Mohon tunggu...
Budi Kurniawan
Budi Kurniawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Pemerhati ekonomi-politik dan kebijakan publik, meraih gelar master public policy dari The Australian National University

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Provinsi Miskin Membayar Lebih dari 2 M untuk 29 Tim Ahli

25 Januari 2016   20:35 Diperbarui: 25 Januari 2016   20:55 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejatinya intelektual memiliki peran yang penting dalam perumusan kebijakan publik. Dalam istilah studi kebijakan publik mereka dikenal dengan istilah para teknokrat. Peran mereka sangat penting sebenarnya agar kebijkan publik dibuat bukan hanya karena masalah tawar menawar kepentingan antar elite. Mereka ini, kaum teknokrat membawa logika rasional dalam kebijakan, yakni logika efektif dan effisienkan kebijakan dibuat dilihat dari perspektif keilmuan mereka yang objektif.

Di dunia internasional peran intelektual dalam pembuatan kebijakan sangatlah penting. Kebijakan pemerintah Obama misalnya tidak lepas dari peran kelompok ini. Orang yang bernama Ben Bernanke, guru besar ekonomi jebolan MIT, menjadi aktor penting kebijakan ekonomi Obama yang hari ini semakin membaik. Hal yang sama juga dilakukan oleh Joseph Stiglitz, guru besar Columbia University, yang jadi tokoh dibalik suksesnya ekonomi di era Presiden Bill Clinton. Obama juga punya penasehat politik yang bernama Joseph Nye, guru besar di Harvard, yang menjadi inspirasi kebijakan luar negeri yang mengutamakan soft power yang anti perang di era saat ini. Di Inggris, Anthony Giddens, guru besar sosiologi di LSE, adalah sosok dibalik suksesnya PM Tony Blair.

Bagaimana dengan Indonesia ? Indonesia orde baru tidak lepas dari sosok para teknokrat yang menjadi aktor kebijakan orde baru. Studi Rizal Malarangeng ( 1999 ) menunjukam betapa pentingnya aktor-aktor yang disebut epistemic circle ini dalam mendesign kebijakan ekonomi orde baru. Setidaknya peran teknokrat ini masih dipelihara hingga era SBY apalagi ketika mengandeng ekonom netral, Dr Boediono, pada pemilu 2009 yang lalu. Hari ini peran para teknokrat sipil ini bisa dikatakan meredup seiring dengan kemengan Presiden Jokowi yang mengandeng Jusuf Kalla yang banyak dikenal sebagai "musuh" kaum teknokrat tadi.

Lalu Lampung bagaimana ? adakah peran intelektual yang signifikan dalam perumusan kebijakan publik ? Menurut pengamatan penulis walau mereka ada, bahkan digaji mahal setiap bulan, dan dinilai KPK pemberosan (http://inilampung.com/tenaga-ahli-pemprov-boroskan-anggaran/ ) , peran mereka nyaris tidak terdengar. Banyak mereka yang di Lampung dikenal dengan Tim Ahli dan digaji tujuh juta perbulan tidak kelihatan sama sekali perannya. Adakah yang salah ? Mereka tidak memiliki peran karena beberapa sebab. Pertama, mereka tidak pernah diajak dalam lingkaran inti kebijakan, kalaupun ada hanya sebatas acra formal seperti musrembang. Bisa dikatakan mereka hanya asesoris belaka. Kedua, proses pemilihan Tim Ahli itu lebih karena kedekatan politik ketimbang kompetensi. Hal ini menyebabkan banyak mereka yang kompeten lebih hanya jadi penonton tanpa bisa memberi masukan kepada pemerintah, padahal mereka punya kompetensi untuk itu. Kampus, tidak pernah dilibatkan dalam proses seleksi sehingga kampus sendiri tidak paham atas dasar apa mereka dipilih. Ketiga, ada di beberapa daerah Tim Ahli hanyalah tim sukses dalam pemilukada. Sehingga, rekomendasi kebijakan yang dibuat akhirnya "asal bapak senang". Karena motivasi rent seeking lah yang utama bagi mereka dengan model yang seperti ini.

Lalu jika BPK mengatkan ini pemberosan bagaimana seharusnya Tim Ahli ini seharusnya. Tim Ahli menurut hemat penulis tetaplah diperlukan, namun sifatnya seharusnya ad hock sehingga tidak perlu ada pemberosan anggaran. Tim Ahli juga harus diseleksi dengan melibatkan kampus sehingga tim ahli dapat independent sesuai dengan kompetensi keilmuan dalam bentuk kerjasama pemda dan kampus. Seleksinya pun harus terbuka dan siapapun berhak ikut seleksi.

Tim Ahli dihapuskan juga sebenarnya tidak masalah. Sebagai intelektual seharusnya sudah sepantasnya berempati dengan kondisi anggaran daerah. Sebagai daerah yang masih terpuruk dengan masalah kemiskinan dan rendahnya sumber daya manusia sudah seharusnya Lampung memprioritaskan anggaran pembangunan ketimbang anggran rutin bagi Tim Ahli yang jumlahnya 29 orang itu.

Jika Lampung punya 29 tim ahli dengan gaji masing-masing 7.5 juta perbulan dalam setahun artinya lebih dari 2 M habis anggaran untuk menggaji orang yang disebut ahli ini. Uniknya dengan tidak jelasnya bidang keahlian maka ini sama saja pemborosan anggaran seperti yang disebutkan oleh BPK. Berikut adalah data laporan BPK tersebut:Di Amerika saja tim Ahli presiden Obama hanya berjumlah 7 orang dan 2 orang penasehat senior yang jelas kompetensinya (https://www.whitehouse.gov/administration/other-advisory-boards ). Negara sebesar Amerika saja hanya 9 orang yang mewakili lembaga, nah di Lampung 29 orang yang setengahnya diisi "wiraswasta" bukan kalangan akademisi.

Mudah-mudahan ini jadi perhatian pemerintah pusat. Sangat ironis jika provinsi termiskin di Sumatera ini menghamburkan uang hanya untuk membayar mereka yang tidak jelas kerjanya. Jika memang peduli terhadap daerah seharusnya lebih bijak bersikap. Terima kasih bagi yang sudah membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun