Mohon tunggu...
Budhi Kusuma Wardhana
Budhi Kusuma Wardhana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja kantoran yang suka baca, penikmat sastra dan teater, menggemari fotografi, mencintai traveling demi sebuah reportase. Baginya menulis adalah bentuk aktualisasi diri, seperti kata Filsuf Perancis Rene Descartes, Cogito Ergo Sum, yang kemudian diplesetkan menjadi, "Aku Nulis, Maka Aku Ada!". Bisa ditemui di Facebook : budhi.wardhana, Twitter : @budhiwardhana, dan email : budhi.wardhana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Romantisme Muram Sepanjang Sisowath Quay

2 Desember 2012   06:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:19 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman dengan Latar Belakang Stupa Besar Wat Phnom / Foto : Budhi K. Wardhana

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Penunjuk Jalan di Kota Phnom Penh / Foto : Budhi K. Wardhana"]

[/caption]

Hujan sempat mampir saat saya menjelajahi jengkal ibukota. Tapi agaknya itu tak menyurutkan niat mereka yang berbelanja di dua pasar legendaris, Russian dan Central Market. Gadis bule cantik berambut pirang mengendarai sepeda motor tua keluar pasar. Mungkin dia salah satu orang Rusia yang sejak dulu sering berbelanja di Phsar Tuol Tom Pong. Tak ayal, lambat laun orang menyapa tempat ini sebagai Russian Market. Sedikit bergeser ke utara, tuktuk yang saya tumpangi tersendat di kawasan niaga dengan bangunan megah berwarna kuning. Inilah gedung Phsar Thmey atau Central Market hasil rancangan arsitek Perancis Van Molyvann yang kini menjadi tempat perputaran uang di kota ini.

Jika Anda penikmat warisan monumental masa lalu, barangkali Phnom Penh bukanlah tujuan yang tepat. Satu-satunya tempat yang bisa dikunjungi hanyalah Istana Raja yang bergelar Royal Palace. Di sini bangunan tempat raja bertahta tetap dipertahankan hingga sekarang. Arsitekturnya nyaris menyerupai Grand Palace di Bangkok. Kalaulah Grand Palace memiliki Wat Phra Kheo, maka istana ini memiliki Silver Pagoda yang seringkali dipakai sembahyang keluarga kerajaan. Alunan musik yang terdengar sayup-sayup membuatku melongok ke salah satu pendopo ruangan. Beberapa orang memainkan musik khas Kamboja dengan seperangkat alat yang mirip gamelan di Jawa dan Bali.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Salah Satu Bangunan di Kawasan Royal Palace / Foto : Budhi K. Wardhana"]

[/caption]

Senja perlahan menguasai Phnom Penh menyisakan udara sore yang bersahabat. Tak heran, ribuan orang seperti menyemut di sepanjang jalur pedestrian Sisowath Quoy sambil menikmati langit kota yang berganti jingga. Berpasang kekasih memilih meresapi syahdunya senja di beton sisi Sungai Tonle Sap. Kuteguk sebotol air sembari menyaksikan rombongan merpati jinak yang beterbangan di lapangan Royal Palace. Beberapa anak kecil dengan baju compang-camping menghampiri saya dengan tangan tengadah sembari meminta, “Luy...Luy...Luy...”* Sedangkan serombongan anak lainnya menawariku dagangan yang diasongnya. Saya menggeleng tegas dan berjalan menjauh.

Kuteringat tulisan kawan backpacker yang sebaiknya tidak memberi atau membeli apapun dari mereka. Sebab dengan begitu kita menghindarkan anak-anak itu untuk terus berkeliaran di jalanan. Kamboja memang tergolong negara miskin. Rata-rata pendapatan penduduknya tak lebih dari 22 Juta Rupiah per tahun. Meskipun kini pembangunan ekonomi mulai digulirkan, tapi tentu tak semua masyarakat bisa merasakan kue kemajuan. Apalagi tingkat korupsi di Kamboja seperti enggan turun dari rangking tujuh terburuk versi Transparency International. Tak heran sopir tuktuk yang saya naiki menggerutu sengit tatkala harus mengomentari kinerja Perdana Menterinya, Hun Sen, “I don’t like him!”

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Bocah Perempuan Pengasong di Pinggir Jalan Sepanjang Sisowath Quoy / Foto : Budhi K. Wardhana"]

[/caption]

Kerlap-kerlip lampu menghiasi sisi Sungai Tonle Sap dengan tulisan cahaya warna-warni, Phnom Penh is charming city. Tak melulu pasangan kekasih yang ada di sini. Kusaksikan pula beberapa anak muda yang berlatih modern dance di jalur pejalan kaki dengan musik membahana. Turis-turis berduit terlihat bersantai di bar dan restoran mahal. Sementara beberapa orang melewatkan sore dengan berolahraga ringan. Tampak seorang anak perempuan bertopang dagu menunggui dagangan yang digantung di pinggir jalan. Sejenak kuteguk habis air mineral di saat sayup-sayup terdengar tangisan muram anak-anak kecil tadi. Kenapa harus mereka yang jadi korban?

Saya mempercepat langkah tanpa berani menengokkan wajah.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Lampu Penghias Kota di Sepanjang Sisowath Quoy / Foto : Budhi K. Wardhana"]

[/caption]

Catatan :
* Luy adalah uang dalam bahasa Khmer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun