cara kolonial membangun Indonesia. Untuk itu harus ada revolusi mental membangun bahwa infrastuktur adalah untuk pembangunan sumber daya manusia. Jika ini dilakukan maka pembangunan Itera seharusnya prioritas ketimbang jalan tol atau minimal sama pentingnya.

Salah satu kesalahan yang penting di dalam pola pikir pembangunan kita adalah masih menempatkan Lampung sebagai kawasan strategis penopang pangan Pulau Jawa. Jika pola ini masih dipakai arah pembangunan Lampung ke depan akan menempatkan Lampung sebagai kebun dan kemudian Jalan Tol itu dibuat untuk kepentingan orang di Puaau Jawa agar membeli pangan lebih murah. Pangan murah masalah ketahanan pangan orang Pulau Jawa terselesaikan. Pola kolonial inilah yang kemudian membuat orang Kalimantan mati listrik padahal kaya batu bara. Membuat Sumatera Selatan defisit listrik disaat batu baranya malah dialirkan ke Jawa melalui kereta api. 

Bisa jadi di kemudian hari Lampung akan mengalami krisis pangan bukan karena Lampung tidak ada pangan tetapi karena pangan yang ada lebih untuk memenuhi pasar Pulau Jawa. Jalan tol malah membuat akses orang Jawa lebih mudah dan murah akan pangan, di sisi yang lain akses akan Pangan di Lampung masalah yang langka. Amartya Sen (1980) di dalam tulisannya yang berjudul "famines" atau kelaparan mengatakan bahwa kelaparan bukan soalnya tersedia banyaknya pangan tetapi bisa jadi lebih ke masalah tekanan pasar, yakni ketika penjual lebih memilih menjual pangan ke daerah lain yang secara geografi berbeda. Pendapat Sen tentang market force inilah yang menghawatirkan. DikhawatirkanLampung malah kekurangan pangan, karena jalan tol mendorong pangan hasil bumi Lampung lebih mudah ke pasar Pulau Jawa karena harga yang lebih mahal. Hal ini perlu diantipasi pemerintah daerah agar jangan sampai Jalan Tol malah menjadi musibah bukan anugerah.

Tantangan berikut adalah institusi baik politik maupun ekonomi. Institusi dalam ini berarti bagaimana regulasi di daerah dapat memberi stimulus bagi perkembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika hari ini masih ada diskriminasi terhadap sumber daya yang didasarkan faktor primordial baik itu kekerabatan maupun faktor suap maka itulah sumber utama terhambatnya suatu daerah untuk maju. Jika yang menjadi PNS masih didasarkan akan fakor nepotisme bukan kompetensi maka ini akan membuat masyarakat akan malas untuk meningkatkan produktifitas dengan sekolah.

Institusi yang baik harus menjamin warganya punya kesempatan dan kedudukan yang sama. Jika hari ini pemerintah menggembor-gemborkan research di bidang pangan untuk menopang kedaulatan pangan, maka tidak akan ada penelitian dan penemuan penting jika pemerintah masih memberlakukan sektor pertanian sebagai anak tiri. Jika kita kemudian sepakat bahwa sektor pertanian adalah keunggulan komparatif maka kemudian fokuslah ke peningkatan sumber daya manusia bidang ini yakni petaninya. Jadikan petani yang terdidik dan produktif. Kenyataan hari ini kebanyakan mahasiswa pertanian malah lebih memilih kerja di Bank ketimbang menjadi petani. Menjadi petani bukan profesi yang dianggap mulia di republik ini.

Masalah rendahnya SDM di sisi produktifitasnya adalah disebabkan oleh tantangan yang kedua ini yakni institusi. Rezim negara kita yang rendah insentif bagi warganya membuat sektor research dan teknologi menjadi profesi yang tidak menjanjikan ketimbang menjadi PNS atau pegawai Bank. Untuk itu agar mendorong mahasiswa kembali membangun sektor ini perlu dikembangkan rezim yang memberi jaminan kesejahteraan bagi semua profesi baik berupa uang pensiun bagi warganya termasuk kemudahan kredit untuk menjadi pengusaha bidang teknologi. Pensiun adalah mekanisme yang membuat mengapa orang bekerja sesuai kompetensinya.

 Ekonom Universitas Cambridge Ha-Joon Chang (2014) menulis bahwa pensiun membuat orang-orang di Skandinavia memilih kerja sesuai dengan minat dan kompetensinya, karena negara menjamin kerja apapun akan mendapat jaminan di hari tua. Rakyat kemudian akan memilih lebih menjadi apapun dikarenakan sesuai bakat dan kompetensinya dikarenakan ada jaminan dari negara bahwa kerja apa saja termasuk menjadi petani, pelukis, industri kreatif akan aman kehidupannya di hari tua. Hari ini orang memilih menjadi PNS walau sebenarnya tidak bakat jadi pelayan publik dikarenakan adanya insentif pensiun di hari tua itu ketimbang passion yang dimilikinya. Wallahualam.

Referensi :
Chang, Ha-Joon, 2014 23 things they don't tell you about capitalism
Sen, Amartya, 1989 "Famines"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun