Mohon tunggu...
Budhi Kusuma Wardhana
Budhi Kusuma Wardhana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja kantoran yang suka baca, penikmat sastra dan teater, menggemari fotografi, mencintai traveling demi sebuah reportase. Baginya menulis adalah bentuk aktualisasi diri, seperti kata Filsuf Perancis Rene Descartes, Cogito Ergo Sum, yang kemudian diplesetkan menjadi, "Aku Nulis, Maka Aku Ada!". Bisa ditemui di Facebook : budhi.wardhana, Twitter : @budhiwardhana, dan email : budhi.wardhana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Romantisme Muram Sepanjang Sisowath Quay

2 Desember 2012   06:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:19 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman dengan Latar Belakang Stupa Besar Wat Phnom / Foto : Budhi K. Wardhana

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Keramaian Sepanjang Sisowath Quoy Pinggir Sungai Tonle Sap Kota Phnom Penh / Foto Budhi K. Wardhana"][/caption]

Kuteguk sebotol air saat berpasang kekasih meresapi syahdunya senja. Tapi di sudut sana puluhan anak mengasong dan mengemis demi sesuap nasi.


“Saya mau tamasya, berkeliling keliling kota. Hendak melihat-lihat keramaian yang ada. Saya panggilkan tuktuk, kereta tak berkuda. Tuktuk, tuktuk, coba bawa saya...”

Menyisir jalanan utama Kota Phnom Penh seperti menyeret ingatan saya pada lagu kanak-kanak yang liriknya sedikit diubah. Seakan kutemukan sepotong Jakarta di era tujuh puluh atau delapan puluhan. Tak terlalu riuh oleh mobil dan motor yang berlalu lalang. Tanpa bingkai gedung-gedung yang mencakar langit. Tiada bis kota, angkutan perkotaan, apalagi monorail, atau MRT. Segalanya masih sederhana. Hanya tuktuk, sejenis becak yang ditarik sepeda motor, yang terlihat menyemut di sekujur kota. Juga sebagian orang yang menggenjot becak alias cyclo bermuatkan orang dan barang.

Debu tipis yang mengapung membuatku terbatuk-batuk. Sopir tuktuk yang membawa saya melintasi protokol ibukota Kamboja ini lantas bertutur tentang mahalnya biaya hidup di sini. Katanya dia mesti jatuh bangun demi menghidupi istri dan dua anaknya. Entahlah, apakah itu sekedar memacing ibaku demi mengharap tambahan tip, atau memang begitu adanya. Yang jelas harga bensin di sini sungguhlah mahal, di atas 1,3 Dolar per liter. Alias nyaris menyentuh angka Rp. 13.000.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Suasana Lalu Lintas Kota Phnom Penh dari Tuktuk yang melaju / Foto : Budhi K. Wardhana"]

[/caption]

Saya mencoba mencari sebab mengapa kota ini terasa berdebu. Apa lantaran matahari yang begitu ganas memanggang kota. Atau karena minimnya filter udara berupa pepohonan rindang di sisi jalan hingga membuat suasana terasa kerontang. Lantas dari mana muasal debu ini? Aku hanya menebak-nebak mungkin partikel ini berasal dari proyek-proyek properti di sekitaran kota yang diterbangkan angin siang. Sedikit beruntung saya mampir di Phnom Penh saat mulai memasuki musim hujan sehingga matahari tak menjerang garang.

Maraknya pembangunan perumahan dan gedung barangkali jadi indikasi bahwa ekonomi negeri kecil ini sedang menggeliat usai kemelut politik yang telah menghabisi jutaan nyawa warga Kamboja. Mereka pasti tak pernah lupa dengan kebengisan rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot beberapa dekade silam. Mimpi buruk rakyatnya terekam sempurna di Ladang Pembantaian Choeung Ek dan Penjara Rahasia S-21 Tuol Sleng. Kisah penyiksaan, pekuburan massal, dan bukti pembantaian seolah menjadi saksi bisu cerita kelam bangsa ini. Sejarah yang tak pernah mereka sembunyikan, seperti mengisyaratkan sebuah pesan pada dunia bahwa peradaban tak layak didirikan di atas kebiadaban.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Taman dengan Latar Belakang Stupa Besar Wat Phnom / Foto : Budhi K. Wardhana"]

[/caption]

Namun Phnom Penh tak sekedar menjual kengerian sejarah. Galibnya negeri-negeri Indocina yang didominasi kultur Buddhisme, keberadaan Wat atau Pagoda dengan biksu berseragam oranye menjadi pemandangan lumrah di pelosok kota. Sebuah pagoda tua berdiri megah dikelilingi taman hijau dengan pohon-pohon besar peneduh. Konon seorang perempuan tua bernama Duan Penh menemukan relik Buddha dan menyimpannya di sebuah pagoda yang kini bernama Wat Phnom. Dalam bahasa Khmer, Phnom Penh sendiri bermakna Bukit Penh, barangkali ini merujuk pada legenda wanita tua tersebut.

Awalnya kota ini bukan apa-apa kalau saja di abad 15 Raja Kamboja Ponhea Yet tidak memindahkan ibukota Kerajaan Khmer dari pedalaman Angkor ke Phnom Penh. Perpindahan ini pastilah bukan tanpa alasan. Saat itu invasi Kerajaan Ayuthaya di Thailand sudah mengancam keberadaan imperium Khmer. Di sisi lain pemilihan kota di pinggir Sungai Mekong ini sangatlah tepat demi mendukung sektor perdagangan kerajaan. Ibukota pun bertumbuh cantik seiring hadirnya kolonial Perancis yang menyulapnya menjadi kota modern berjuluk Mutiara Asia. Sayangnya, perang sipil dan konflik politik telah mencabik-cabik wajah kota.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Penunjuk Jalan di Kota Phnom Penh / Foto : Budhi K. Wardhana"]

[/caption]

Hujan sempat mampir saat saya menjelajahi jengkal ibukota. Tapi agaknya itu tak menyurutkan niat mereka yang berbelanja di dua pasar legendaris, Russian dan Central Market. Gadis bule cantik berambut pirang mengendarai sepeda motor tua keluar pasar. Mungkin dia salah satu orang Rusia yang sejak dulu sering berbelanja di Phsar Tuol Tom Pong. Tak ayal, lambat laun orang menyapa tempat ini sebagai Russian Market. Sedikit bergeser ke utara, tuktuk yang saya tumpangi tersendat di kawasan niaga dengan bangunan megah berwarna kuning. Inilah gedung Phsar Thmey atau Central Market hasil rancangan arsitek Perancis Van Molyvann yang kini menjadi tempat perputaran uang di kota ini.

Jika Anda penikmat warisan monumental masa lalu, barangkali Phnom Penh bukanlah tujuan yang tepat. Satu-satunya tempat yang bisa dikunjungi hanyalah Istana Raja yang bergelar Royal Palace. Di sini bangunan tempat raja bertahta tetap dipertahankan hingga sekarang. Arsitekturnya nyaris menyerupai Grand Palace di Bangkok. Kalaulah Grand Palace memiliki Wat Phra Kheo, maka istana ini memiliki Silver Pagoda yang seringkali dipakai sembahyang keluarga kerajaan. Alunan musik yang terdengar sayup-sayup membuatku melongok ke salah satu pendopo ruangan. Beberapa orang memainkan musik khas Kamboja dengan seperangkat alat yang mirip gamelan di Jawa dan Bali.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Salah Satu Bangunan di Kawasan Royal Palace / Foto : Budhi K. Wardhana"]

[/caption]

Senja perlahan menguasai Phnom Penh menyisakan udara sore yang bersahabat. Tak heran, ribuan orang seperti menyemut di sepanjang jalur pedestrian Sisowath Quoy sambil menikmati langit kota yang berganti jingga. Berpasang kekasih memilih meresapi syahdunya senja di beton sisi Sungai Tonle Sap. Kuteguk sebotol air sembari menyaksikan rombongan merpati jinak yang beterbangan di lapangan Royal Palace. Beberapa anak kecil dengan baju compang-camping menghampiri saya dengan tangan tengadah sembari meminta, “Luy...Luy...Luy...”* Sedangkan serombongan anak lainnya menawariku dagangan yang diasongnya. Saya menggeleng tegas dan berjalan menjauh.

Kuteringat tulisan kawan backpacker yang sebaiknya tidak memberi atau membeli apapun dari mereka. Sebab dengan begitu kita menghindarkan anak-anak itu untuk terus berkeliaran di jalanan. Kamboja memang tergolong negara miskin. Rata-rata pendapatan penduduknya tak lebih dari 22 Juta Rupiah per tahun. Meskipun kini pembangunan ekonomi mulai digulirkan, tapi tentu tak semua masyarakat bisa merasakan kue kemajuan. Apalagi tingkat korupsi di Kamboja seperti enggan turun dari rangking tujuh terburuk versi Transparency International. Tak heran sopir tuktuk yang saya naiki menggerutu sengit tatkala harus mengomentari kinerja Perdana Menterinya, Hun Sen, “I don’t like him!”

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Bocah Perempuan Pengasong di Pinggir Jalan Sepanjang Sisowath Quoy / Foto : Budhi K. Wardhana"]

[/caption]

Kerlap-kerlip lampu menghiasi sisi Sungai Tonle Sap dengan tulisan cahaya warna-warni, Phnom Penh is charming city. Tak melulu pasangan kekasih yang ada di sini. Kusaksikan pula beberapa anak muda yang berlatih modern dance di jalur pejalan kaki dengan musik membahana. Turis-turis berduit terlihat bersantai di bar dan restoran mahal. Sementara beberapa orang melewatkan sore dengan berolahraga ringan. Tampak seorang anak perempuan bertopang dagu menunggui dagangan yang digantung di pinggir jalan. Sejenak kuteguk habis air mineral di saat sayup-sayup terdengar tangisan muram anak-anak kecil tadi. Kenapa harus mereka yang jadi korban?

Saya mempercepat langkah tanpa berani menengokkan wajah.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Lampu Penghias Kota di Sepanjang Sisowath Quoy / Foto : Budhi K. Wardhana"]

[/caption]

Catatan :
* Luy adalah uang dalam bahasa Khmer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun