Mohon tunggu...
Budi Kurniawan
Budi Kurniawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Pemerhati ekonomi-politik dan kebijakan publik, meraih gelar master public policy dari The Australian National University

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengapa Sumatera Butuh Jalan Tol ? : Tanggapan Atas Surat Terbuka Faisal Basri

22 Januari 2016   18:42 Diperbarui: 22 Januari 2016   23:21 2008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Surat terbuka ekonom UI Faisal Basri kepada Presiden Joko Widodo tentang proyek jalan Tol Sumatera cukup menjadi pembicaraan hangat kami yang tinggal di Sumatera. Jalan tol yang dianggap beliau tidak menguntungkan secara finansial sebaiknya dikoreksi karena bertentangan dengan paradigma kelautan Presiden Jokowi. Tulisan ini akan menanggapi satu persatu uraian Faisal Basri.

Pertama, saya secara pribadi setuju dengan asumsi para ekonom tentang tidak tepatnya proyek jembatan selat sunda (JSS) secara finansial saat ini. Kedepan jika anggaran negara telah mampu menurut saya hal ini bisa jadi relevan kedepannya. Lalu bagaimana dengan jalan Tol Sumatera ? Jalan tol agak berbeda jika kita melihat multiplier effect yang ditimbulkan. Tol Sumatera akan berimbas secara positif bagi ekonomi ke seluruh Provinsi yang dilalui. Hal ini berbeda dengan Jembatan Selat Sunda yang praktis hanya berefek positif bagi daerah Lampung dan Banten. Dengan dana anggaran yang hampir sama tetapi multiplier effect dari tol sumatera cendrung lebih besar. Belum termasuk resiko geologi yang besar untuk JSS dan relatif tidak ada resiko geologi untuk Tol Sumatera. Selain itu alternatif kapal feri dengan pelabuhan yang diperluas menjadi solusi effektif ketimbang jembatan.

Kedua, Bung Faisal menawarkan alternatif dari jalan tol yang ditawarkan Faisal Basri dengan mempeluas Highway Trans Sumatera. Menurut saya ini tidak tepat. Sumatera ini lebih membutuhkan jalan tol bebas hambatan agar jarak tempuh lebih singkat. Sedangkan konsep highway artinya seluruh jenis kendaraan numpuk dari motor hingga Tronton. Yang juga diabaikan Faisal adalah highway trans sumatera itu melewati lokasi padat penduduk sehingga laju kendaraan praktis akan lambat walaupun jalan diperlebar. Yang diperlukan Sumatera adalah jalan yang bebas hambatan sebagai alternatif dari jalan highway yang sudah padat itu. Mungkin orang Jakarta tidak pernah merasakan macetnya jalan bukan karena jalan yang kurang luas tetapi lebih dikarenakan adanya gangguan dari padatnya pemukiman di pinggir jalan. Saya pribadi pengguna jalan itu yang sering mengeluh karena itu bukan karena kurang lebarnya jalan. Tetapi bukan berarti setelah ada tol, jalan itu ditinggalkan. Jalan ini tetap penting karena ini adalah urat nadi kota-kota, kecamtan dan desa yang dilaluinya. 

Ide bang Faisal untuk lebih membuka akses jalan di Pantai Barat karena centra kemiskinan cukup baik. Namun bukan dengan alasan ini maka tol dibatalkan. Saya melihat peran pemda dan kerjasama antar daerah pantai Barat dari Lampung dan Aceh cukup penting untuk itu. Jika pemerintah pusat telah menghandle pantai timur, sudah seyogyanya pemda gotong royong membangun jalan di Barat diperlebar dan dihubungkan dengan Pantai Timur sembari menunggu kelonggaran anggaran untuk membangun tol tambahan jika dimungkinakan.

Ketiga, secara finasial, menurut Faisal proyek jalan tol  tidak menguntungkan. Kita bisa berdebat soal hitung-hitungan ini. Namun andaikata pun memang susah untuk break event point, proyek jalan tol adalah tetap tanggung jawab negara karena ini adalah public good atau barang publik. Ketika fasilitas publik tidak menguntungkan disediakan oleh swasta maka negara harus intervensi. Konsep market failure untuk barang publik kita kenal luas dalam pelajaran ekonomi mikro dan hal ini yang kemudian menjelaskan mengapa tidak semua barang dan jasa bisa disediakan swasta karena tidak menguntungkan secara finansial. Oleh sebab itu mengapa negara harus intervensi karena ini kepentingan publik. Dan sebagai daerah yang paling banyak menyumbangkan devisa ke negara ini dari sektor migas dan perkebunan ketimbanh Jawa, sungguh tidak adil jika negara mengabaikan jalan tol hanya dengan logika ini tidak menguntungkan secara finansial. Kalau pola pikir ini digunakan maka tidak heran hanya Jawa yang padat penduduknya yang punya jalan tol. Karena cuma di Jawa yang break event point sedangkan di luar Jawa tidak akan pernah. Di Jawa negara cuma diam saja, swasta mau berinvestasi. Sedangkan untuk Sumatera, mau tidak mau Negara harus turun tangan. Jika pembangunan infrastruktur hanya berlaku di Jawa, tidak heran uang yang beredar banyak di Jawa. Urbanisasi akan selalu menjadi masalah di Jawa terutama Jakarta karena orang berlomba-lomba mencari pekerjaan di kota yang ada kereta cepat sedangkan kami di Sumatera cukup menikmati highway sambil antri macet di pasar tumpah. Jika logika finansial digunakan, negara tidak usahlah beli pesawat tempur, beli tank, beli kapal selam, karena sama logikanya tidak menguntungkan secara finansial. Perang juga tidak pernah, belum mahal bayar perawatannya. Namum jika dikerangkai dengan pola pikir bahwa senjata yang modern penting untuk diplomasi maka beli peralatan perang adalah keharusan. Namun karena pertahan kemanan adalah jasa yang tidak mungkin disediakan oleh swasta secara finansial alias public good, maka kewajiban negara untuk menyediakan.

Keempat, sepakat dengan Faisal dengan kesalahan proyek kereta api cepat Jakarta Bandung yang sebenarnya menggunakan dana APBN juga. Walau katanya proyek tidak menggunakan APBN tetapi dananya tetap dana publik yang melalui BUMN yang modalnya disuntik APBN. Menurut saya lebih mendesak bikin jalur kereta api di kalimantan, Sulawesi dan Papua ketimbang proyek ini. Banyak alternatif ke Bandung mengapa harus dipaksakan kereta api. Kalau yang bangun dana dari perusahaan Jusuf Kala atau Ical baru saya setuju.

Kesimpulannya proyek tol sumetera sudah tepat dengan intervensi negara demi keadilan Jawa luar jawa, namun proyek kereta api cepat adalah salah untuk itu segera ditunda kecuali yang mengerjakan swsata untuk kereta api. Walau begitu Faisal Basri tetaplah ekonom yang kami anak muda tetap hormati dan belajar banyak ilmu dan idealismenya. Terima kasih bagi yang membaca. 

 

Bandar Lampung 22 Januari saat magrib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun