Mohon tunggu...
Budi Kurniawan
Budi Kurniawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Pemerhati ekonomi-politik dan kebijakan publik, meraih gelar master public policy dari The Australian National University

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kasus Mesuji dan Papua: Penjajahan ala VOC

21 Desember 2011   21:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:56 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_158067" align="aligncenter" width="619" caption="Ilustrasi- Inilah kawasan konflik agraria di wilayah hutan Register 45 di Sungai Buaya, Mesuji. Wilayah ini diklaim dikuasai PT Silva Inhutani Lampung/Admin (KOMPAS/Yulvianus Harjono)"][/caption]

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan bahwa tujuan dari bernegara Indonesia adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Namun, yang terjadi di Mesuji Lampung atau Perusahaan Pertambangan di Papua menunjukan bahwa tugas mulia ini gagal. Negara bukanlah melindungi warga negara tetapi melindungi coorperasi atau pemilik modal yang dengan kekuasaan uangnya dapat memerintahkan aparat membunuh warga negara atau rakyat yang seharusnya dilindunginya.

Ini artinya kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak ada artinya. Karena Indonesia  masih dijajah. Dijajah dengan cara yang sama seperti apa yang dilakukan VOC dulu. Indonesia tidaklah dijajah atau dianeksasi oleh sebuah negara, tetapi Indonesia dijajah oleh perusahan-perusahan swasta asing.

Sebuah daerah dikatakan dijajah jika bumi dan kekayaan alamnya kaya tetapi rakyat sekitarnya tidak dapat menikmati dan masih berada di garis kemiskinan. Papua adalah provinsi kaya di Indonesia, dari minyak, tembaga hingga emas ada di Papua. Tetapi apa yang terjadi di bumi Papua hari ini. Bedasarakan sensus terbaru dari Badan Pusat Statistik Papua Barat dan Papua adalah provinsi termiskin di Indonesia. Prosentase angka kemiskinan di dua Provinsi ini mencapai 34-36 persen, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar 13,33 persen. Belum lagi masalah diskriminasi terhadap orang Papua asli, yang mengingatkan kita kepada diskriminasi yang sama dilakukan terhadap pribumi di zaman colonial dahulu.

Lampung sendiri adalah provinsi termiskin di Sumatera berdasarkan data Kementerian Sosial (Kemsos) tahun 2010. Di Provinsi Lampung terdapat 211.943 keluarga fakir miskin, atau menempati posisi tertinggi di antara 9 provinsi yang ada di Pulau Sumatera. Kabupaten Mesuji sebagai kabupaten hasil pemekaran yang mengandalkan ekonominya pada sector pertanian juga termasuk salah satu kabupaten termiskin di Lampung.

Neo-VOC

Kekuasaan pemilik modal di Indonesia saat ini sama persisnya apa yang dilakuan sebuah perusahaan swasta Belanda yang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). VOC atau kompeni sejatinya sama dengan perusahaan sawit di Mesuji dan perusahaan tambang di Papua, mengeksploitasi bumi Indonesia, dan jika menghalanginya membayar centeng pribumi dan menyogok penguasa local untuk membasmi warga.

Pola hubungan centeng, aparat dan perusahan swasta asing di Indonesia selalu ada sejak zaman VOC hingga detik ini, menjaga pemilik modal dalam aktivitasnya mengekspolitasi bumi Indonesia. Perlawanan yang dilakukan rakyat Mesuji atau Papua, sebenarnya sama seperti yang dilakukan Si Pitung di Betawi, Sultan Hasanudin di Maksar dan  Patimura di Ambon. Mereka bukanlah melawan tentara kerajaan Belanda, tetapi mereka melawan perusahaan asing miling Belanda yang bernama VOC. Mereka melawan pasukan VOC yang direkrut dari pribumi sendiri. Sebuah pola yang sama ketika perusahan tambang di Papua membayar polisi untuk menembak warga asli Papua yang hanya bisa melihat kekayaan alamnya diambil.

Indonesia seolah-olah saat ini hidup tanpa negara tanpa pemerintah. Hukum tidak ditegakkan di satu sisi yang lain kebebasan politik dan ekonomi diberikan. Akibatnya uanglah yang menjadi penguasa. Korupsi merajalela, karena yang dipikir para politisi adalah bagaimana menganti ongkos politik yang telah dikeluarkan dalam pemilu dan pilkada.

Neo-Amangkurat 1

Politisi Indonesia saat ini sikapnya sama seperti apa yang dilakukan Amangkurat 1 pada zaman penjajahan dahulu. Menjadi pelindung VOC dan mendapat keuntungan dari relasi bisnis dan kekuasaan. Apa yang dilakukan politisi pusat hingga local dengan kasus korupsinya yang melibatkan kongkolikong dengan pihak pemilik modal persis sama seperti apa yang dilakuan oleh Amangkurat 1 dan VOC.

Pejabat public yang seharusnya melindungi warganya, malahan dengan kekuasaan yang dimilikinya menjadi penjaga pemilik modal dengan nama investasi dan kontrak karya. Tender dan kontrak pemeritah dari pusat hingga daerah menjadi sarana balik modal dan kongkolikong dengan pemilik modal.

Kasus Nazarudin, kasus korupsi Kementerian Tenaga Kerja, kasus badan anggaran merupakan indikasi bahwa politisi model Amangkurat 1 yang menjual negaranya  masih menjadi watak politisi kita.

Cita-cita para founding father kita untuk bernegara untuk menghapus penjajahan dan melindingi warga negara ternyata belumlah berhasil. Untuk itu, Indonesia memang masih butuh sebuah gerakan perlawanan melawan penjajahan. Kita butuh pahlawan yang mewarisi semangat si Pitung, Sultan Hasanudin, Patimura dan Pahlawan yang lainnya untuk melawan penjajahan ala VOC ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun