Ilustrasi - siapa pintar lobi, dia menang (Kompas)
Institusi ekonomi Indonesia adalah institusi yang extractive menjadi terang bederang ketika kita melihat kasus Setya Novanto, Riza Chalid dan PT Freeport. Institusi yang extractive inilah yang menjadi penyebab bangsa ini menjadi bangsa yang gagal, bangsa yang miskin terpuruk dari segala bidang di tengah kemajuan bangsa lain. Tesis tentang hubungan antara kemiskinan dan insitusi ini dikemukakan pertama kali oleh Acemoglu dan Robinson dalam buku mereka "why nation fail" (2012). Menurut guru besar di MIT (Acemoglu) dan Chicago University (Robinson) ini, kemiskinan di banyak negara disebabkan oleh sebab yang sama yakni institusi politik dan ekonominya.
Kasus Novanto ini membuktikan bahwa praktik rent seeking atau pencari rente yang menjadi indikator extractive institutions menjadi fondasi ekonomi kita. Ekonomi atau dunia bisnis di Indonesia dibangun atas sistem yang diskriminasi bahwa siapa yang bisa melobi maka dia mendapat rente dan ditambah sedikit jiwa wirausaha maka jadilah dia konglomerat. Dunia bisnis Indonesia dibangun atas loby politik kedekatan dengan partai dan militer. Hal ini tidak jauh berbeda dengan fondasi ekonomi orde baru yang dibangun atas kronisme dengan penguasa baik militer maupun sipil. Yang membedakan hanyalah peran partai politik yang dominan di era paska reformasi ketimbang orde baru.
Fondasi ekonomi seperti ini menjadikan banyak potensi bangsa ini tidak muncul. Karena dunia usaha hanya untuk mereka yang pintar melobi dan mampu memberi suap (baca: saham). Para usahawan yang dibangun atas dasar kreatifitas, inovasi dan teknologi tidak akan mampu bertahan jika tanpa mampu membayar upeti ke para politikus dan membayar oknum tentara untuk jaminan keamanan. Hari ini bisa jadi banyak Bill Gates muda lulusan ITB, Marx Zucherberg muda lulusan UI atau Alfa Edison muda lulusan UGM namun tidak diasah untuk berkarya karena tidak ada jaminan mereka bisa jadi pengusaha besar dengan hanya mengandalkan kreatifitas mereka.
Rakyat di negeri ini tidak diberi insentive untuk maju dan berpikir inovasi, rakyat dididik bahwa yang pintar melobi dan merekayasalah yang bisa jadi orang kaya bukan mereka yang cerdas. Tidak heran kemudian usaha kreatif seperti gojek pun diambang kebangkrutan karena praktik curang. Hampir dikatakan bahwa orang cerdas dan inovatif di negeri ini tidak punya harapan. Kita jadi tidak heran jika orang cerdas di negeri ini lebih memilih hidup di luar negeri ketimbang tinggal di Indonesia.
Indonesia itu ibarat kolam air, saat ini Indonesia adalah kolam air yang kotor sehingga hanya ikan lele yang bisa hidup. Ikan yang mau tega memakan kotoran (baca: rente) yang kemudian sengaja membuat kolam Indonesia tetap kotor agar hanya mereka yang hidup sedangkan ikan yang lain seperti ikan koi mati kelaparan tidak berkembang karena hanya bisa hidup di kolam yang bersih Kolam yang kotor itu adalah perumpamaan apa yang disebut oleh Acemoglu dan Robinson dengan extractive institutions.
Berbeda dengan negara maju, fondasi ekonomi negara maju adalah inclusive institutions yang diibaratkan dengan kolam bersih dan jernih. Di kolam yang jernih segala jenis ikan bisa hidup tanpa ada diskriminasi. Semua ikan diberi kesempatan dan insentive yang sama bahwa siapapun yang mau bekerja keras, kreatif dan inovatif maka tanpa perlu ada kedekatan politik dapat menjadi sejahtera. Coba kita cek data orang Kaya di Amerika dari Bill Gates hingga Marx Zucherberg, semua tumbuh atas kaki sendiri bukan karena kedekatan politik atau kronisme. Untuk hal yang sama coba buka data majalah forbes tentang orang kaya di Indonesia, semua adalah mereka yang punya kedekatan dengan parpol dan militer. Bisa dikatakan bahwa negara maju adalah negara yang menjamin setiap warganya mempunyai kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang sedangkan negara gagal adalah negara yang melakukan diskriminasi ekonomi untuk warganya.
Lalu haruskah kita menyerah sebagai ikan koi yang hidup di kolam yang kotor? Mati atau tidak tumbuh optimal karena air kolam yang kotor? Haruskah kita mencari kolam yang lain hijrah ke kolam yang lebih bersih yang memberikan kesempatan yang sama kepada warganya untuk berkembang tanpa diskriminasi? Sialnya media dan alat untuk merubah itu partai politik dan pemilu sama kotornya dan diskriminatif nya kepada para ikan koi. Ini artinya institusi politik kita pun masih extractive. Hanya mereka yang berduit dan bisa melobi yang bisa jadi anggota DPR dan kepala daerah dan bahkan menteri. Sedangkan mereka yang punya potensi menjadi pemimpin seperti para founding fathers bangsa ini tersingkir oleh sistem politik kita hari ini. Politik kita juga sama dikuasai para lele yang ingin tetap air kolam kotor.
Tetapi, kita tidak harus pesimis. Masih ada ikan koi di dunia politik yang mau mengorbankan waktu dan tenaganya agar kolam ini jadi bersih. Untuk itu ikan Koi seperti Ridwan Kamil dan Tri Rismarini perlu kita dukung. Untuk itu para ikan koi bersatulah jadikan kolam Indonesia jadi kolam yang bersih sehingga semua ikan mampu hidup dan berkembang tanpa diskiminasi. Saya adala ikan koi, Setya Novanto CS adalah ikan lele dan anda ikan koi juga pastinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H