MENGHADIRKAN ruang publik di kota yang nyaman dan asri adalah sebuah keniscayaan. Betapa tidak ? Saatnya kita berbenah melawan musuh bersama, yakni "Sampah Visual”. Sebuah kondisi dimana sudut-sudut kota sudah kehilangan fungsi dan perannya sebagai media transformasi kebahagiaan bagi warga kota, karena telah terdesak oleh hadirnya papan promosi komersial dan politik yang telah mengganggu wilayah estetika dan etika, sehingga kota tidak bisa kita nikmati dengan wajar apa adanya.
Sudahkah kota-kota di Indonesia, dengan perencanaan yang matang, dan pengelolaan yang profesional dan bertanggung jawab telah mampu menumbuhkan kesadaran warga kota menjadi warga yang cerdas, beradab dan siap menjadikan ruang publik kota sebagai wahana pesiar dan tamasya yang menyehatkan baik jasmani, rohani, intelektual dan spiritual..
Maka tepat kiranya jika pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupr) sebagai stake holders terdepan , mengajak kepada kita semua untuk kembali mengevaluasi kembali kepedulian kita terhadap fungsi dan peran ruang terbuka , sebagai media yang egaliter.
Kesempatan emas di Hari Habitat Dunia (HHD) di bulan Oktober 2015 ini, tema yang diusung kali ini adalah “ Ruang Publik untuk Semuia?. Layak dan pantas jika kita sebagai warga kota punya kepedulian dan ikut “nyengkuyung” bersama-sama dengan kelompok masyarakat lainnnya dan pemerintah mengembalikan fungsi ruang publik sebagaimana mestinya. Inilah ciri orang kota yang cerdas dan bijaksana
Namun sebelumnya marilah kita samakan persepsi apa yang dimaksud dengan ruang publik di perkotaan.:
Menurut Project for Public Spaces in New York tahun 1984, ruang publik di perkotaan adalah bentuk ruang yang digunakan manusia secara bersama-sama berupa jalan, pedestrian, taman-taman, plaza, fasilitas transportasi umum (halte) dan museum.
Pada umumnya ruang publik adalah ruang terbuka yang mampu menampung kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang ini memungkinkan terjadinya pertemuan antar manusia untuk saling berinteraksi. Karena pada ruang ini seringkali timbul berbagai kegiatan bersama, maka ruang-ruang terbuka ini dikategorikan sebagai ruang umum.
Sedangkan menurut Roger Scurton (1984) setiap ruang publik memiliki makna sebagai berikut: sebuah lokasi yang didesain seminimal apapun, memiliki akses yang besar terhadap lingkungan sekitar, tempat bertemunya manusia/pengguna ruang publik dan perilaku masyarakat pengguna ruang publik satu sama lain mengikuti norma-norma yang berlaku setempat.
Baiklah, kita mulai dari awal. Pertanyaan mendasar yang kita jadikan renungan adalah sejauh mana kota-kota di Indonesia ( atau setidaknya kota kita saja) apakah telah mengimplementasikan regulasi dan aturan yang ada ?
PERTAMA benarkah kota kita dalam sisi perencanaan, program dan di tataran eksekusi yang nyata telah dengan sadar mengimplementasi Undang Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang . Yang mensyaratkan ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota, ini membawa konsekuensi setiap lahan yang kita tempati, idealnya minimal 70 persen digunakan untuk bangunan dan 30 persen untuk lahan hijau
Jika belum . apa kendala yang dihadapi bagi pemerintah dan juga masyarakat. Apakah penggunaan ruang publik telah direduksi, sehingga dalam prakteknya, kota menyediakan space yang layak untuk untuk lahan hijau , ataukah ada kepentingan lain yang lebih berorientasi bisnis dan komersial untuk meraup pendapatn asli daerah (PAD), sehingga terjadi alih fungsi lahan. Apakah penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat pemrintah terhadap aturan itu tidak cukup mampu mengatasi persoalan di lapangan ?
KEDUA. Sebuah fakta telah bicara, bahwa kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik terutama Ruang Terbuka Hijau (RTH) saat ini benar telah mengalami penurunan yang sangat signifikan dan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang berdampak ke berbagai sendi kehidupan perkotaan antara lain sering terjadinya banjir, peningkatan pencemaran udara, dan menurunnya produktivitas masyarakat akibat terbatasnya ruang yang tersedia untuk interaksi sosia ?
Jika ya jawabannya apa lagi kendala dan penyebabnya. Dan bagaiaman solusinya mengatasi persoalan ini >
Sebuah ilsustrasi yang kini menjadi “musuh bersama” bagi kota-kota besar di Indonesia adalah merabaknyua “Sampah Visual”
Apa itu sampah vbisual ?
Sampah visual adalah kondisi dimana ruang publik perkotaan yang terdiri dari trotoar, ruang terbuka berupa taman kota, tanaman (vegetasi) hijau di pinggir jalan yang digunakan sebagai penyangga paru-paru kota dan sekaligus berfungsi sebagai tanaman perindang, telah diubah fungsinya menjadi tempat atau sarana menempatkan pesan-pesan komersial atau pesan-pesan politik di media luar ruang (outdoor_ berupa rontek, spanduk, umbul-umbul, neon box, poster, dsb
Yang lebih menyakitkan lagi lagi bahwa pemasangan pesan komersial dan alat peraga kampanye (pesan politik) itu sudah tidak lagi mengindahkan kaidah regulasi (Peraturan daerah-Perda) atau kaidah estetika, ramah lingkungan dsb. Kita banyak menjumpai pemandangan alat peraga kampanye misalnya, dengan cara memaku atau memantek alat peraga itu di pohon. Sampah visual ini juga bisa kita jumpai di tempat-tempat yang tidak semestinya. Bentangan spanduk di atas ruas jalan atau bentangan spanduk di atas jembatan.
Cara paling efektif untuk melawan dan mereduksi adanya sampah visual ini, adalah lewat edukasi dan media pendidikan. Baik iormal di sekolah, atau sosialiasi yang efektif lewat berbagai even dan media.
Namun ada satu cara yang jauh lebih efektif. Adalah lewat model pendidikan politik yang ditujukan bagi para calon pejabat publik (anggota DPR/DPD/DPRD) dan calon gubernur, , bupati, atau walikota/
Mumpung sebentar lagi akan ada hajat demokrasi lokal pilkada secara serentak pada tanjggal 9 nDesember 2015 mendatang. Pesan moral ini akan sangat efektif jika kita jadikan pakta integritas bagi setiap kandidat yang akan berlaga di even p[esta demokrasi tersebut.
Kampanye politik jelas berbeda dengan kampanye nonpolitis. Semisal kampanye lingkungan hidup, kampanye antinarkoba, kampanye antiterorisme, dsb. Selama ini orang masih menganggap bahwa kampanye politik cenderung kurang akrab dengan persoalan lingkungan hidup (ekologi). Sifat yang tidak ramah dan peduli terhadap keberadaan fasilitas umum, seperti :jembatan, trotoar , taman kota, pohon perindang, tercermin dari sikap longgar dan tiadanya pengawasan yang ketat..
Mumpung tahapan pemilukada sedang memasuki masa kampanye. Saatnya di ajang demokrasi lokal ini dorongan untuk menjadikan kampanye ramah lingkungan adalah sebuah keniscayaan. Dan sebaliknya justifikasi terhadap rasa malu mestinya ditanamkan kepada siapa saja yang masih menggunakan cara lama, cuek dan acuh soal lingkungan hidup ini. Bahkan yang bikin miris, menjamurnya alat peraga kampanye yang dipasang di pohon-pohon di pinggir jalan dengan cara dipaku ini merusak nilai estetika (keindahan) kota. Bahkan terkesan seperti memajang sampah-sampah visual yang semrawut. ..
Bayangkan jika satu pohon akhirnya tercederai oleh paku pantek, padahal pohon itu menjadi penyangga penghijauan untuk memasok oksigen yang dibutuhkian manusia, sekaligus menyimpan air sebagai reservoir . Beruntung pemasangan alat peraga kampanye saat ini dikoordinir dan ditangani langsung oleh KPU di masing-masing tingkatan..
Oleh karena itu kebijakan teknis yang tidak disertai dengan kebijakan politis, tampaknya hanya akan menunda-nunda penuntasan sebuah masalah. Kebijakan politis itu tentu saja, pertama : menyangkut pembuatan regulasi yang jelas, tegas dan memihak pada kepentingan konservasi lingkungan hidup. Yang kedua, manajemen dan eksekusi atas pelangggaran regulasi karena ditemukannnya penyimpangan terhadap peruntukan lahan, misalnya.
Terjadinya alih fungsi lahan yang muncul secara sporadis, bermula dari longgarnya penerapan aturan. Dispensasi kebijakan yang lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi katimbang kepentingan jangka panjang akan pentingnya konservasi lingkungan, adalah bagian dari kegagalan eksekusi dan menipisnya sikap dan etika ekologis, disamping juga lemahanya pengawasan.
Komitmen Ekologis
Mumpung para calon pemimpin ini sedang berkampanye menawarkan visi, misi dan programnya, jelang Pemilukada 2015 ini, sungguh mulia jika para calon pejabat publik ini menunjukkan etika ekologis dan komitmennya pada pembangunan yan berwawasan lingkungan hidup. . Masyarakat tentu saja akan melihat kesungguhan mereka. Apa saja langkah konkret yang bisa dilakukan oleh para calon pemimpin ini. Parameter itu akan ditandai oleh
Pertama : para kandidat harus punya referensi, pengetahuan dan komitmen yang kuat soal lingkungan hidup. Hal ini sangat penting, dan harus diketahui sejak awal oleh masyarakat selaku calon pemilih. Kenyataan yang terjadi di berbagai tempat tidak sedikit para kepala daerah ( lewat institusi SKPD yang dibawahinya) teledor dan kecolongan dalam menyikapi soal investasi dan pembangunan fisik yang memiliki dampak besar terhadap kerusakan lingkungan hidup. Tidak berlebihan jika para calon bisa disodori pakta integritas yang didalamnya terdapat item yang berisi komitmen dan keseriusan terhadap lingkungan hidup.
Kedua, lakukan contoh dan gerakan nyata untuk membumikan kesadaran menjaga kelestraian lingkungan, di dalam program-program yang ditawarkannya.. Sikap danb keberanian untuk menolak berbagai hal termasuk investasi yang nyata-nyata tidak memihak pada kepentingan pembanguan yang berwawaswan lingkungan hidup, adalah salah satu sikap yang penting..
Terutama pada saat pengambilan keputuisan berkait dengan perijinan yang menyangkut alih fungsi lahan. Seperti pembangunan property, pabrik, hotel dan apartemen yang dinilai sudah over, seperti yang terjadi di Yogyakarta misalnya, hal ini mestinya menjadi bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan
Pesan ini sudah dimulai di saat para calon pejabat publik akan maju dalam pesta demokrasi lokal Pilkada 9 Desember 2015 mendatang. Jadikan kampanye ini sebagai media yang efektif, mampu mendekatkan program riil ke masyarakat tanpa terlalu banyak janji dan program-program yang terkesan normatif, sehingga terksean umum, tidak tegas dan tidak memberi penekanan pada sektor mana program itu akan dijadikan prioritas utama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI