[caption id="attachment_210017" align="aligncenter" width="600" caption="Beberapa Candi di Kawasan Candi Gedong Songo / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption]
Meski jasad Rahwana terkubur di perut bumi, dengus nafasnya masih mengepul menyelimuti punggung bukit. Asapnya yang busuk melayang di antara pepohonan dan beradu dengan kesucian candi-candi masa lalu. Angkara murka memang tak pernah sirna.
Jalanan sempit, menanjak, dan berliku seperti menarik ingatan masa lalu saya ketika bertahun silam almarhum kakek sering mengajak kami melewatkan akhir tahun di sebuah villa di lereng Gunung Ungaran. Tikungan jalan ini memang tak berganti. Demikian pula aspal yang dilapis seadanya dan terkadang meninggalkan beberapa lobang yang hanya ditambal seperlunya. Yang berbeda cuma perkampungan di kiri kanan jalan yang kian sesak oleh rumah tinggal, penginapan, hotel, bungalo dan tempat hiburan. Inilah seruas jalan menuju Bandungan. Walaupun memencil dari keriuhan perlintasan utama Semarang menuju Solo dan Jogja, tampaknya Bandungan memang tak pernah kehilangan pamor. Salah satu kecamatan di Kabupaten Semarang ini sedari dulu sudah menjadi tempat persinggahan sesaat manusia urban demi mencari ketenangan jiwa. Rasakanlah udaranya yang sejuk dengan kecantikan panorama yang mengagumkan. Nikmati pula pesona kulinernya, tahu serasi yang gurih, sate kelinci dan jagung bakar, serta teh dan kopi yang diracik dengan aneka rempah hingga menimbulkan aroma menggoda. Bandungan tak ubahnya seperti kawasan Puncak bagi warga Jakarta, atau Berastagi untuk masyarakat Medan, dan Lembang bagi warga Bandung. Sebab tempat ini adalah tujuan tetirah primadona bagi masyarakat Semarang dan sekitarnya. Setelah cukup beristirahat usai perjalanan mudik dari Jakarta ke Kota Pati di Jawa Tengah, maka libur hari pertama lebaran (19 Agustus 2012) membuat saya berkeinginan menyambangi Bandungan. Selain untuk menikmati alam dan cita rasa makanannya, hal lain yang mengusik minat saya adalah mengunjungi candi yang ada di sana. Bangunan berlanggam Hindu yang berdiri tegak di bawah kaki Gunung Ungaran ini diperkirakan adalah sisa peradaban Wangsa Syailendra dari abad ke 9. Mengacu pada jumlah lokasi candi sebanyak songo yang dalam bahasa Jawa bermakna sembilan, maka masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Candi Gedong Songo. Sedan Mazda 2 yang saya kendarai bersama keluarga berlari santai di antara tikungan jalan Bandungan. Tak perlu tergesa karena memang tak ada waktu yang mesti dikejar. Berbekal software GPS Sygic yang ter-install di Android Galaxy Note, saya tak perlu kesulitan mencapai kawasan Candi Gedong Songo. Keberadaan tempat wisata ini memang sudah mendunia. Hanya saja bersiaplah sedikit terguncang-guncang karena selepas Pasar Bandungan infrastruktur jalan menuju Candi memang terlihat memprihatinkan. Saya menghela nafas sedih. Mengapa kita tidak bisa belajar dari negara tetangga untuk mengelola pariwisata? [caption id="attachment_210018" align="aligncenter" width="600" caption="Bentang Pemandangan yang Memikat di Sekitar Candi Gedong Songo / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] Bandungan menyisakan sebuah siang yang bersahabat. Walau matahari memanggang bumi, tetapi angin pegunungan membuat cuaca terasa ramah di kulit. Memasuki kawasan candi, kami hanya cukup merogoh kocek tujuh ribu lima ratus rupiah per kepala. Tentunya tak terlalu mahal demi mendapatkan sebuah pengalaman sejarah dan sensasi keindahan yang terpapar di depan mata. Beberapa saat kami dirubung oleh sejumlah orang yang menawarkan tunggangan kuda. Lima puluh ribu rupiah harus saya keluarkan untuk tumpangan mengitari kawasan candi. Saya sebenarnya tak terlalu tertarik dengan penawaran ini. Sewa kuda membuat saya tak bebas mengagumi setiap detil kecantikan di masing-masing situs candi. Tapi apa mau dikata, anak dan isteri saya memaksa untuk menyewa jasa kuda. Akhirnya sebagai jalan tengah, saya tetap berkeras berjalan kaki sedangkan isteri dan anak saya menunggang kuda. Bagi saya, jarak empat kilometer mengitari candi bukanlah pekerjaan yang berat. "Kita akan menuju ke candi yang terakhir," tutur pria yang menawarkan jasa sewa kuda itu. Kami melewati jalan setapak yang sudah diperkeras menggunakan batu alam dan semen. Tampaklah hamparan kebun mawar dan jajaran hutan pinus dengan Gunung Ungaran sebagai latar belakangnya. Sementara di sisi lain terbentang Kota
Ambarawa dengan genangan Rawa Pening dan ditutup oleh gugusan Gunung Sindoro, Sumbing, Telomoyo, dan Merbabu yang mengintip di balik awan. Angin dataran tinggi terasa meniup mesra, mengusir hawa panas kemarau dan menghadirkan kesegaran khas pegunungan. Berkali-kali saya berdecak kagum dengan keelokan alam yang tersuguh di hadapan kami. Bahkan isteri saya berkomentar bahwa kecantikannya mengalahkan pemandangan yang terekam di Opera Sabun Korea,
Winter Sonata. Sungguh suatu karya maha sempurna. Sampai-sampai saya tak ingat lagi berapa kali jari telunjuk ini menekan tombol rana kamera, mengabadikan pemandangan eksotik ini sepuas hati. Jalanan terus mendaki menuju candi yang paling tinggi. Sementara kuda tetap melaju tanpa ekspresi. Demikian pula para pawang yang berjalan di sampingnya. Tak ada gurat kelelahan di wajah mereka. Berbeda sekali dengan saya yang kini terpaksa mengoreksi anggapan kalau jalan kaki empat kilometer itu enteng. Berkali-kali saya mesti rehat sesaat demi menormalkan nafas yang tersengal-sengal. Bisa ditebak, saya harus tertinggal jauh di belakang mereka. Sementara isteri dan anak saya hanya tertawa-tertawa dari atas kuda. "Ah ayah payah...!" seloroh anak saya semata wayang yang baru berusia enam tahun. Saya hanya bisa melotot dengan nafas
senen kemis. Ah, ternyata umur memang tak bisa dibohongi. [caption id="attachment_210019" align="aligncenter" width="600" caption="Seorang Bapak Tua Menjual Minuman di Pintu Masuk Komplek Candi Gedong V / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] Akhirnya siksaan itu usai juga. Jalan menanjak di antara pohon pinus bermuara ke sebuah lapangan berumput hijau. Tak jauh dari situ berdiri kokoh Candi Gedong IV dan V. Kuda-kuda seakan menikmati istirahatnya sembari mengunyah rumput segar. Sedangkan puluhan pengunjung memasuki kawasan persemayaman dewa sambil tak lupa bernarsis ria dengan kamera di tangan. Di bawah rerindang pohon seorang perempuan bule kelihatan anteng menekuni bukunya. Kubiarkan anak saya yang berlarian girang di udara terbuka yang beratapkan langit biru. Sementara saya kembali asyik menjadi pengagum arsitektur bangunan kuno lewat mata kepala, mata jiwa, dan mata lensa SLR digital. Awalnya saya dibuat bingung dengan penomoran komplek candi di kawasan ini. Mengapa candi terakhir yang letaknya paling tinggi disebut sebagai Candi Gedong Lima? Bukankah nama tempat ini Candi Gedong Songo yang bermakna Sembilan Bangunan Candi? Usut punya usut ternyata bangunan pemujaan ini kini hanya tersisa lima tempat. Total keseluruhan rumah suci ini pun tak lagi utuh, sebab yang tersisa cuma berjumlah tujuh candi. Makanya tak heran pada tahun 1804 Raffles menengarainya sebagai Candi Pitoe (tujuh). Seorang bapak tua menawari minuman dingin di pintu masuk kawasan Candi Kelima yang letaknya paling tinggi. Saya menolak dengan sopan. Bukan karena tenggorakan saya belum kering. Bukan juga lantaran saya pelit hingga tak mau mengeluarkan paling banyak lembaran lima ribu rupiah. Namun perhatian saya kadung tercuri oleh paduan keagungan bangunan suci dengan kecantikan alamnya. Candi utama tampak diapit oleh beberapa reruntuhan yang dipercaya sebagai Candi Perwara (pengawal). Konon di sinilah puncak nirwana yang dikelilingi hutan pinus dan beberapa gunung di beberapa penjuru. Sejenak menyeret ingatan saya pada situs purbakala Gunung Padang di Jawa Barat yang lokasinya serupa dikepung gunung gemunung. Terbersit tanya dalam benak, apakah nenek moyang kita memiliki filosofi yang sama saat membangun tempat suci? Menuruni tangga batu dan melewati lapangan luas berumput, sampailah saya di Candi Gedong IV. Di tempat ini Candi Induk dikawal oleh sebelas Candi Perwara yang kini tinggal dua yang masih utuh berdiri. Bangunan utama ini memiliki atap bertingkat tiga dengan ornamen berhias di setiap tingkatnya. Di sisi luar terdapat relung-relung yang berisi arca para dewa, namun sebagian besar sudah kosong. Demikian pula lingga yoni di dalam biliknya yang keberadaannya juga tiada lagi sempurna. Saya menghela nafas. Meski tak lagi utuh, bangunan tua ini tetaplah memancarkan aura keagungannya. Angin sejuk pegunungan terasa membelai leherku ketika mendadak isteri saya merengek-rengek minta difoto ala
Cherybelle di antara bangunan candi. Hmm...Saya hanya bisa garuk-garuk kepala. [caption id="attachment_210020" align="aligncenter" width="600" caption="Kepunden yang Mengeluarkan Asap Putih Dipercaya Sebagai Dengus Nafas Rahwana / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] Cinta pada pandangan pertama. Barangkali itulah yang terjadi saat Raksasa Dasamuka alias Rahwana menikmati keindahan ragawi Dewi Sinta. Nafsunya bergejolak hingga dengan segenap kekuatan dan kesaktiannya, direbutnya puteri cantik jelita itu dari pangkuan Rama sang suami. Dan pakem semesta seakan menghakimi bahwa cinta Sang Raja Alengkadiraja ini adalah terlarang. Hati Sinta tetaplah untuk suaminya. Meski dunia seakan tak adil buat si buruk rupa dan kaum raksasa bertampang seram, tapi perasaan Rahwana ke Sinta tak pernah padam. Agaknya istilah cinta tak harus memiliki tidak ada dalam kamus hidup Rahwana. Dia tetap memaksakan ego dan nafsunya untuk mencuri hati Sinta. Bisa ditebak, nafsu serakah duniawi ini mengguncang peradaban sehingga terbitlah peperangan besar yang melibatkan satria sakti dalam Epos Ramayana. Akhirnya Sang Raksasa harus menerima kenyataan bahwa mencintai seorang wanita itu berharga mahal. Pasukannya, kerajaannya, dan kekayaannya, harus tumpas demi melayani nafsu dan keinginan hatinya. Syahdan dalam peperangan besar si raksasa berwajah sepuluh yang memiliki kesaktian luar biasa itu harus takluk di tangan Sri Rama. Namun nyawanya tak bisa melayang walau dirajam beragam senjata. Tak kehilangan akal, Hanoman si anak dewa kemudian mengangkat sebuah gunung dan menimbun hidup-hidup tubuh Rahwana. Namun sang raksasa itu tak jua mati. Dia tetaplah hidup meski jasadnya tertimbun Gunung Ungaran. Rintihannya berbaur dengan dengusan nafas yang senantiasa keluar dari rongga bumi mengisyaratkan bahwa angkara tak pernah sirna. Bau nafas Dasamuka yang busuk membuat saya harus menutup hidung saat melintasi kepunden atau kawah gunung yang mengeluarkan sumber air panas beraroma belerang yang terletak di perlintasan Candi Gedong III dan Candi Gedong IV. Legenda ini memang tak perlu dipertanyakan kebenarannya. Demikian pula tentang keyakinan masyarakat sekitar yang memercayai bahwa sumber air panas itu dijaga oleh arwah Nyai Gayatri salah satu dayang Raja Sima yang gemar menolong. Yang jelas mata air belerang ini berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Makanya tak jauh dari tempat tersebut tersedia bilik-bilik kecil permandian untuk memberi kesempatan bagi para pengunjung membasuh tubuhnya dengan air panas alami. "Silakan kalau bapak mau mandi di sana," saran tukang kuda itu kepada saya. Saya hanya menggelengkan kepala sembari
misuh-misuh dalam hati. Dipikirnya saya panuan ya? [caption id="attachment_210021" align="aligncenter" width="600" caption="Candi Gedong II / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption] Ketika sebuah tikungan dan tanjakan terlewati, tampaklah di depan mata bangunan Candi Gedong III. Jika di lokasi lain saya hanya menemukan satu atau dua candi yang masih tegap berdiri, di tempat ini terlihat tiga bangunan utuh. Candi induk tampak menghadap ke barat dengan candi apit di sebelah utara dan candi Perwara di depan bangunan induk. Beberapa arca seperti Betari Durga (istri Siwa), Ganesha (anak Siwa), Resi Agastya, serta Nandiswara dan Mahakal (pengawal Siwa) bisa dijumpai pada relung-relung bangunan candi. Pada jalanan yang menurun, tak jauh dari komplek Candi Gedong III, berdirilah sebuah bangunan utuh di Candi Gedong II. Candi induk ini mengahadap barat dengan reruntuhan Candi Perwara di depannya. Saya sungguh bersyukur karena semesta sangat bersahabat. Langit biru jernih dengan rangkaian gunung yang mengintip di kejauhan menambah keelokan dan kekokohan candi. Selanjutnya, jalanan terasa sedikit mendaki dan berlanjut pada turunan panjang dengan lapak-lapak penjual makanan dan souvenir yang berjajar di sisi timur. Perjalanan pun berakhir di Candi Gedong I yang menyisakan sebuah bangunan induk dengan yoni tanpa lingga di dalam biliknya. Tampak sepasang kekasih duduk di pintu candi. Mereka seakan melewatkan waktu dalam diam. Mungkin cukuplah dengan genggaman tangan, pandangan mata, dan getaran jiwa yang mewakili perasaan berdua. Sebuah aksara yang hidup tanpa kata-kata. Barangkali ada harap untuk sebuah cinta yang setia hingga usia menua. Sebuah asa keabadian laksana candi tua yang tak lekang oleh peradaban. Seakan terusik oleh kehadiran saya, sepasang kekasih itu pun beranjak pergi sambil meninggalkan jejak kenangan berfoto di depan candi. Saya terhenyak. Barangkali ada jutaan orang telah meninggalkan jejak pada bangunan tua ini. Mereka yang berpasrah dan berdoa, bersedih dan bergembira, berkunjung dan belajar, atau manusia yang sekedar menggantungkan hidup dan asap dapurnya di sini. Bangunan kuno ini tak ubahnya sebagai saksi bagi kehidupan yang mengalir. Ataukah karena candi adalah bagian dari kehidupan itu sendiri? Entah mengapa, perjalanan ini seakan membimbing saya pada sebuah perziarahan agung. Selanjutnya saya hanya berlalu dalam diam. [caption id="attachment_210022" align="aligncenter" width="600" caption="Pengunjung yang Meninggalkan Jejak Kenangan Foto di Depan Candi / Foto : Budhi K. Wardhana"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya